TIDAK ADA KORELASI ANTARA PENGERAS SUARA DENGAN JUMLAH DAN KUALITAS JAMA’AH

by: Dr. H. Sholehuddin, M.PdI Ketua ISNU Sidoarjo dan Sekretaris Komisi Fatwa MUI Kab Sidoarjo.

Beberapa hari terakhir polemik pengaturan pengeras suara masih menghiasi jagat maya. Sejatinya dari sisi fiqih sudah selesai dibahas para ahli. Hukumnya juga sudah jelas. Bahkan sudah banyak perbandingan di beberapa negara. Tapi di Indonesia selalu menarik dan menjadi isu seksi selain karena faktor histori dan kultural, isu ini makin seksi jika dipolitisasi.

Saya juga sepakat jika masalah TOA disesuaikan dengan dengan tipologi masyarakatnya. Tetapi, dalam penggunaan juga perlu dilakukan secara bijak dan tidak asal ‘banter-banteran’. Sebab jika ini tidak dilakukan pembatasan yang terjadi bukan kekhsukan yang didapat tetapi justru mengganggu konsentrasi dalam berjamaah.

Saya masih ingat ketika masih kecil di desa, pada saat salat tarawih, ketika di musholla satunya sudah selesai, sementara di tempat saya belum selesai tarawih apa lagi witir, betapa galaunya . Pada saat khutbah berlangsung, sementara masjid ada yang berdekatan, betapa saya selaku khotib dan jamaah pecah konsentrasi.

Selain itu, jika adzan digunakan untuk memanggil, bukankah sudah cukup jika mereka sudah beranjak. Kecil kemungkinan bisa menambah jamaah karena keras dan lamanya durasi pengeras suara luar. Bahasa lain, meski suara keras paling-paling yang jamah itu-itu saja. “Gak sumbut karo bantere”. Artinya tidak ada korelasi antara kerasnya pengeras suara dengan kuantitas dan kualitas jamaah.

Pada kasus lain, saya merasa risih mendengar tadarus al Quran yang sejatinya bagus untuk belajar dan syi’ar. Tetapi jika yang baca masih ‘belajaran’ betapa tidak bijaknya jika menggunakan pengeras luar. Maka jika sudah bagus bacaannya, silakan untuk mengawali tadarus dengan pengeras suara luar.

Maka sejatinya pemerintah dalam hal ini sekadar mengatur agar lebih bijak, bukan melarang penggunaan pengeras suara. Silakan digunakan untuk syi’ar secara proporsional, bukan untuk ‘jorjoran’ dan keras-kerasan’. “Syi’ar, Yes… Jorjoran No”.