Oleh : Ustad Abdussalam Santri Sidogiri.
Jika dalam dunia pendidikan, ada istilah sekolah islam terpadu, maka dalam dunia pengobatan, juga ada istilah pengobatan terpadu.
Perpaduan antara kekuatan energi spiritual yang bersumber dari Kalamullah, dan shalawat2 Nabi, dengan kekuatan energi kasih sayang dan cinta kasih melalui sugesti yg positif, dan mengandung nilai2 kebaikan di dalamnya.
Ingatkah Anda, sebuah kisah inspiratif yg termuat dalam hadits Nabi, tentang 3 orang terjebak di dalam goa yang tertutup rapat. Lalu ketiga orang tersebut bertawassul dan berdoa kepada Allah melalui kisah2 energi positifnya yg telah lalu dia lewati.
Kisah orang pertama tentang khidmahnya kepada orang tuanya, kisah orang kedua tentang menahan maksiat zina dgn wanita bukan mahramnya, dan kisah orang ketiga tentang keikhlasan memberikan hasil panen ternaknya kepada pekerjanya. Dimana semua itu dilakukan karena takut kepada Allah, dan mengharap keridhaan-Nya.
Ya benar, kisah inspiratif di atas, dari sisi keilmuan hipnoterapi, kita dapat mengalirkan dan menyalurkan energi positif kita untuk membuka musibah yang kita alami.
Begitu pula dapat kita manfaatkan energi positif tersebut untuk memohon kesembuhan kepada Allah terhadap penyakit dan keluhan klien yg kita tangani.
Sejatinya seperti inilah sikap seorang terapis yg islami dan berakidah ahlus sunnah wal jamaah. Dia tetap memohon kebaikan dan kesembuhan hanya kepada Allah swt, melalui jalan2 tawassul orang2 sholih ataupun amal2 perbuatan baik yang telah dilakukan di masa lalunya.
Berbicara konsep terpadu, dalam dunia pengobatan, maka kita perlu memahami metode2 alternatif pengobatan yang ada, baik pengobatan jalur medis, seperti kedokteran, maupun jalur non medis, seperti Ruqyah dan Hipnoterapi.
Untuk kedua jenis pengobatan jalur non medis yg terakhir ini, kadang disikapi apatis oleh satu sama lainnya. Seolah salah satunya yg paling merasa benar, dan yg lainnya salah.
Padahal sejatinya tidaklah saling berlawanan, bahkan bisa disinergikan, menjadi metode pengobatan terpadu.
Saya pribadi, tidak sependapat dengan orang yang mengatakan bahwa praktik ruqyah tdk ada unsur hipnosis sama sekali, lalu mengatakan hipnoterapi menggunakan tehnik khodam jin, menghadirkan makhkuk halus, dll, bahkan disebut tidak islami. Menurut saya, orang tersebut pikniknya kurang jauh. Sekali2 pikniknya agak jauh, sampai dapat sertifikat bergelar CH, C.Ht, dan C.Ht Prof hingga C.I. Diniatkan mencari keberkahan ilmu, tidak perlu berniat mencari2 kesalahan, agar tidak tercebur ke lumpur kesesatan.
Sebab kata Buya Hamka, orang itu tergantung apa yang dicari dan difokuskannya. Sekalipun dia berada di Kota Suci Mekkah, jika pikirannya fokus mencari kesalahan orang, pencuri dan wanita2 nakal, maka akan bertemulah dgn apa yg dicarinya. Sebaliknya, walau dirinya ada di Negara kafir sekalipun, USA misalnya, ketika fokus tujuannya mencari nilai2 kebaikan, maka akan bertemu dgn kebaikan.
Maka membenahi niat, sangat diperlukan dalam segala apapun yg kita kerjakan. Sesuai hadits shahih Nabi ttg niat dalam kitab Arbain Nawawi.
Marilah belajar hipnoterapi yang benar, dengan niat tulus dan ikhlas karena Allah, agar bisa bermanfaat untuk diri sendiri dan juga orang banyak. Setelah betul2 mempelajarinya dengan benar, dan betul2 paham serta menguasai, barulah kita boleh berpendapat, menganalisa, dan berdiskusi utk pemahaman yang lebih dalam.
Jadi, bukan hanya katanya, atau hanya nonton di TV acara Uya Kuya, atau belajar cuma 1 – 2 jam di youtube, langsung koar2 di sana sini, menyimpulkan sesuai pemahaman yg masih dangkal itu. Maka bisa berpotensi sesat dan menyesatkan orang lain.
So, kita perlu juga piknik buka2 kitab As-Syifa dan Al Qanun Fit Thibb, karya Ibnu Sina. Betapa hebatnya beliau Ibnu Sina dalam mengobati penyakit2 psikis, dgn menggunakan pendekatan psikis, dan tidak dgn pendekatab pembacaan ayat2 Ruqyah. Bukan karena beliau tidak yakin terhadap kebarokahan ayat Quran, namun bisa jadi titik sasaran yg dituju akan lebih efektif jika menggunakan pendekatan lain, selain Ayat Al Quran.
Padahal Ibnu Sina dalam sejarahnya, dia Hafidz Quran sejak usia dini 10 tahun. Namun, beliau sangat bijak menempatkan sesuatu dengan semestinya, proporsional.
Sebab, memang tidak semua penyakit non medis itu pasti karena kerasukan jin atau makhluk halus. Kasihan sekali jin itu, selalu jadi kambing hitam, disalahkan terus ketika melihat orang sedang mengalami masalah dgn psikisnya.
Suatu penyakit jika itu karena murni faktor psikis, maka tidak akan menyelesaikan masalahnya hanya dgn dibacakan Al Quran saja. Ketenangan bisa saja didapat, tapi bersifat sementara.
Sebab, masalah utamanya belum terurai dan selesai. Soal tetap dapat pahala membaca dan memperdengarkan, itu memang iya, tapi itu lain ranah. Ini dalam dunia pengobatan, ranahnya lebih kepada tepat sasaran dan efektif atau tidaknya dalam menyelesaikan permasalahan klien.
Jadi, mari kita buka wawasan kita seluas luasnya, menerima ilmu dari siapapun, selama bermanfaat, mari kita amalkan, dipadukan dgn keilmuan lain yg kita punya, itu akan menambah keberkahan ilmu yg ada.
Bukankah kita sering kali mendengar, pepatah bijak Arab: _”Undhur ma qila wala tandhur man qola”_ lihatlah apa yg disampaikan, jangan melihat siapa yg menyampaikan. Karena Allah SWT tidak melihat fisik seseorang, melainkan pada hatinya, sesuai hadits Nabi.
Dan Saya sebagai seorang Santri, tentu sangat sepakat, dan Yaqin haqqul yaqin, bahwa Al Quran adalah Syifa’ (obat, penyembuh), sesuai Firman Allah swt:
وننزل من القرآن ما هو شفاء ورحمة للمؤمنين ولا يزيد الظالمين الا خسارا.
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an suatu yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian” (QS. Al-Israa’: 82).
Ayat ini menegaskan bahwa Al Quran adalah sebagai penawar, obat dan rahmat bagi orang mukmin. Makanya di jaman Sahabat dulu, dalam hadits2 Nabi diceritakan, bahwa Ayat Al Quran, salah satunya Surah Al Fatihah banyak digunakan sbg ruqyah (pengobatan) utk orang yg terkena sengatan kalajengking, demam, panas, dll, dan ternyata sembuh.
Tapi bukan disitu inti persoalan yang Saya bahas. Dalam tulisan Saya di atas, Saya mengatakan bahwa Pembacaan Al Quran tidak menjadi satu2 nya sebagai alternatif media penyembuhan. Sehingga selain Al Quran tidak dapat menyembuhkan. Nah inikan pemahaman yg salah dan menyesatkan. Karena kita sbg kaum muslim penganut aliran Ahlus Sunnah wal Jamaah, bahwa hak kesembuhan itu mutlak dari Allah swt.
Apapun medianya. Sehingga ketika kita menggunakan media pengobatan selain dari Al Quran misalnya, maka kesembuhan juga tetap dari Allah swt. Persepsi menjadi tidak tepat, jika dikatakan, bahwa media selain Al Quran, tidak dapat menyembuhkan.
Lha ini paham dari mana.. padahal selain Al Quran ada juga Shalawat Nabi, dan kata2 Sugesti/Nasihat yang positif serta mengandung nilai2 kebaikan, yang dapat dijadikan unsur pengobatan. Dan kita semua tentu sepakat, bahwa seluruh nilai2 positif dan kebaikan itu sumbernya juga dari Al Quran, yg artinya dari Allah SWT.
Bahkan dalam kitab2 Salaf, diterangkan oleh para ulama, boleh kok kita mengobati orang lain, dengan selain Al Quran, asal dilakukan dgn cara2 yg baik, dan tidak mengandung unsur kesyirikan. Ya jelas, sbg mukmin yg berakidah aswaja, kita tentu semua tidak boleh beritiqad, bahwa metode inilah, yg dapat menyembuhkan penyakit pasien, ini tidak benar dan salah secara akidah tauhid. Kesembuhan hanya datang dari Allah SWT. Apapun bentuk pengobatannya dan medianya atau metodenya. Itu sudah pasti.
Namun penekanan saya dalam persoalan ini, pada metode penyembuhan, bahwa terkadang banyak realita kejadian di masyarakat kita, sudah dibacakan macam2 Ayat Al Quran, tapi tidak kunjung sembuh dari sakitnya.
Klien terus saja masih abreaksi, tidak sadarkan diri. Ternyata setelah selidiki, lebih karena faktor psikologi tadi. Contoh kasus: klien punya hasrat terpendam di dalam hatinya, dan tak mampu mengungkapkan hasratnya itu kepada suaminya, bahwa dirinya pengen pisah rumah dari mertuanya.
Klien merasa tidak nyaman dan tidak tenang hidup berdampingan dgn mertua yang selalu mengevaluasi setiap kegiatannya, dan selalu dimarah-marahi. Dia merasa tidak bebas, dan terkekang. Hingga akhirnya hasrat itu memuncak dahsyat dalam pikirannya, hingga akhirnya muncullah efek abreaksi.
Kasus ini kan sama dgn kisah pangeran yg diceritakan dalam kisah Ibnu Sina, yang sakit berkepanjangan, tidak mau makan, dsb, dan seluruh org pandai tidak mampu menanganinya. Lha wong ternyata dia punya penyakit psikis berupa asmara jatuh cinta kepada seorang gadis biasa yg cantik jelita di sebuah distrik yg tak jauh dari kerajaannya.
Maka setelah dinikahkan dgn pujaan hatinya tsb, sembuhlah penyakitnya. Sama dgn kasus pangeran ini, kasus seorang istri yg abreaksi di atas, ketika ybs telah diajak pindah rumah, alias mengontrak di rumah lain, pisah dgn mertuanya, sembuhlah penyakit abreaksinya yg selama ini terus berulang. Artinya, pembacaan Al Quran semata pada dirinya, tidak lantas menjadi otomatis penyelesaian gejolak batin dan psikisnya.
Kejadian tsb nantinya akan terus berulang, selama hasrat terpendamnya itu masih terus mengganggu, dan tidak dipenuhi.
Oleh karenanya, kita harus proporsional dan bijak dalam bertindak, Kapan kita menangani kasus klien diperlukan membaca Al Quran sbg obat penawarnya, kapan kita juga menggunakan tehnik lain yg lebih efektif dalam mengobati keluhan klien. Atau menggabung keduanya, disinergikan, sehingga menjadi metode pengobatan yang terpadu.
Lha saya sendiri misalnya, dalam metode pengobatan yg pernah saya lakukan, saya menggabungkan keduanya, di awal saya bacakan Suratul Fatihah, Surah Yasin Ayat 9, surah Al Insyirah, Shalawat thibbil Qulub, Shalawat Fatih, lalu melakukan proses sugesti hipnoterapi sesuai keluhan psikis klien.
Saya tetap berharap barokah dari Ayat2 Alquran dan Shalawat Nabi yang saya baca, karena itu penting bagi saya seorang mukmin, tapi juga tetap memakai metode2 hipnoterapi modern sesuai kebutuhan dan psikis klien yg saya tangani. Hasilnya, sungguh luar biasa. Monggo dicoba dan dibuktikan!
Semoga Bermanfaat.
Alfaqier ilallah,
Abdussalam
Sidogiri, 21.03.21