Corona Harusnya Menyatukan Kita

Oleh : Mabroer Masmoh

Untuk menjadi KITA, tak harus sama dan seirama. Meski kulit dan topi beda-beda, toh tak pernah jadi syarat mutlak untuk menjadi KITA. KITA adalah diksi Indonesia yang menyatukan seluruh kemanusiaan kita karena KITA adalah bahasa persatuan. Oleh karena itu, sudah saatnya kita meleburkan perbedaan-perbedaan kita akibat Pilkada maupun Pilpres 2019 itu menjadi satu kata, KITA. Dan, kini momentum itu telah dikirimkan Tuhan melalui Virus Corona agar kita mensyukuri momentum itu dengan memperkuat kebersamaan KITA.

Namun, harapan itu adalah proses yang terus tumbuh bersama niat kita; niat baik maupun niat buruk, termasuk yang tak diniatkan. Diharapkan, KITA bisa menjadi manusia waras dengan nalar yang normal agar kemanusiaan kita tidak jatuh di titik nadir karena kebencian dan dendam kusumat. Pantaskah kita menjadikan musibah Corona ini sebagai sasaran untuk saling mengumbar kebencian di ruang-ruang publik? Kita juga kaget ketika berita duka kematian ibunda Presiden Jokowi dijadikan gunjingan negatif, sudah senaif itukah kemanusiaan kita?

Bagi Jokowi, meninggalnya sang Bunda Hj.Sudjiatmi Notomihardjo yang akrab dipanggil Eyang Noto pada Rabo (25/3) menambah beban di pundaknya. Sebagai Presiden, Jokowi tengah diuji kecerdasan & kecekatannya dalam menangani ‘pagedlug abad 22’ ini. Apalagi penularannya sangat massif dan telah menelan korban 78 meninggal (DKI 48) dan pasien rawat 893 orang (DKI 459) per-26 maret. Tiap hari, ada penambahan 100 orang lebih dan 20 orang meninggal. Buktinya, tanggal 25 maret; 790 kasus dengan 58 orang yang meninggal. Ditengah musibah nasional dan beban yang sangat berat itulah, Jokowi ditinggalkan ‘jimat” agungnya yaknI sang Bunda. Semoga almarhumah Khusnul Khatimah. 25 Maret ini benar-benar menjadi ‘amul khuzni’ alias masa duka yang sangat mendalam, khususnya bagi Presiden dan keluarga.

Bagi KITA, Corona telah menghantui semua lapisan masyarakat, apalagi korbannya pun tak pandang bulu, bahkan tak sedikit dari kelas terdidik. Ada dokter, perawat, dosen dan hakim. Padahal secara medis, mereka punya kesadaran berlebih karena pengetahuan dan lingkungan mereka, tapi Cobid-19 itu anti kelas. Apalagi Corona telah menjadi salah satu ciptaan Tuhan yang acapkali malah diper-Tuhan-kan. Hati-hati dan waspada sangat dianjurkan, tapi menjadikan Corona sebagai suplemen spiritual juga tak bisa dinafikan. Dengan beribadah di rumah, mungkin disitulah letak ujian keikhlasan kita dalam bersujud karena tak ada tetangga maupun atasan yang melihat.

Melihat ancaman Corona yang begitu dahsyat, tentu kita prihatin melihat masih renggangnya solidaritas sosial diantara KITA sendiri? Di tengah situasi keuangan negara yang -katanya- megap-megap, kok belum terlihat antrian donasi dari orang-orang yang selama ini telah menumpuk kekayaan dari bumi Pertiwi ini? Bukankah menurut majalah Forbes 2018 itu ada 50 orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan berjibun? Belum lagi cerita tentang Naga 9 yang sempat viral semasa Piplres 2019 silam.

Kendati begitu, kita patut bersyukur bahwa dalam 1-2 hari terakhir ini mulai ada yang peduli seperti Wardah Cosmetics, Adaro, KADIN, Taher dan kita harapkan segera disusul konglomerat lainnya. Kenapa konglomerat? Karena mereka telah dimanjakan oleh berbagai fasilitas dari NKRI sehingga wajar kalau NKRI tengah berduka, mereka lah yang pertama diharapkan atensinya. Cina menjadi contoh yang patut ditiru dalam menghadapi Corona, terutama kalangan konglomeratnya.

Selain donasi, langkah taktis strategis juga banyak ditunggu rakyat. Dengan kebijakan “soft lockdown” yakni “dirumahkan”, jutaan rakyat hidup dalam ketidak pastian. Bahkan akibat polecy tersebut, angka kemiskinan di Jabar 1 juta orang dari yang sebelumnya 3 juta 399,16 ribu jiwa. Tentu, penambahan serupa juga bakal dihadapi daerah-daerah lainnya. Dengan kata lain, akibat Corona, bukan hanya penyakit mematikan yang dihadapi rakyat, tapi juga urusan makan dan keamanan. Dalam situasi seperti inilah, kehadiran negara menjadi penting. Hadir dengan donasi sekaligus solusi yang efektif karena keturunan Corona juga telah bermetamorfosis jadi Hanta.

Virus hanta ini, menurut CDC (centers for disease control and prevention)/Depkes-nya Amerika Serikat, memiliki tingkat kematian 38% dengan masa inkubasi sekitar 8 minggu. Cina yang sukses tangani Corona aja dibuat pening oleh virus hanta, apalagi Indonesia. Bahkan Amerika Serikat aja yang selama ini sangat jumawa dengan berbagai aneksasinya, juga dibuat limbung oleh Corona ( 60.115 pasien & 827 meninggal). Padahal, Amerika juga yang jadi tertuduh karena dianggap telah menebar virus Corona ke pesaingnya; Cina & Iran. Benarkah spekulasi itu? Wallahu’alam. ###