Bangkalan Punya Klenteng Lho

 

: ngablak sore Mashuri Alhamdulillah.

Beberapa waktu lalu, di sela-sela ikut meramaikan acara Festival Puisi Bangkalan, saya ngacir ke beberapa tempat di Bangkalan. Tentu yang saya tuju adalah tempat yang selama ini belum saya endus di kawasan Madura Barat. Dari blusukan itu, saya terhenyak ketika saya menemukan sebuah fakta menarik: Bangkalan punya klenteng! Padahal selama ini, di benak saya yang kampungan bin ndesit, tidak terlintas adanya bau Tionghoa di kota paling barat di Pulau Madura itu. Apalagi, ternyata klenteng itu berusia sangat tua dan masih berfungsi dengan baik hingga detik ini.

Yeah, singkat kata dan singkat cerita, klenteng tersebut bernama Eng An Bio. Lokasinya di tengah kota, di antara kepadatan penduduk, tepatnya di Jalan Panglima Sudirman 116, Kelurahan Pejagan. Klenteng tersebut sungguh sebagai saksi perjalanan Bangkalan sebagai sebuah kota. Hal itu karena klenteng itu didirikan Ong Ki Chai, tahun 1805. Tanahnya merupakah hibah dari Kapiten Kuang Pang, seorang Kapitan Cina di Bangkalan.

Adapun, Kelurahan Pejagan merupakan perkampungan tua, dengan aroma poskolonial dan multikultural yang kental. Toponimnya merujuk pada kata ‘jaga’, yang mengarah pada arti kata tempat penjagaan atau pengawasan. Penamaan itu dapat dimaklumi karena di kelurahan tersebut kuyup dengan bau mesiu. Hmmm. Di sana, juga terdapat Benteng Erfprins, peninggalan Belanda, yang kondang disebut Benteng Pejagan. Sejarah benteng itu juga panjang. Erat kaitannya dengan sejarah pendudukan VOC/Belanda di Madura Barat.

Sebuah sumber menyebut, dalam perjanjian Mataram-VOC/Belanda pada 11 November 1743, Susuhunan Paku Buwono II dapat bertahta kembali sebagai raja Jawa, dengan syarat jika VOC menguasai Madura Barat dan menyingkirkan kekuasaan trah Tjakraningrat. Sahdan, setelah menguasai Madura Barat sekitar 1747, VOC/Belanda mendirikan sebuah benteng di tengah kota. Tujuannya jelas, sebagai sarana untuk memonitor keluarga penguasa Bangkalan.

Sumber lain melanjutkan, fungsi benteng tersebut berkembang sesuai kepentingan VOC/Belanda di Hindia Belanda. Benteng Erfprins pernah menjadi gudang persenjataan VOC/Belanda. VOC/Belanda membangun kekuatan militer di Madura yang bertujuan untuk menumpas beberapa pemberontakan di Cirebon, Bone, Jambi, Bali, dan Jawa. Dengan demikian, benteng ini begitu penting pada masa lalu.

Di sisi lain, terdapat sebuah arsip Belanda yang menyebutkan, benteng itu dinamakan Erfprins, dibangun pada masa Raja Willem I (1817—1848). Dinamakan Erfrins terkait dengan tradisi Kerajaan Belanda yang menghargai kerabatnya. Anak Wilem I, bernama ‘Erfprins’ lahir ketika benteng itu dibangun, sehingga nama benteng pun dinisbatkan pada bayi itu. Erfprins sendiri naik tahta pada 1849 dan disebut sebagai Raja Willem III.

Dimungkinkan terdapat perkembangan dalam pembangunan benteng tersebut. Awalnya, bisa jadi sebuah benteng sederhana yang dimulai pada 1747 untuk mengawasi keluarga Kasultanan Bangkalan di Madura Barat, sehingga tempat berdirinya disebut Pejagan. Kemudian pada era Willem I (1817—1848), benteng itu disempurnakan menjadi benteng seperti sekarang ini dan diberi nama dengan nama anaknya, yaitu Erfprins, dan disesuaikan dengan kepentingan operasi VOC/Belanda dalam ‘menjaga’ tanah jajahannya dari rongrongan penguasa lokal. Tapi itu asumsi saya lho!

Hops! Ngelanturnya sudah keterlaluan, kita kembali ke klenteng Eng An Bio. Begini, Ong Ki Chai mendirikan klenteng pada tahun 1805 dengan mendirikan bangunan alakadarnya, alias sederhana. Selanjutnya, pembangunan klenteng pun berkembang seiring perjalanan waktu, semakin luas dan semakin bagus seperti sekarang. Yup, kini lahan klenteng ini seluas sekitar 435 meter persegi. Dari depan memang kelihatan kecil dan sempit, tetapi dalamnya meluas, seperti kantong. Mulutnya sempit, tapi perutnya menggelembung. Ada altar dan ruang-ruang tertentu, juga aula besar. Tentu semua tata letak itu sesuai dengan tata aturan fengshui, yang merupakan keahlian kalangan Tionghoa dalam hal-ihwal tanah dan bangunan.

Sementara itu, dewa utama di Klenteng Ang En Bio adalah Hok Tek Cheng Sin atau Dewa Bumi. Selain Dewa Bumi, ada Ma Zu atawa Mak Co atau Dewi Bahari (biasanya dipuja kaum nelayan dan kaya), Kwan I Kong (dewa yang dipuja kaum pedagang) dan Kong Tik Cun Ong (dewa yang dipuja para tabib atau ahli pengobatan). Di sisi lain, ada pula altar untuk Dewi Kwan Im (dikenal sebagai Dewi Welas Asih).

Sayangnya, saya tidak betah berlama-lama di sana. Soalnya, aroma dan asap dupa/hio selalu saja mampu membuat mata saya menyempit. Semoga itu tidak berlaku untuk kantong/dompet saya. Tapi bila mulutnya saja yang sempit, tapi dalamannya membesar tak apalah. Ups!

Demikianlah.

MA
On Sidokepung, 2021
Ilustrasi Klenteng Eng An Bio, jepretan sendiri, sekalian belajar nyelpi.