: catatan memori : Mashuri Alhamdulillah.
Banyak orang yang tidak tahu bahwa pernah ‘berdiri’ sebuah komunitas sastra Jawa di kampus Universitas Airlangga. Namanya keren abis: Paguyuban Tiwikromo. Sebuah nama yang mengambil spirit dari para manusia setengah dewa dalam dunia wayang purwa yang dilanda ‘amuk’ ketika menghadapi angkara murka, sebagaimana Yudhistira, Kresna, dan lainnya. Sebenarnya, maksud sederhananya adalah pengerahan daya pikiran untuk fokus tertentu, yaitu sastra Jawa.
Yeah, dapat dikatakan, itu adalah komunitas di dalam komunitas. Pasalnya, yang aktif dan mendirikannya adalah anak-anak eksponen Komunitas Teater Gapus dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar Surabaya. Bila Gapus adalah wadah besar dan kebanyakan anggota resmi berstatus mahasiswa, Komunitas Luar Pagar adalah alumni Gapus, yang dapat juga dikatakan sebagai kopasus-nya. Ehm.
Tiwikromo berdiri pasca-Reformasi 1998, dan diinisiasi oleh empat orang, yaitu Widi Asy’ari (Ilmu Sejarah), Muhammad Aris (Sastra Indonesia), Gatot Suryowidodo (Ekonomi Pembangunan), dan saya. Hal itu mengingat ada juga senior komunitas yang juga gemar menulis guritan, di antaranya W Haryanto, Indra Tjahyadi dan lainnya. Pada perkembangannya, ada juga yunior di Gapus yang juga menggumuli guritan dan bergabung Tiwikromo, yaitu Djoko Santoso, dan dia termasuk salah satu pendiri Pakarsajen (Paguyuban Karawitan Sastra Jendra) yang hingga kini masih eksis di Unair.
Aktivitas Paguyuban Tiwikromo menjadi pemerkaya komunitas induk dan semacam paseduluran dari beberapa mahasiswa yang agak njawani atau suka dengan hal-hal berbau Jawa. Hal itu karena pada masa lalu, membuat komunitas di dalam komunitas itu lumrah. Bukan untuk firqah tetapi sebagai semacam laku disposisi, kadang juga hanya sebagai gaya-gayaan. Ben mbois!
Yang unik, tidak ada agenda formal dari Tiwikromo. Beberapa eksponennya rajin membuat guritan dan dikirimkan ke media berbahasa Jawa, baik itu Panjebar Semangat dan Jaya Baya (di Surabaya) maupun Djoko Lodang dan Mekarsari (di Yogya). Selain itu, diskusi sambil lalu terkait dengan kejawaan, yang dipungkasi dengan adu kesaktian. Ups! Maksudnya, berbicara tentang kejawaan dari sisi yang berbeda.
Saya masih ingat ketika saya dipercaya sebagai pimpro peluncuran “Manifesto Surrealisme” (2002) di Balai Pemuda, Surabaya. Kala itu, arek-arek memang ugal-ugalan. Acara peluncuran buku puisi yang diterbitkan Galah Yogyakarta bekerja sama dengan Luar Pagar itu didesain selama tiga hari dengan rangkaian acara: diskusi, pertunjukan sastra dan pembacaan puisi. Adapun salah satu sumber dananya adalah honor guritan kawan-kawan yang dimuat di majalah Jaya Baya. Saya pun mendatangi kantor redaksi sebagai tukang tagih. Meski waktu itu, honor pemuatan masih Rp. 15.000, tapi lumayan karena rapelan.
Saya mencatat ada dua antologi tunggal dari kawan-kawan Tiwikromo, yang keduanya diterbitkan dan disokong penuh oleh Komunitas Gapus. (1) Ilat Geni karya Widi As’ari tahun 2004 (2) Lagon Mripat karya Muhammad Aris tahun 2007. Mudah-mudahan tahunnya benar. Yeah, kedua kawan itu memang memiliki guritan dengan gaya unik dan khas. Bila tidak salah ingat, peluncuran buku dilakukan di kampus, dengan rangkaian diskusi dan perfom yang menghadirkan pembicara dari kalangan sastrawan Jawa di Surabaya dan Gresik.
Sebenarnya, saya berharap Gatot Suryowidodo dan Djoko Santoso menerbitkan buku antologi guritan karena karyanya sudah banyak dan menarik. Kebetulan, keduanya sama-sama berasal dari Trenggalek. Sayangnya, keduanya kemudian disibukan dengan tugas sehari-hari sebagai wartawan dan dosen. Dulu, saya juga akan menerbitkan antologi tunggal berjudul ‘Njengking’, tapi karena file ngendon di komputer lama yang rusak, akhirnya niat itu belum dapat terlaksana. Alasan lawas, Dul!
Kini, jauh setelah pascakuliah, eksponen Tiwikromo sudah menyebar ke mana-mana. Mudah-mudahan masih ingat pada sastra Jawa. Bukankah sakbeja-bejane wong iku kang eling lan wapada? Gak nyambung, Cak!
Glodak!
MA
On Siwalanpanji, 2020
Ilustrasi ngembat dari grup WA BBJT: sedang macak lusang, lucu sangar, bersama Om Balok dan Om Weni.