Fenomena Glokalisasi Arab Pegon Sebagai Eksistensi Pesantren Jawa

 

Oleh : Ahmad Sihabuddin Mubarok, Mahasiswa S3 Unesa.

Kita sering membaca dua istilah yang tak asing, yaitu Globalisasi dan Glokalisasi. Globalisasi merupakan proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia, pemikiran, dan lainnya.

Sedangkan Glokalisasi itu dapat diartikan sebagai budaya lokal yang dimiliki masyarakat yang berkolaborasi dengan efek globalisasi supaya budaya lokal tidak tergerus.

Disadari atau tidak, pada jaman yang semakin canggih ini masyarakat pada sebuah daerah sangat mudah berubah arah pemikirannya bila tidak ada eksistensi yang dipegang teguh.

Negara Indonesia mayoritas dihuni oleh para muslim dengan sekian suku dan ras yang tak sedikit. Sebelum mayoritas beragama Islam, saya membaca sejarah penyebaran Islam di Nusantara bahwa sebelumnya para saudagar dan Ulama dari Timur Tengahlah (terutama Walisongo) yang mulai syiar Islam secara damai (seperti lewat proses dialogis, perdagangan, dan pernikahan) dan para penduduk Nusantara menerima dengan baik.

Selain membawa agama Islam, mereka turut membawa beberapa budaya dari Timur Tengah yang secara alami juga tersebar, seperti makanan, pakaian, dan pendidikan bahasa Arab.

Bahasa Arab selanjutnya pun diajarkan sebagai keperluan bagi muslim Indonesia tidak terkecuali suku Jawa guna keperluan membaca kitab Al-qur’an, Shalat, dan keperluan ibadah lainnya. Setelah proses berikut berjalan secara terus-menerus, maka semakin lama banyak orang Timur Tengah yang hijrah ke Indonesia dan beberapa negara lain disekitar Indonesia. Sehingga mereka berhasil membentuk komunitas-komunitas baru dengan berbagai dukungan.

Pandangan saya tentang ini juga merupakan proses Globalisasi yang masuk ke Indonesia secara damai, terutama adanya pendidikan bahasa Arab dikalangan masyarakat dan Pesantren, yang banyak diajarkan mulai sejak dini pada jenjang anak-anak dan beberapa pesantren juga memakai bahasa arab sebagai dialog utama.

Pendidikan bahasa Arab yang berhasil diajarkan di Jawa membuahkan nuansa yang positif. Banyak muslim Jawa yang fasih dan lancar berbahasa Arab. Beberapa dari mereka mulai merantau untuk melakukan proses ibadah Haji dan menuntut ilmu di Arab. Beberapa ulama dulu yang masyhur dan menuntut ilmu di Arab seperti Syekh Nawawi Albantani dari Banten, KH. Soleh Darat dan KH. Ahmad Dahlan dari Jawa Tengah, dan KH. Hasyim Asy’ari dari Jawa Timur. Eksistensi mereka juga tak tergerus oleh jaman. Mereka tak hanya mengajar, namun juga mendirikan pesantren, mendirikan organisasi dan membuat karya-karya dalam bentuk tulisan. KH. Soleh Darat yang terkenal sebagai gurunya RA. Kartini, KH. Hasyim Asy’ari eksis dengan Tebuirengnya (Pesantren) dan NU nya (Nahdlatul ‘ulama), KH. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya (Organisasi) dan telah membuat karya “Kitab Fiqih Muhammadiyah” yang menggunakan sebagian banyak isinya pakai huruf Arab Pegon didalamnya.

Ada yang menarik saya rasa dengan Arab Pegon. Meski beliau bukan pertama pencetus Arab Pegon, tetapi melalui Arab Pegon beliau mencoba menampilkan sisi kejawennya. Menarik lagi ketika banyak Pesantren di Jawa yang terus eksis dengan Arab Pegon. Arab Pegon terbukti dapat mengkolaborasikan dirinya pada pendidikan bahasa Arab dan merupakan Glokalisasi yang dimunculkan Pesantrennya orang-orang Jawa supaya budaya bahasa jawa tetap lestari dikalangan pesantren Jawa.

Istilah Pegon aslinya dari bahasa Jawa yaitu Pego, artinya menyimpang. Huruf Pegon dianggap menyimpang dari pakem penulisan Arab karena tidak menggunakan harakat, melainkan menggunakan huruf vokal. Sebaliknya, penggunaan harakat dalam Huruf Pegon hanya dilakukan ketika terjadi kerancuan. Huruf Pegon merupakan produk akulturasi budaya antara kebudayaan Islam dengan masyarakat lokal Jawa. Kebudayaan Islam direpresentasikan melalui huruf Arab yang menjadi dasar penggunaannya, sementara budaya lokal berdasarkan pada bahasa Jawa yang dituliskan. Tujuan utama modifikasi ini untuk menjaga kelestarian bahasa Jawa dikalangan para penerus bangsa khususnya yang Mondok di Pesantren Jawa. Karena dari Arab maka kita kenal dengan Arab Pegon.

Perkembangan Huruf Pegon tak bisa dipisahkan dari peran santri dan kiai di Pesantren. Pasalnya, para santri dan kiai juga membumikan Huruf Pegon di kalangan masyarakat. Contoh Pesantren Jawa yang sampai sekarang mengadopsi Arab Pegon adalah Tambak Beras Jombang, Tebuireng Jombang, Sumbersari Kediri, Lirboyo Kediri, Ringinagung Kediri, Krapyak Yogjakarta, Arwaniyyah Kudus, Sarang Rembang, dan Kebon Jambu Cirebon. Arab Pegon juga dimodif untuk mempelajari Gramatika Bahasa arab lebih mudah seperti adanya Ruju’ (Kode) sebagai tanda Kedudukan kalimat. Arab Pegon membantu memudahkan penyebaran agama Islam kepada masyarakat yang masih kental unsur-unsur kepercayaan lamanya. Arab Pegon dewasa ini juga bersanding dengan bahasa Inggris, bahasa Arab dan bahasa Indonesia sebagai bahasa Pesantren. Arab Pegon mempermudah penerjemahan kitab klasik dari Timur Tengah dan kitab dari Ulama Indonesia dengan proses percetakannya diproses penerbit Indonesia. Modifikasi ini, oleh banyak pakar dinilai sebagai kecerdikan Ulama Jawa yang lama study di Indonesia dan luar negeri (Arab) serta berhasil mengolah aksara Arab yang dianggap suci hingga mudah dipahami oleh masyarakat Jawa.

Upaya diatas juga selaras dengan beberapa artikel diluar negeri yang bertemakan Glokalisasi. Seperti Glokalisasi dan pendidikan pekerja sosial internasional di negara-negara Timur Tengah karya Qusai A Ibrahim dari Istiqlal University Palestina guna mendorong pekerja sosial tidak terhanyut dalam situasi politik dan perang. Qusai juga menyarankan agar kampus pendidikan pekerja sosial menyediakan lebih banyak study banding disekitar arab maupun luar arab dan buku-buku di universitas dan publikasi akademik yang digunakan harus sesuai dengan perubahan di tingkat internasional.