Hzbib Usman bin Yahya jadi Mutfi Atas rekomendasi Snouck Hourgronje yang kala itu menjadi Penasehat Urusan Pribumi di Hindia Belanda dan menurut pengakuannya telah mengenal Sayyid Usman dan keluarganya selama berada di Mekkah, Sayyid Usman ditawarkan posisi sebagai Penasihat Kehormatan (Honorary Advisor) urusan Keislaman.

Menurut penelitian Nico Kaptein, Sayyid Usman tidak langsung menerima posisi itu, tapi pada akhirnya ia menerima dengan tujuan agar keberlangsungan kehidupan beragama masyarakat muslim di Hindia Belanda bisa tertata rapi.

Pemerintah Hindia Belanda sering minta fatwa. Diantaranya  Fatwa seputar penolakannya terhadap tarekat yang “menyimpang” dan gerakan jihad “palsu”,seperti di Banten pada tahun 1888, tertulis dalam kitabnya berbahasa Melayu berjudulManhaj al-Istiqomah fi ad-Din bi as-Salāmah.

Habib Usman juga  menyatakan bahwa mereka sebenarnya belum memahami apa sebenarnya ajaran Tarekat. Begitu juga dalam masalah jihad.

Contoh pemberontakan di Cilegon dan Bekasi tidak bisa digolongkan sebagai jihad (atau dibahasakan dahulu menjadi Perang Sabil), karena tidak memenuhi syarat-syarat berjihad, bahkan justru mencederai citra Islam sendiri. Karena itu pemerintah yang sah adalah Pemerintahan Hindia Belanda. Kemudian juga mendoakan Ratu Sihelmina Raja Kerajaan Belanda agar panhang umursan sehat.

Dalam Manhaj al-Istiqamah, beliau menyatakan, “dan demikian pula sangka setelah daripada orang yang jahil pada bab al-jihad, bahwa ia sangka kumpulan bikin rusuh negeri itulah perang sabil yang tersebut di bab al-jihad maka inilah ghurur yang samat besar lagi amat banyak dharuratnya pada orang-orang”(Sayyid Usman: 22-23).

Habib Usman bahkan menegaskan kalau istilah Perang Sabil sebenarnya tidak pernah diangkat-angkat (membuka mulut mengajarkan) oleh para Ulama dari dahulu hingga saat ia hidup, baik dari bangsa Arab maupun ulama nusantara (Jawa) sendiri.

Muhammad Noupal, dalam disertasinya “Pemikiran Keagamaan Habib Usman bin Yahya” berpendapat lain. Sayyid Usman dalam kapasitasnya sebagai mufti beliau justru prihatin dengan kondisi umat yang belum mampu beribadah dan menjalankan syariatnya dengan benar, sehingga ia lebih memilih menekankan perbaikan pemahaman ajaran-ajaran keagamaan daripada menjadikan agama Islam sebagai “dalil politik” untuk melaksanakan jihad palsu tersebut.

Di masanya, ia berhasil memperjuangkan untuk melakukan pembinaan kualitas para Hakim Agama  yang disimpulkannya belum menguasai betul masalah syariah. Untuk masalah ini, ia menulis buku khusus berjudul al-Qawanin as-Syar’iyyah li Ahli al-Majalis al-Hukmiyyah wa al-Iftaiyyah.

Dimasa ini pula pemerintah Belanda setuju untuk memberikan gaji, dan hari libur kepada hakim agama, dan tidak mencampuri urusan muslim pribumi soal amaliah keagamaannya.

Sayyid Usman meninggal di tahun 1914, dan dimakamkan di Pemakaman Karet, Tanah Abang. Di tahun 1970-an, dimasa Gubernur Ali Sadikin, makamnya dipindahkan ke Pondok Bambu, Jakarta Timur. Dan, kini disana berdiri Masjid al-Abidin. Saat digali tidak diketemukan kain maupun jasadnya. Padahal sudah digali hingga 6 meter.

Karya beliau banyak ditulis dengan huruf arab pegon, selain huruf latin dan diterjemahkan ke bahasa sunda. Diantara karya-karya Sayyid Usman adalah, Sifat Dua Puluh (Tauhid), Perhiasan Bagus Untuk Anak Perempuan, Adabul Insan, Risalah Dua Ulama (akhlak), Manhaj al-Istiqamah fi ad-Din bi as-Salamah (tentang ragam Bid’ah), Maslak