Kampung Tangguh Suroboyo

Oleh :  Hilmi Saputra

Inilah Surabaya kawan !!!
Selalu ada yang ditawarkan, selalu ingin menjadi pembeda dari Kota kota metropolis lain di Indonesia, bahkan kota kota di Dunia.

Konsep KAMPUNG TANGGUH yang diviralkan saat ini adalah upaya Pemkot Surabaya untuk melawan Covid-19 karena Jawa Timur dan Surabaya adalah peta penyebaran kasus Corona paling ‘mengerikan’. Pertambahan pasien terindikasi Corona melonjak tajam, sementara tingkat kesembuhannya masih minim.

Dengan konsep KAMPUNG TANGGUH ini, diharapkan tanggap darurat Virus Corona itu bisa dilakukan per RW. Masing masing RW diberdayakan dan diberi pemaparan agar:

WANI SEHAT. Jika ada yang sakit, langsung laporkan. Konfirmasi dan pemantauan terhadap warga yang menjadi pasien ODP, PDP, OTG, dan rawat jalan.

WANI SEJAHTERA. Memamatikan bantuan dari pemerintah sampai kepada penerima terutama warga terdampak yang tidak mampu.

WANI JOGO. Catat identitas warga ditingkat RW secara ketat, agar hilir mudik warga terdeteksi keperluannya. Warga Kota atau pendatang yang tak dikenal.

WANI NGANDANI. Penjadwalan piket malam mulai pukul 22.00 – 03.00 di setiap pintu gang masuk dengan sistem buka tutup agar penjagaan keamanan bisa saling kerja sama.

Awal awal Pandemi mewabah dulu, Surabaya masih level ‘green zone’, tak satupun warga kota buaya ini yang terindikasi virus Corona.

Namun, hanya berselang beberapa Minggu setelah penerapan ‘lockdown’ lalu berlanjut ke penerapan ‘psbb’ yang pertama, Surabaya tiba tiba berubah dari zona Kuning ke zona MERAH, bahkan mencapai zona HITAM. Sampai sampai Pemerintah Pusat memberikan atensi khusus ke Pemkot Surabaya agar Pandemi Covid-19 yang mengobrak abrik tatanan masyarakat Surabaya segera berkurang dan bisa secepatnya pulih seperti sedia kala.

Dampak dari situasi klimaks di Surabaya ini begitu dirsakan oleh hampir semua warga yang hanya memiliki aktifitas harian dan gaji harian. Pekerja warkop, pegawai cafe, karyawan outsourcing, tukang becak, Kuli dan tukang bangunan, jualan pracangan, PKL dan Asongan, karyawan honorer, penjual kue keliling, pedagang sayur, pegawai stand jualan di konter, ruko dan lain sebagainya.

Kisaran pertengahan Maret – Mei 2020, Kota ‘hidup’ 24 jam ini tampak seperti sedang ‘mati suri’. Jalanan lengang, aktifitas setiap orang dibatasi oleh peraturan, diberbagai perjalanan masuk dan keluar Kota tak sedikitpun terdengar suara bising mesin kendaraan. Simpul simpul kemacetan disituasi normal tak pernah nampak kelihatan. Gambaran situasinya tidak mencekam, tidak menakutkan hanya SEPI yang tak berkesudahan. Disatu hal terkadang ada enaknya tetapi dilain hal ada yang hilang.

Saya tinggal di daerah Pacarkeling Tambaksari Surabaya, perjalanan menuju kantor setiap hari melewati rute, Pacarkeling – Ambengan – kiri ke arah Kusuma Bangsa terus sampai depan Stasiun Gubeng Lama, lampu setopan belok kanan lewati jembatan Jalan Pemuda, lanjut ke arah tugu bambu runcing, lurus Raya Darmo, Wonokromo, Margorejo, Jemur Andayani sampai Siwalankerto belok kiri melewati gedung kantor Perhubungan, BRI Sendik sebelahnya sudah kantor saya, PP. Amanatul Ummah Surabaya. Pendek kata, perjalan dari Pusat Kota menuju Ujung perbatasan Surabaya – Sidoarjo hanya ditempuh maksimal 12 menit padahal perjalanan normal lebih dari 45 menit.

Selama Pandemi, hampir semua warga Surabaya ketakutan untuk keluar rumah, gang gang kecil rata rata diportal, ada jam buka dan jam tutup, kunci gembok. Bahkan jalan raya perbatasan Surabaya Sidoarjo oleh petugas gabungan TNI-POLRI-SATPOL PP dijaga ketat, dipasang fiber kerucut sebagai ‘barrier’ untuk menghalangi setiap pengendara R2 maupun R4 menuju dan keluar Kota. Setiap CHEK POINT diberhentikan, dilihat STNK, plat kendaraan, dan Kartu Identitasnya. Jika ditemukan berbeda dengan nya, tidak ada kata ampun, kecuali ‘balik kucing’.

Inilah Surabaya, yang tentu akan berbeda dengan kota kota lain di Indonesia cara dan respon terhadap Pandemi Covid-19 tahun ini. Dengan begitu sporadis dan detailnya langkah yang diambil dalam menyikapi permasalahan ini, sehingga Surabaya adalah kota terbanyak terdeteksi virus Corona. Sebab di Kota ini, Pemerintah Kotanya sangat peduli, yang dengan cara itu semuanya, sekecil apapun keluhan sakit dimasa Pandemi Covid-19 langsung diperiksakan. Entah terjangkit virus Corona atau sekedar sakit pegal linu biasa, kita tidak TAHU.

Yang jelas, semakin peduli dan semakin responsif aparat pemerintahnya memikirkan warganya, maka secara otomatis akan semakin banyak yang terjaring dan semakin banyak yang ‘dituduh’ kena Corona. Terus mau bilang apa? Kenyataan secara medis ada gejalanya, virusnya juga ada sementara vaksin belum ada. Yang meninggal dan dikuatkan oleh dokter se Indonesia juga ada. Lha terus, kita ini tau apa?