Ketika Ali Melepas Rindu di Ujung Ramadan

Oleh : Deddy Hermansjah.

“Assalamualaikum, Ibu”, ucapnya lirih.
“Mohon maaf Ibu, Ali baru sempat jenguk Ibu”, nafasnya tersengal, dan tangisnya-pun akhirnya pecah, “Ibu apa khabar? Ali ada khabar gembira buat Ibu”, disampaikannya dengan senyum bercampur tangis.

Bocah bernama Ali itu tersendu pilu memeluk kedua lututnya. “Maafkan aku ibu”, ucapnya tertahan, air matanya kian berlinang, “Aaa… Ali… Ali”, dadanya terasa sesak kian bergemuruh, “Ali puasanya lancar, ibu. Hiks… hiks…”, Ali anak yang tidak banyak keinginan, “semua teman Ali diberi hadiah, Bu,” bisiknya lirih seiring dengan tangan mengusap wajahnya. “Ali istimewa ya Bu? Kata Nenek, Ali spesial di mata Allah”, Ia curahkan semuanya kepada ibunya, Ia berharap sang ibu mendengarnya.

“Ali sekarang sudah berubah Bu, tidak lagi ngerepotin nenek. Nenek bilang baju Ali masih bagus semua, makanya Ali nggak beli”, sambil tersenyum, padahal, hatinya bergetar. “Kalau Ibu gimana? Apakah Allah memberikan baju baru? Kalau iya, Ali mau menyusul Ibu”, tak ada tisu untuk mengusap, yang ada, hanya tangan kumal yang setia menghapus air matanya.

Ali berbalik. menghadap ke nisan disebelahnya, “Assalamualaikum, Ayah”, Ia bersihkan rerumputan yang tumbuh di sekitar makam Ayahnya.
“Maafkan Ali, Yah. Ali belum bisa membuat Ayah bangga, Ali masih saja cengeng, terus mengeluh, padahal, Ayah melarang itu semua”.

Ali hanya bisa menangis, untuk berhenti-pun Ia tak mampu, “Ali rindu Ayah, rindu bermain dengan Ayah. Kapan bisa diulang? Ali tidak pengen lagi dibelikan sepeda, yang Ali mau dibopong di pundak Ayah yang bisa membuat Ali tertawa”.

Dan rintik hujan mulai terasa, awan mendung semakin pekat, “Ali pulang dulu ya. Minal aidin wal faidzin. Ali sayang Ayah dan Ibu”.
Ali-pun berlari pulang dengan berjuta kasih dan kerinduan. 😢😢😢

–(Edisi: Menjelang Idul Fitri 1442 Hijriyah)–