Muktamar NU Ke 34 : Refleksi, Tantangan dan Harapan

 

Oleh: H. Moh. Faizin, M.Pd.I., Rachmad Hidayat

 

  1. Muktamar sebagai Refleksi 1 Abad Peran Nahdlatul Ulama

Muktamar merupakan forum permusyawaratan tertinggi di dalam organisasi Nahdlatul Ulama.[1] Dalam anggaran dasar dan aturan rumah tangga organisasi telah ditetapkan bahwa muktamar adalah forum yang dihadiri oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengurus Wilayah, dan Pengurus Cabang atau Cabang Istimewa, selain itu juga sebagai ajang silaturahim antara ulama dan umara’ (para pemimpin) dalam pembicaraan dan penetapan laporan pertanggungjawaban, garis-garis besar program kerja, hukum atas kompleksnya permasalahan agama dan kemasyarakatan, perekomendasian organisasi, Ahlul Halli wal ‘Aqdi, dan pemilihan Ketua Umum PBNU yang dilakukan 5 tahun sekali.

Muktamar tidak hanya sekadar sebuah perkumupulan sidang yang dihadiri oleh kaum agamis dan intelektualis, namun lebih dari itu muktamar sebagai momentum penentu arah gerak perbaikan untuk mencapai umat yang kuat dengan pandangan moderat (tawasuth) dan dinamis (tathawwur). Lebih luasnya, organisasi Nhadlatul Ulama sebagai perwujudan langkah melindaungi dan menjaga umat secara halus, sukarela dengan cinta kasih.

Muktamar pada tahun 2021 menyongsong tema “Menuju Satu Abad NU: Membangun Kemandirian Warga, untuk Perdamaian Dunia”. Dari tema tersebut telah banyak diketahui Nahdlatul Ulama telah banyak menorehkan tinta keberhasilan, Nahdlatul Ulama bergerak dalam bidang agama, sosial, dan kebangsaan. Nahdlatul Ulama telah tuntas dalam mengintegrasikan antara agama dan nasionalisme, membentuk pilar ukhuwah dalam konteks keindonesiaan oleh KH. Achmad Shiddiq dalam Muktamar ke-27 di Situbondo.

Tema kemandirian dalam menyongsong satu abad Nahdlatul Ulama menjadi perhatian khusus.[2] Kemandirian dalam bentuk daulat antara kekayaan sumber daya yang ada dan pengelolaannya, yang demikian dalam skala nasional peran Nahdlatul Ulama sangat dibutuhkan. Bertolak dari kemandirian sisi ekonomi, di basis intelektual dalam kancah teknologi pun masih perlu direfleksikan untuk dapat menjadi sebuah landasan pergerakan eksplorasi.

Dalam hal perdamaian dunia telah masyhur bila Nahdlatul Ulama ditunjuk sebagai ‘mentor’ bagi keberlangsungan Islam yang wasath, moderat. Nahdlatul Ulama memiliki peran aktif di negara-negara lain, baik di poros kemasyarakatan yang bercirikan tawassuth; i’tidal’ tasamuh; tawazun; amar ma’ruf nahi munkar dan poros perekonomian dengan pertukaran produk.

Di satu abad ini Nahdlatul Ulama dalam kacamata internasional mencolok dengan penerapan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam khittah-nya ditegaskan bahwa paham keagamaan Nahdlatul Ulama beraspek pada lokalitas yang bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik dan sudah ada.

المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلج

“memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik”

Prinsip yang demikian membawa Nahdlatul Ulama pada ciri wasathiyah sebagaimana yang telah dirumuskan pada Muktamar ke-33 di Jombang bahwa al-‘Aqlu yakhdimun Naql, akal adalah pelayan dari nas agama. Sebagaimana dalam riwayat disebutkan bahwa خير الأمور أوساطها, sebaik-baik persoalan adalah sikap-sikap moderat. Sehingga dalam kacamata nasional, NU bersifat Trans-Tradisional, Transendental dan Trans-Nasional. Trans-Tradisional dalam perkembangan di angka 100 tahun ini Nahdlatul Ulama telah mampu mengarahkan dan mendidik masyarakat secara baik dengan cara yang mulia. Transendental mengarah pada sisi metafisika setiap masyarakat, tugas Nahdlatul Ulama masih berjalan dalam realitas cakupan para pakar cendekiawan dan ulama. Trans-Nasional dalam Nahdlatul Ulama masih dalam hangatnya pembicaraan dan menjadikan sebuah wacana yang akan terus bergulir di telinga, sebab di sisi ini Nahdlatul Ulama memiliki kewajiban untuk mampu membangun peradaban dengan beradptasi pada dinamisnya zaman demi sebuah maslahat, baik dalam keharmonisan masyarakat maupun khazanah keilmuan yang diserahkan pada ahlinya.

Nahdlatul Ulama memiliki aset para kiai yang mampu menjadi tokoh sosial dan masyarakat dan memiliki hubungan kuat dalam tatanan masyarakat. Nahdlatul Ulama memiliki peradaban budaya sebagai kekayaan khazanah keilmuan Islam yang khas, seluruh permasalahan akan dikembalikan pada ajaran ulama klasik dan kontemporer, sehingga dengan ahlussunnah wal jama’ah ia mampu menjawab segala urusan masyarakat luas.

Refleksi 1 abad ini hemat penulis Nahdlatul Ulama telah memebrikan sumbangsih yang banyak dalam menegakkan prinisp Islam Shalih likulli Zaman wal Makan, Islam selaras dalam kebenaran di setiap waktu dan tempat. Nahdlatul Ulama yang digerakkan oleh para ulama, umara’, dan masyarakat sedikit demi sedikit mampu mewujudkan sebuah pepatah populer

لسان الحال أفصح مِن لسان المقال

“bahasa perilaku lebih fasih; bijak; tajam dari bahasa lidah”

 

  1. Tantangan dan Harapan Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama sebagai organisasi besar nomor wahid di Indonesia dalam menyongsong usia 100 tahun pertamanya dihadapkan dengan berbagai macam tantangan. Dari berbagai tantangan, Muktamar tidak hanya sebagai rutinitas, melainkan harus bisa melahirkan para punggawa yang mampu melihat jauh ke depan. Melihat situasi yang ada saat ini, masyarakat Indonesia mulai digoncangkan dengan serangan asas kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, akhirnya antara jam’iyah dan jama’ah diperlukan relasi positif karena Nahdlatul Ulama telah mengembangkan syapnya ke berbagai sisi masyarakat.

Perlunya manajemen organisasi yang baik dibutuhkan dalam diri Nahdlatul Ulama yang mampu mengkader dan menggerakkan pada permasalahan umat. Umat adalah poros kelangsungan Nahdlatul Ulama dengan dasar prinsip Mabadi Khaira Ummah yang mencuat pada Muktamar ke-13, yaitu al-Shidqu (jujur), al-Amanah wal Wafa’ bil ‘Ahdi (amanah dan setia dalam segala janji), al-Adalah (adil), ta’awun (tolong-menolong pada sesama), dan al-Istiqamah (kelanggengan; konsistensi). Nilai-nilai universal yang telah dicetuskan para ulama di prinsip ini dapat menjadikan acuan pada permasalahan sosial, walaupun dalam perekonomian perlu kerja ekstra dan dalam perhelatan politik sering menyita banyak perhatian.

Tantangan ini berlanjut pada perluanya kekuatan sumber daya manusia yang perlu dikembangkan, Nahdlatul Ulama sangat dibutuhkan dalam berbagai kebutuhan masyarakat. Diharapkan perlunya pemuda-pemudi yang memiliki integritas, jiwa kompetitif, pribadi yang unggul, melek digital dan progresif dalam pelayanannya pada umat, tidak hanya sebagai alat formalitas dan kendaraan politik. Sehingga, layangan kritik dan kembali kepada Khittah banyak menggaung. Dari sini perlu digarisbawahi perlunya seorang masinis yang mampu membawa gerbong Nahdlatul Ulama pada visi dan gagasan besar.

Permusyaratan tertinggi, Muktamar, ajang salah satu memilih pemimpin ‘agung’ (Rais ‘Aam) dalam satu periode kepemimpinan Nahdlatul Ulama guna sumber suri teladan terhadapbaik dan buruknya perilaku sosial. Sebagaimana Hujjatul Islam Imam Ghazali mengutip ‘arifin mengatakan

إنّ صلاَ الرّعيّةِ في حسنِ سيرةِ الملوكِ

“kebaikan rakyat terletak pada baiknya kepribadian pemimpinnya”

Dalam kalimat yang lain disebutkan

إنّ طباعَ الرّعيّة نتيجةُ طباعِ الملوكِ

“perilaku rakyat adalah hasil dari perilaku pemimpinnya”

Ada pula riwayat yang menyatakan

النّاسُ على دينِ ملوكهم

“rakyat mengikuti aturan laku para pemimpinnya” [3]

Di usianya yang ke 95 tahun, Nahdlatul Ulama memiliki tantangan serangan pemahaman-pemahaman ideologi, baik kenegaraan atau landasan berpikir. Sebagai organisasi yang ber-manhajul fikr wasathiyah, jelas Nahdlatul Ulama perlu langkah strategis yang mampu menanamkan embrio pemikiran Munas Nahdlatul Ulama tahun 1983 di Situbondo tentang letak duduk Pancasila dan Islam dengan proporsional tanpa adanya tendensi ekstrem dari kubu kanan atau kiri. Titik tekan sekali lagi ajang muktamar ini diharapkan mampu menggiring pemilihan yang bersih, ‘alim, tawadlu’, berintegritas, berakidah aswaja an-nahdliyah, wara’, dan zuhud yang mampu membawa Nahdlatul Ulama tetap eksis dalam keberagamaan dan tradisi. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Imam Syafi’i yang dijadikan dasar dari kaidah fikih

منزلةُ الإمامِ مِن الرّعيّة منزلةُ الوليِّ مِن اليتيمِ

“derajat seorang pemimpin terhadap rakyatnya layknya derajat pengasuh terhadap anak yatim”[4]

Yang demikian banyak diimpikan oleh nahdliyin dan masyarakat Indonesia umumnya, Nahdlatul Ulama untuk menciptakan suasana Indonesia yang berkahlak, rukun, damai, dan mengibarkan nilai-nilai Pancasila. Nahdlatul Ulama: Himayatu al-Daulah wa al-Diin.