
Oleh: Muhammad Faris Rifqi, akademisi muda di LMND.
Jamak diketahui bahwa masyarakat Gorontalo kini merupakan pewaris tradisi lisan/tradisi bertutur dari pendahulunya. Namun, modernisasi dan globalisasi memberikan dampak bagi perkembangan sastra lisan seperti pantungi (pantun) dan tanggomo (puisi epik) di Gorontalo masa kini. Kaum muda mulai meninggalkan sastra lisan tersebut. Kabar baiknya, masih ada orang yang memiliki kepedulian untuk melestarikan sastra lisan di Gorontalo tersebut seperti Risno Ahaya dan Anis Husein sebagai penutur pantungi dan tanggomo yang tersisa.
Sastra lisan merupakan salah satu bentuk sastra yang berkembang di masyarakat dalam wujud tutur lisan. Muatan dari sastra lisan bisa beragam tema berkaitan erat dengan masyarakat pemiliknya dan cerita masyarakat itu sendiri di masa lampau. Adakalanya, sastra lisan bisa menuangkan refleksi kritis dari individu maupun kelompok dalam suatu masyarakat dalam menghadapi perubahan di lingkungannya. Perubahan tersebut acapkali bisa yang sifatnya sosial-ekologis, seperti halnya perubahan kondisi fisik lingkungan yang rusak akibat perubahan pola perilaku manusia.
Di Gorontalo sendiri, sastra lisan seperti pantungi kerap kali digunakan sebagai medium budaya penyalur refleksi kritis atas perubahan kondisi fisik lingkungan, dalam hal ini kerusakan lingkungan. Risno Ahaya, pria Gorontalo yang usianya telah lewat senja, menggunakan pantungi untuk menuangkan kegelisahannya atas kondisi Danau Limboto yang terletak di Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo yang semakin memburuk kondisinya akibat pola perubahan perilaku manusia di sekitarnya.
Banyak orang di sana yang sembarangan “menyalurkan” limbah domestik, pertanian, peternakan, hingga limbah budidaya ikan keramba ke Danau Limboto sehingga menyebabkan turunnya kualitas airnya secara drastis plus membuat danau ini semakin dangkal. Apalagi danau ini juga terimbas pengendapan sedimentasi yang masif karena menjadi muara dari 23 sungai dengan 7 sungai utama, antara lain Sungai Rintenga, Sungai Alopohu, Sungai Marisa, Sungai Meluopo, Sungai Biyonga, Sungai Bulota, dan Sungai Talubaongo.
Pencemaran danau ini juga disebabkan oleh pertumbuhan eceng gondok dengan sebaran hingga 30 persen dari luas danau. Eceng gondok itu bisa bertumbuh nyaman disebabkan karena menurunnya kualitas air. Masalah alih fungsi lahan juga menjadi penyebabnya. Meluasnya area penanaman jagung menggantikan pertanian ramah lingkungan di lahan dengan kemiringan 15% turut memperburuk keadaan. Apalagi penggundulan gunung di sana adalah fakta, sehingga daerah serapan air menjadi kian terbatas. Sungai-sungai yang bermuara ke Danau Limboto jadi tidak memiliki penyaring.
Berangkat dari kondisi lingkungan yang memprihatinkan itulah, penutur sastra lisan Gorontalo yang tersisa seperti Risno Ahaya menuangkan refleksi kritisnya melalui pantungi. Dalam kreasinya, pantungi bukan hanya melayangkan cerita kehidupan masa lampau masyarakat Gorontalo, namun juga memberikan respon dan kritik atas kerusakan lingkungan yang telah terjadi di masa kini. Danau Limboto pada tahun-tahun lalu masih asri kini kondisinya mengenaskan, dan kondisi itu disampaikan oleh penutur sastra lisan Gorontalo dalam bentuk pantungi dan tanggomo.
Risno Ahaya dan Anis Husein dikenal sebagai pelopor pelestarian sastra lisan Gorontalo seperti pantungi dan tanggomo di masa kini. Melalui pagelaran-pagelaran sosial-budaya yang terselenggara di Gorontalo, mereka dengan pasti akan memanfaatkan itu untuk melantunkan pantungi ataupun tanggomo dengan muatan berupa cerita-cerita kehidupan masyarakat Gorontalo di masa lampau. Tapi, tak lupa untuk menghadirkan sastra lisan Gorontalo sebagai medium budaya yang mampu merefleksikan kondisi kekinian dari sosial-ekologis masyarakat Gorontalo.
Pesan-pesan pelestarian atau konservasi lingkungan di sekitar masyarakat menjadi poin penting dalam lantunan lirik pantungi maupun tanggomo di berbagai pagelaran sosial-budaya. Hal itu dimaksudkan untuk menggugah kepedulian masyarakat di sana terhadap kondisi lingkungannya yang memburuk sebagai akibat dari tindakan mereka sendiri. Penyampaian pesan semacam ini melalui medium budaya seperti pantungi dan tanggomo tentunya akan lebih menarik bagi masyarakat, selain itu juga akan menanamkan kecintaan mereka terhadap akar-akar tradisi mereka sendiri.
Peranan sastra lisan dalam upaya konservasi lingkungan menjadi sesuatu yang amat penting dan strategis untuk diperhatikan. Selain itu, dia ibarat tangan yang mampu menjangkau dua hal sekaligus: pesan-pesan konservasi lingkungan dan kesadaran kolektif masyarakat atas akar-akar tradisi mereka. Belakangan ini, seperti yang diketahui dalam berita-berita, pemerintah, birokrasi daerah terkait, dan elemen masyarakat telah memulai suatu upaya untuk mengatasi kondisi kritis dari Danau Limboto tersebut. Kesadaran inilah yang mungkin dapat dibangun melalui edukasi ilmiah, pun juga melalui medium budaya seperti sastra lisan.
Kini, jelaslah bahwa sastra lisan memiliki peran yang juga signifikan apabila dilestarikan dalam masyarakat. Pun, dengan adanya segmentasi pesan sastra lisan dalam upaya konservasi lingkungan, sastra lisan tak lagi dipandang sebelah mata. Bahkan, sastra lisan juga dapat menyampaikan suatu visi kehidupan yang telah mengakar pada masa masa lampau dan kini telah ditinggalkan kaum muda. Sastra lisan memang berkaitan erat dengan perikehidupan masyarakat penuturnya di masa lampau dan karena berkembang dalam masyarakat yang bertradisi tutur, sulitlah ditemukan upaya dokumentasi terhadapnya.
Muatan sastra lisan yang beragam dan terkadang mengandung legenda bahkan mitos yang berkembang di masyarakat juga tak bisa dinilai sebagai sejarah sebagaimana yang dimaksud dalam ilmu sejarah. Tapi, bukan berarti sastra lisan tidak memberikan sumbangsih bagi spektrum sejarah masyarakat penuturnya. Setidaknya, adanya sastra lisan telah memberikan fakta sejarah yang cukup jelas, bahwa masyarakat yang mewarisinya telah bertindak sebagai pelaku tradisi lisan sejak masa lampau dan dipanggul penerusnya kini. Pun, dari sastra lisan yang berkembang di suatu masyarakat membuat khalayak memiliki gambaran tentang bagaimana mentalitas, visi, dan orientasi kehidupan masyarakat tersebut di masa lampau.
Dari beberapa unsur di dalam sastra lisan itulah yang dapat menjadi preferensi khalayak untuk memberikan kesan yang adil dalam merekonstruksi sejarah masyarakat penuturnya. Seyogyanya, sastra lisan ataupun sastra tulis yang lahir dan berkembang di suatu masyarakat harus mendapatkan perhatian yang besar oleh elemen masyarakat, birokrasi daerah terkait, serta pemerintah. Medium budaya semacam ini adalah aset budaya yang strategis untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan dan budaya. Panjang umur sastra lisan!.