Sumantri Ngenger, Cerita dalam Pewayangan; Pergulatan Sang Ksatria, Falsafah Keris Dan Spiritualitas

Oleh: Wawan Susetya

KATA pepatah menyatakan “Tk kenal maka tak sayang”. Demikian halnya dengan cerita atau kisah dalam pewayangan dengan lakon Sumantri Ngenger ini; meski cerita tersebut telah banyak diketahui oleh warga masyarakat pedesaan, tapi bagaimana dengan warga perkotaan terutama para mahasiswa? Sungguh sangat disayangkan jika mereka tidak mengetahui cerita pewayangan dengan lakon Sumantri Ngenger yang sarat dengan makna pergulatan jiwa Sang Ksatria dan falsafah spiritualitas.
Dengan demikian kisah dalam lakon Sumantri Ngenger tersebut bukan sekedar tontonan dengan jalan ceritanya saja yang menarik saja, tetapi juga mengandung suatu tuntunan (pelajaran berharga) dalam hidup dan kehidupan. Ada tontonan sekaligus ada tuntunannya yang dihasilkan dari kontemplasi mendalam para leluhur orang Jawa dulu. Maka betapa ruginya jika generasi muda Jawa tidak memahami makna dari kisah atau cerita Sumantri Ngenger dalam pewayangan.
Sosok Raden Sumantri dalam lakon Sumantri Ngenger menjadi tokoh sentral bersama Prabu Harjuna Sasrabahu dan Sukasrana yang patut menjadi perhatian dan perenungan. Cerita tersebut dimulai ketika Raden Sumantri suwita (menghadap untuk mengabdi) kepada Prabu Harjuna Sasrabahu, Raja di Negara Maespati. Selanjutnya bagaimana pergulatan seorang Sumantri ketika Prabu Harjuna Sasrabahu memberikan syarat agar pasuwitane (permohonannya) dapat diterima, yakni harus dapat memboyong Dewi Citrawati, putri Prabu Citrasena Raja Magada. Kebetulan pada saat itu ada sayembara perang yang diselenggarakan Prabu Citrasena untuk mendapatkan Dewi Citrawati. Karena didorong rasa keinginannya yang besar agar bisa diterima sebagai abdi (pembantu) Prabu Harjuna Sasrabahu, maka Raden Sumantri segera bergegas menuju Negara Magada.
Rupanya, sayembara perang yang diikuti sewu raja (seribu raja) di Negara Magada itu telah dimenangkan oleh Prabu Darmawasesa, Raja Widarba. Sesuai dengan peraturan yang telah dibuat oleh Prabu Citrasena, maka Prabu Darmawasesa-lah yang berhak memboyong Dewi Citrawati.
Dalam pada itu, datanglah Raden Sumantri selaku utusan Prabu Harjuna Sasrabahu yang hendak mengikuti sayembara perang. Mau tak mau, Prabu Darmawasesa pun harus menghadapi Raden Sumantri. Karena sama-sama sekti mandraguna (memiliki kesaktian hebat), prang tandhing (perang) antara keduanya benar-benar berlangsung sangat seru. Para raja dari berbagai kerajaan yang berjumlah seribu orang pun merasa takjub melihat kehebatan Raden Sumantri yang dapat mengimbangi kesaktian Prabu Darmawasesa. Lama-kelamaan akhirnya Prabu Darmawasesa kasesering yuda (kalah perang). Dan, Raden Sumantri pun keluar sebagai pemenang perang, sehingga ia berhak memboyong Dewi Citrawati.
Dalam pada itu, Raden Sumantri bukan saja dapat memboyong Dewi Citrawati, tetapi juga mendapatkan pisungsung (hadiah) dari seribu raja berupa Putri Dhomas; putri yang cantik-cantik yang berjumlah 800 orang sebagai emban (pembantu) Dewi Citrawati. Raden Sumantri pun akhirnya memboyong Dewi Citrawati beserta Putri Dhomas ke Negara Maespati.
Sesampainya ke Negara Maespati, rupanya Raden Sumantri hendak mencoba kesaktian Prabu Harjuna Sasrabahu. Ia akan menyerahkan Dewi Citrawati beserta Putri Dhomas bila Prabu Harjuna Sasrabahu dapat mengalahkannya. Prang tandhing pun tak dapat dielakkan. Dasar sama-sama memiliki kasekten mahambara (memiliki kesaktian hebat), peperangan antara Raden Sumantri dan Prabu Harjuna Sasrabahu pun berlangsung sangat dahsyat. Raden Sumantri melemparkan Senjata Cakra andalannya kepada Raja Maespati, tetapi buru-buru Prabu Harjuna Sasrabahu segera triwikrama (menjelma sebagai raksasa yang sangat besar) yang langsung menyahut senjata itu. Tak ayal Raden Sumantri pun menjadi kewalahan hingga akhirnya menyerah. Meski demikian Raden Sumantri tetap ingin suwita (mengabdi) kepada Prabu Harjuna Sasrabahu.
Dalam waktu bersamaan, Dewi Citrawati mothah (mengajukan suatu permintaan) kepada Prabu Harjuna Sasrabahu. Putri Prabu Citrasena itu meminta kepada Prabu Harjuna agar Taman Sriwedhari di Magada dipindahkan ke Maespati. Prabu Harjuna Sasrabahu lalu memberikan syarat itu kepada Raden Sumantri. Artinya, jika Raden Sumantri dapat memindahkan Taman Sriwedhari dari Negara Magada ke Maespati niscaya pengabdiannya diterima oleh Prabu Harjuna Sasrabahu.
Betapa masygulnya hati Raden Sumantri begitu mendengar syarat yang diajukan oleh Prabu Harjuna Sasrabahu dalam menuruti permintaan isterinya Dewi Citrawati. Ketika hatinya tengah dirundung duka mendalam dalam perjalanan yang tak tahu arah dan tujuannya, Raden Sumantri bertemu dengan adiknya Sukasrana yang memang sedang mencari kakaknya di Negara Maespati. Setelah berbagi cerita, maka Sukasrana mengatakan kesanggupannya hendak membantu kesulitan kakaknya, tetapi dengan suatu syarat; yakni ia akan ikut mengabdi kepada Prabu Harjuna Sasrabahu. Dalam keadaan yang serba tak menentu seperti itu, Raden Sumantri tak dapat mengatakan kecuali menyanggupi permintaan adiknya Sukasrana.
Meski Sukasrana bertubuh cebol (pendek) dan berwajah seperti raksasa, namun ia memiliki kesaktian yang sangat hebat. Singkat cerita, dengan kesaktiannya itu Sukasrana dalam waktu sekejap dapat memindahkan Taman Sriwedhari dari Negara Magada ke Maespati. Maka, karena Raden Sumantri dapat mewujudkan syarat yang diminta Prabu Harjuna Sasrabahu, pengabdiannya pun diterima sebagai prajurit di Maespati. Bahkan Sang Prabu Harjuna berkenan mengangkat Raden Sumantri menjadi Patih Maespati dengan gelar Patih Suwanda.
Usai penobatannya sebagai Patih di Maespati, tiba-tiba terdengar suara gaduh di taman kaputren Maespati, Taman Sriwedhari. Rupanya para Putri Dhomas merasa ketakutan terhadap sosok Sukasrana yang tengah berada di atas pohon di dalam taman kaputren. Sang Prabu Harjuna pun segera memerintahkan kepada Patih Suwanda supaya menyelesaikan masalah di taman kaputren.
Patih Suwanda menemuji adiknya Sukasrana di taman kaputren, lalu mengajaknya jalan-jalan. Patih Suwanda meminta kepada adiknya Sukasrana supaya kembali ke Pertapaan Jatisrana menemani ramandanya Begawan Swandagni. Rupanya Sukasrana menagih janji kepada kakaknya hendak mengabdi kepada Prabu Harjuna Sasrabahu. Tentu saja Raden Sumantri yang kini bergelar Patih Suwanda itu merasa keberatan, sehingga ia menakut-nakuti adiknya dengan senjata anak panahnya. Tetapi Sukasrana tak mau. Ia tetap memaksa hendak mengabdi kepada Prabu Harjuna Sasrabahu. Tiba-tiba, tanpa diduga-duga anak panah yang dipegang Patih Suwanda terlepas dari busurnya hingga menancap di dada Sukasrana.
Patih Suwanda pun menangis sembari menubruk tubuh adiknya Sukasrana. Dalam pada itu, Sukasrana mengatakan bahwa ia akan menunggu kakaknya Raden Sumantri (Patih Suwanda) di swargaloka (surga) dalam perang besar melawan para raksasa. Setelah berkata demikian, Sukasrana moksa (hilang beserta raganya).
Perang besar melawan para raksasa seperti yang diprediksi Sukasrana ternyata menjadi kenyataan. Suatu hari Negara Maespati diserang para raksasa dari Negara Ngalengkadiraja yang dikomando langsung oleh rajanya Prabu Dasamuka alias Rahwana Raja. Rupanya Prabu Dasamuka hendak memperluas jajahannya ke Negara Maespati. Dalam perang itu, Patih Suwanda memimpin para prajurit Maespati menghadapi para raksasa dari Ngalengkadiraja. Begitulah gambaran kesetiaan seorang prajurit yang berani maju perang sebelum ratu gustine (Sang Raja Prabu Harjuna) turun tangan. Namun, dalam perang itu Patih Suwanda tak kuasa menghadapi kesaktian Prabu Dasamuka. Patih Suwanda terkena gigitan Prabu Dasamuka hingga akhirnya gugur di medan peperangan.
Demikian sinopsis dalam buku Sumantri Ngenger; Pergulatan, Falsafah dan Spiritualitas (Penerbit Elex Media Jakarta, 2019). Mudah-mudahan kehadirannya dapat memberikan kemaslahatan kepada masyarakat luas terutama para generasi muda Jawa.

Keteladanan Patih Suwanda (Raden Sumantri)
Dari kisah dalam lakon Sumantri Ngenger di atas, dapat dipetik bagaimana pergulatan seorang pemuda bernama Bambang Sumantri yang hendak suwita (mengabdi) kepada Sri Prabu Harjuna Sasrabahu di Negara Maespati. Dari kisah lakon Sumantri Ngenger tersebut diketahui ada tiga macam lelabuhan (pengabdian) Bambang Sumantri atau Rekyana Patih Suwanda kepada Sri Prabu Harjuna seperti disebutkan dalam bait-bait Tembang Dhandhanggula di bawah ini;

Tembang Dhandhanggula 1;
“Yogyanira kang para prajurit,
lamun sira arsa anuladha,
duk ing nguni caritane,
andelira sang Prabu,
Sasrabahu ing Maespati,
aran Patih Suwanda,
lelabuhanipun,
kang ginelung tri prakara,
guna kaya purun ingkang den antepi,
nuhoni trah utama.”

Terjemah Bebas
Wahai para prajurit,
bila kalian berusaha meneladani,
kisah dahulu kala,
sosok yang menjadi andalan,
Prabu Sasrabahu di Negara Maespati,
bernama Patih Suwanda,
yang memiliki pengabdian besar,
dengan prinsip tiga hal,
yaitu kecakapan (kepandaian) kekayaan serta kemauan yang besar,
dalam menjalankan tugas sebagai ksatria.

Tembang Dhandhanggula 2;
Lire lelabuhan tri prakawis,
guna bisa saneskareng karya,
binudi daya unggule,
duk bantu prang Magada nagri,
amboyong putri dhomas,
katur ratunipun,
purune sampun tetela,
aprang tandhing lan ditya Ngalengka nagri,
Suwanda mati ngrana.”

Terjemah bebas;
Maksudnya pengabdian tiga hal itu,
guna (memberi manfaat) dapat menyelesaikan pekerjaan,
dengan ikut sayembara perang di Negara Magada,
dengan keberhasilan memboyong putri dhomas,
yang kemudian diserahkan kepada rajanya,
kemauannya sudah jelas,
berperang menghadapi para raksasa dari Negara Ngalengka,
Suwanda pun akhirnya tewas.

Dalam dunia pewayangan dikenal ada raja sebagai titising (penjelmaan, pangejawantahan) Bathara Wisnu, yakni Sri Rama Wijaya (Raja Pancawati), Sri Bathara Kresna (Raja Dwarawati) dan Sri Harjuna Sasrabahu (Raja Maespati).
Ada pelajaran penting dalam kisah Sumantri yang patut ditauladani ketika ia hendak suwita (mengabdi) kepada Sri Prabu Harjuna Sasrabahu Raja Maespati. Sebagaimana yang diisyaratkan dalam Tembang Dhandhanggula di atas, ada tiga pedoman atau prinsip yang dijalankan oleh Sumantri alias Rekyana Patih Suwanda ketika mengabdi kepada Prabu Harjuna Sasrabahu, yaitu guna (kecakapan, kepandaian), kaya (memberikan harta atau kekayaan) dan purun (memiliki kemauan, tekad yang kuat).
Pertama, guna (kecakapan, kepandaian) sehingga Sumantri dapat menyelesaikan tugasnya dengan tuntas. Hal itu ditunjukkan ketika Sumantri hendak suwita kepada Prabu Harjuna, lalu Sang Prabu memberikan syarat yaitu mengikuti sayembara perang di Negara Magada. Dalam hal ini, Sumantri harus menghadapi Prabu Darmawasesa Raja Widarba sebagai pemenang dalam sayembara perang. Bahkan, Sumantri juga harus berhadapan dengan sewu raja (seribu orang raja) yang mengeroyoknya. Didorong rasa tanggung jawab yang dihadapinya sangat berat, sehingga Sumantri berupaya seoptimal mungkin agar dapat memenangkan sayembara perang dengan memboyong Dewi Citrawati yang kemudian diserahkan kepada Prabu Harjuna Sasrabahu.
Kedua, kaya (menyerahkan harta kekayaan) kepada Prabu Harjuna Sasrabahu. Ini ditunjukkan oleh Sumantri ketika menyerahkan Putri Dhomas (800 orang puteri yang cantik-cantik) sebagai srah-srahan (hadiah) dari sewu raja (seribu orang raja) kepada Prabu Harjuna Sasrabahu dan Dewi Citrawati. Selain itu, Sumantri juga memindahkan Taman Sriwedhari dari Negara Magada ke Maespati yang kalau dihitung dengan nilai harta tentu jumlahnya sangat banyak.
Ketiga, purun (kemauan, tekad yang besar). Hal itu ditunjukkan oleh Sumantri alias Rekyana Patih Suwanda ketika membela Ratu gustine Prabu Harjuna ketika menghadapi serangan Prabu Dasamuka alias Rahwana Raja beserta wadya raksesa (prajurit raksasa) dari Ngalengkadiraja. Meski akhirnya Patih Suwanda tewas, tetapi keberanian dan ketulusannya dalam memberikan lelabuhan (pengabdian) kepada Prabu Harjuna patut dijadikan tauladan.
Kebanyakan para nayaka praja atau pamong praja, baik dulu maupun sekarang, biasanya mereka berusaha menumpuk harta dan kekayaan dari kedudukan atau jabatannya. Keadaan mereka kebanyakan bertolak-belakang dengan lelabuhan (pengabdian) Patih Suwanda kepada Ratu-gustine Prabu Harjuna Sasrabahu. Padahal, para pamong praja itu sesungguhnya telah dipenuhi kebutuhannya oleh negara dengan gaji yang cukup. Sehingga, tidak ada alasan untuk memperkaya diri dengan memanfaatkan kedudukan dan jabatannya.
Di sinilah arti penting dari sosok Sumantri alias Rekyana Patih Suwanda yang patut dijadikan tauladan.

Falsafah Keris dan Warangka
Hubungan seorang Raja dengan Patihnya dapat dilihat dari simbolisasi atau perlambang keris dan warangkanya. Keris atau curiga identik dengan seorang Raja, sedang warangka adalah Patih.
Keris atau curiga adalah pusaka yang ditempatkan di wadahnya, yaitu warangka (bagian luar, wadah keris). Keris atau curiga merupakan senjata yang paling inti, sedang warangka merupakan tempat untuk menaruh keris.
Demikian halnya seorang Patih disebut pula dengan istilah Sang “Warangka Nata” (tempat untuk Raja); maksudnya tempat atau wadah bagi Sang Raja untuk menyampaikan ide, gagasan, pemikiran, rencana hingga ke pengamalan atau pelaksanaan tugas dari Sang Raja. Bahkan, seorang Patih atau disebut pula orang kedua di suatu kerajaan atau negara diharapkan mengetahui pula kesulitan atau kesedihan yang sedang dihadapi Sang Raja.
Dengan kata lain, seorang Patih harus dapat memaknai apa yang telah disampaikan Sang Raja, menerjemahkan pemikiran maupun ide-gagasan hingga menjalankan perintah Sang Raja. Itulah yang disebut seorang Patih yang baik karena dapat ‘ngrangkani’ (mewadahi) ide-gagasan atau pemikiran Sang Raja hingga menjalankan perintah Sang Raja.

Makna Spiritualitas
Kisah pergulatan Raden Sumantri ketika hendak suwita (mengabdi) kepada Prabu Harjuna Sasrabahu di Maespati, ternyata dapat terkabul setelah mendapatkan bantuan adiknya Sukasrana. Pasuwitan Sumantri dapat diterima oleh Prabu Harjuna bila ia dapat muter taman, yaitu memindahkan Taman Sriwedhari dari Magada ke Maespati. Kenyataannya Sumantri tidak bisa melaksanakan syarat itu, sedang yang bisa melakukan muter taman justru adiknya bernama Sukasrana, orangnya jelek dan berwajah raksasa serta bertubuh cebol.
Kisah Sumantri tersebut, bila dikontekstualkan ke dalam kancah spiritualitas ternyata sangat mendalam maknanya. Anasir dalam diri manusia ada tiga, yaitu badan kasar atau badan wadhag (fisik), badan alus (ruhaniyah) dan Sang Alus (suksma atau nurani, tempat bersemayamnya Tuhan).
Kemauan dan tekad Sumantri ketika hendak suwita (mengabdi) kepada Prabu Harjuna Sasrabahu sebenarnya merupakan simbol atau perlambang kemauan atau tekad orang yang akan marek (mendekat, menyembah) atau marak (menghadap) Tuhan atau kematian. Dalam hal ini, Sumantri melambangkan badan alus yang hendak mengabdi kepada Prabu Harjuna Sasrabahu (Sang Alus), sedangkan Sukasrana (badan kasar) merupakan piranti (alat, sarana) untuk menjalankan amalannya.
Hal ini dapat dimaknai bahwa orang yang hendak marek (mendekatkan diri) atau marak (menghadap) kepada Tuhan (mati), subyek utamanya adalah badan alus yang kemudian menyatu dengan Sang Alus (Tuhan), sedangkan badan kasar atau badan wadhag (fisik) hanya sebagai piranti (alat) untuk membantu melaksanakan pengamalan ibadah. Oleh karena itu, ketika seseorang akan menghadapi kematian (menghadap Tuhan), badan kasar atau badan wadhag (fisik) tidak boleh ikut bersama badan alus dan Sang Alus, tetapi justru harus ditinggalkan (dikubur di dalam tanah).

*Wawan Susetya adalah penulis buku Sumantri Ngenger; Pergulatan, Falsafah dan Spiritualitas (Penerbit Elex Media) Jakarta, 2019.