Optional Saja Atribut Keagamaan di Sekolah

Mochammad Rifai*
Lebih tepat disebut banyak diperbincangkan daripada diperdebatkan tentang kasus SMK N 2 Padang beberapa hari lalu yang mencuat di medsos. Kasus itu sempat membuat susana di tiga kementerian terkait sedikit terganggu. Mereka pun akhirnya turun tangan juga. Terkait dengan kasus klasik itu, sebenarnya bukanlah hal yang pertama terjadi di negeri kita ini. Bahkan di Banyuwangi beberapa tahun lalu sempat viral menjadi perbincangan publik gara-gara sekolah negeri setingkat SMP di Kec. Genteng memaksa siswinya yang beragama nonmuslim ‘dipaksakan harus’ berbusana ala muslimah lengkap dengan hijabnya. Tidak ada pilihan karena itu seragam ketentuan sekolah, cetus petugas di sekolah itu, konon beritanya.
Keputusan tiga menteri; Mendikbud, Mendagri dan Menag tanggal 3 Januari 2021 tentang seragam sekolah siswa dan GTK khususnya di sekolah negeri, sudah jelas bahwa seragam sekolah untuk siswa, guru dan tenaga kependidikan (GTK) tidak boleh memaksa dengan alasan apapun karena itu hak pribadi, self optional saja. Kalaukah ada dictum dalam aturan tata tertib sekolah yang secara tekstual menyaratkan penggunaan atribut sekolah berdasarkan khazanah agama tertentu harus dicabut. Sekolah negeri wajib menerapkan paham kebhinekaan, kenusantaraan sebagaimana prinsip ajaran ideologi negara Pancasila.
Sementara di Banyuwangi, mungkin juga di daerah lain, ada beberapa sekolah negeri yang berkolaborasi dan dibangun di dalam kompleks pondok pesantren. Terus apakah lembaga layanan pendidikan itu otomatis menjadi sekolah negeri yang eksklusif? Apakah sekolah negeri di bawah Kemenag misalnya madrasah bagi agama Islam, sekolah negeri lain sejenis dari agama yang lain juga memperlakukan warga sekolahnya dengan atribut dan aksesoris sesuai dengan khazanah sekolahnya?
Pertama : Wawasan Kebangsaan
Negara Kesatuan Rep. Indonesia dibangun dengan konsensus bersama seluruh suku bangsa, agama dan golongan berdasarkan wawasan kebhinekaan dan kenusantaraan. Besar kecilnya perbedaan itu tidak boleh ada sikap-sikap diskriminasi, karena hak dan kewajiban warna negara sama. Layanan publik di negeri tercinta ini harus berlaku adil terhadap siapapun yang berbeda latar belakang itu, termasuk layanan pendidikan di sekolah. Sekolah negeri tidak boleh eksklusif. Bolehlah secara kultur pihak mayoritas yang dominan dan yang minoritas harus menerima konsep pepatah “di mana bumi dipijak di situ langit harus dijunjung” tetapi dalam hal ideologi pribadi yang menyangkut paham dan keyakinan keagamaan adalah hal yang pribadi dan karenanya tidak boleh ada jargon “dominasi mayoritas, tirani bagi minoritas”. Artinya dalam konsep wawasan kebangsaan sekolah harus memberlakukan konsep demokrasi yang sebenarnya ‘merdeka’ untuk semua anak bangsa.
Kedua : Kedewasaan Beragama
Pembelajaran dalam konteks perilaku sosial di sekolah banyak yang tidak tertulis (hidden) dalam kurikulum sekolah. Tetapi pembudayaan paham kedewasaan dalam hidup sosial yang ragam perlu dididikkan dengan ilmu dan keteladanan. Kedewasaan dalam arti kasadaran dan tahu diri saat hidup dalam satu kondisi bersama dalam pergaulan yang beragam. Mungkin dalam bahasa yang lebih populer sikap toleransi sosial beragama. Berbeda itu sunnatullah, sebuah keniscayaan tak terbantahkan. Memilih itu adalah hak azasi pemberian Tuhan. Memeluk agama saja Tuhan tidak memaksa, apalagi hanya soal atribut?
Keputusan tiga Mentri tersebut tidak boleh ada kesan hanya ditujukan kepada agama tertentu dalam hal ini Islam, yang paling mengemuka karena mayoritas di negeri ini, tetapi juga tentu terhadap agama non-Islam. Artinya di lembaga-lembaga sekolah yang digagas oleh kalangan nonIslam (khususnya sekolah negeri di lingkungan Kemenag) juga tidak boleh eksklusif. Sikap toleransi juga mengandung unsur pengakuan terhadap eksistensi yang berbeda. Kesadaran dan keikhlasan menerima bahsa keragaman itu juga kehendak Tuhan YME, mengapa harus dilawan dengan logika dan kehendak manusia?
Ketiga : Pendidikan untuk Semua
Layanan pendidikan itu bagian dari penerapan nilai-nilai azasi hak atas manusia (education for all). Pendidikan itu untuk semua tanpa batas dan syarat tertentu yang bersifat seremonial. Kultur sekolah dibangun atas dasar semangat membangun peradaban manusia yang tidak mono color, monotun, melainkan dicerahkan oleh warna-warni ragam keadaan, ragam kenyataan pisik nonfisik serta aneka paham termasuk talenta yang beragam. Sekolah harus menjamin kemerdekaan setiap individu dengan keadaannya, bukan dibangun atas dasar subjektivitas selera. Dijamin tidak ada buli, tidak ada persikusi, tidak ada korban perbedaan selera dan segala bentuknya itu baik verbal maupun nonverbal; dari siapa pun oleh siapa pun kepada siapa pun.
Kebijakan sekolah tentang sekolah terbuka (inclusive), ada istilah layanan khusus dan perlakuan khusus. Tidak hanya warga sekolah yang mengalami kekurangan secara fisik, mental (akademik lemah), perilaku berbeda lain (misalnya ;hyper active) tetapi juga bagi mereka yang memerlukan perlakuan khusus karena keradaannya yang berbeda. Pengalaman memimpin sekolah negeri di dalam pondok pesantren sebut saja SMA Negeri Darussholah Singojuruh dan SMA Negeri Glenmore yang berkolaborasi dengan Ponpes Mihajut Thullab selalu ada siswa dan guru dari pemeluk agama non-Islam. Mereka tetap merdeka dengan paham agamanya. Atribut hanya sebuah aksesoris bagi mereka. Sifatnya optional, choise. Sekolah terbuka dengan memberikan kebebasan memilih. Namun mereka sendiri yang dengan sadar dan senang hati mengikuti khazanah sekolah muslim dengan memandang style berjilbab sebagai sebuah akseroris semata, tidak menganggu keyakinan agamanya. Mereka juga menerima pelajaran agama dari guru seiman yang disediakan pihak lembaga, pasal undang-undangnya begitu. Hak liburnya juga menyesuaikan dengan kebutuhan agamanya.
UU Sisdiknas 2003 sudah ada ruang-ruang yang memungkinkan sekolah di-design secara demokratis. Munculnya sebutan ‘peserta didik’ bukan untuk maksud menggantikan istilah murid atau siswa melainkan dimaksudkan menggeser paradigma kesetaraan menuju terciptanya tata pergaulan, interaksi di kelas maupun di luar kelas, antara guru-siswa, siswa-siswa, tidak menunjukan kesan adanya superior-imperior, lemah–kuat, mayoritas-minoritas. Pendidikan yang egaliter diselenggarakan secara demokratis, dialogis, menyenangkan, menantang (bermakna) dan mengagumkan. Kultur sekolah harus dijauhkan dari kultur feodal yang melahirkan generasi seolah-olah baik tapi lemah karakter; jujur, santun tapi gampang minder, gampang patah, penuh kepura-puraan. Tetapi kadung berani berperilaku ngawur, anarkhis akibat dorongan jiwa ketertekannya.
Mochammad Rifai, Kepala SMA Negeri Glenmore, Banyuwangi. Sekolah di lingkungan pondok pesantren Minhajut Thullab Krikilan Glenmore.