_Oleh: Dhimam Abror Djuraid_
Keris pusaka itu akhirnya balik ke tanah Jawa setelah raib hampir dua abad sejak Perang Jawa berakhir pada 1828. Kangjeng Kiai Naga Seluman nama keris itu. Dialah salah satu keris pusaka milik Pangeran Diponegoro yang memimpin Perang Jawa melawan penjajah Belanda 1825-1830.
Raja dan Ratu Belanda Willem Alexander dan Maxima berkunjung ke Indonesia (3/3) bertemu Presiden Joko Widodo dan menyerahkan keris itu. Raja dan Ratu Belanda itu juga menyampaikan permintaan maaf karena telah menjajah Indonesia selama 350 tahun.
Ini sebuah diplomasi politik dan budaya ala Belanda. Tentu ada maksud di baliknya, terutama mengapa keris milik Diponegoro yang dijadikan simbol diplomasi itu. Mungkin, episode Perang Diponegoro 1825-1830 yang sering disebut sebagai Perang Jawa, dianggap sebagai salah satu periode terburuk dalam masa penjajahan Belanda. Perang yang ‘’hanya’’ lima tahun itu menewaskan ribuan pasukan dan membuat penderitaan jutaan rakyat, terutama di Jogyakarta dan Jawa Tengah.
Belanda babak belur nyaris kalah dalam perang itu. Hanya dengan tipu-daya yang sangat licik dan tak bermartabat sajalah Belanda akhirnya bisa menangkap Diponegoro dan kemudian mengasingkannya ke Manado.
Kejahatan perang yang dilakukan Belanda terhadap Diponegoro dan bangsa Indonesia menyisakan duka dan derita yang mendalam. Belum lagi kekayaan alam yang sudah dikeruk oleh Belanda. Rasanya dosa sejarah itu tak tertanggungkan.
Diponegoro menjadi simbol perlawanan yang akhirnya memaksa Belanda untuk melihat kembali kebijakannya terhadap tanah jajahan yang teramat eksploitatif.
Perlawanan Diponegoro mendapat dukungan yang sangat luas dari rakyat yang membuat pasukan Belanda menghadapi kesulitan besar untuk mengalahkan Diponegoro.
Dialah yang dianggap sebagai Sultan Jogyakarta kelima yang sah dan _legitimate_ karena kemampuan diplomasi dan kecerdasan pikirannya. Dia juga dicintai rakyat banyak karena sikapnya yang membela rakyat kecil. Tetapi, intrik di Kraton yang diakibatkan oleh hasutan Belanda membuat elite-elite Kraton banyak yang menjilat penjajah.
Diponegoro menyadari bahwa ia terlahir dari seorang ibu _garwa ampil_ Sri Sultan, dan ia menyadari bahwa ia akan didelegitimasi oleh lawan-lawan politiknya di Kraton. Karena itu, ia memilih menepi ke kediamannya di Tegalrejo daripada tinggal di Istana.
Setelah Hamengkubuwono IV wafat diangkatlah raja baru Hamengkubuwono V yang masih berusia kanak-kanak yang belum balig. Raja baru ini berada di bawah perwalian Patih Danurejo yang berkoalisi penuh dengan Belanda untuk mengeruk uang rakyat dari pajak yang mencekik.
Kraton kehilangan pamor karena rakyat makin menderita oleh berbagai jenis pajak yang mencekik. Kraton sudah kehilangan wibawa karena penjajah Belanda secara sengaja merusaknya. Dekadensi moral para elite Kraton membuat rakyat semakin menjauh.
Penderitaan dan penghinaan yang tak tertahankan akhirnya meledak. Diponegoro mengadakan perlawanan terbuka setelah kediamannya dihujani peluru meriam dan bedil Belanda.
Tahun 1825 tercatat sebagai tahun Perang Jawa yang dahsyat yang berlangsung selama lima tahun sampai 1830 ketika Diponegoro secara licik dijebak untuk berunding pada bulan Syawal beberapa hari setelah Idul Fitri. Diponegoro yang mengembara di perhutanan Bagelen, Magelang, sudah terisolasi dari pasukannya. Orang-orang kepercayaannya sudah menyerah dan berbalik berkolaborasi dengan Belanda, termasuk panglima perang andalan Sentot Ali Basah Prawirodiredjo.
Rapuh dan sakit, Diponegoro dijebak untuk berunding dengan panglima tertinggi Belanda Letnan Jenderal De Kock untuk mengadakan gencatan senjata dan perdamaian. Tapi, Diponegoro yang datang tanpa membawa senjata dikhianati mentah-mentah, ditangkap, dan diasingkan ke Manado.
Sejarawan Peter Carey menempatkan Diponegoro dalam posisi _cult hero,_ pahlawan yang dikultuskan, yang dianggap sebagai Ratu Adil yang pinilih untuk membebaskan rakyat dari cengekeraman Belanda. Dalam buku monumentalnya ‘’Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa’’ (2011), Carey seolah menghidupkan kembali sosok Diponegoro sebagai pahlawan rakyat dengan dimensi lengkap sebagai manusia normal dan manusia kultus _(cult)._
Bagi kebanyakan rakyat Jawa, Diponegoro sudah menjadi kultus. Ia dianggap raja sekaligus _panotogomo_, pemimpin agama Islam di Jawa. Ia adalah cicit Sultan Agung Hanyokrokusumo, sultan Islam pertama di Jogyakarta yang mendapat gelar sebagai _Kalifatullah_, wakil Allah di bumi. Diponegoro dalam masa peperangan kemudian menasbihkan diri sebagai penguasa Jawa dan menggelari dirinya sebagai _‘’Kalifatu Rasulillah’’_ wakil Rusulullah saw di muka bumi.
Carey memberi gambaran yang lebih lengkap terhadap Diponegoro sebagai tokoh yang human, manusia biasa. Kelemahan Diponegoro sebagai manusia, termasuk ketergodaannya terhadap perempuan, diungkap secara jujur oleh Carey. Dalam sebuah pertempuran dahsyat di Gawok pasukan Diponegoro dipukul mundur oleh Belanda. Korban banyak berjatuhan di pihak Diponegoro yang sangat sedih dan terpukul oleh kekalahan itu. Ia merasa telah dihukum akibat kesalahannya karena melakukan maksiat dengan seorang wanita pada malam sebelum peperangan.
Pada sebagian masyarakat Jawa Diponegoro adalah Ratu Adil yang akan menegakkan keadilan dan kesejahteraan sekaligus menjadikan tanah Jaa sebagai bumi syariat. Para penasihat spiritual Diponegoro, seperti Kiai Mojo, adalah ulama yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran pemurnian tauhid saat melaksanakan ibadah haji ke Makah. Para ulama inilah yang memberi legitimasi agama teradap perang sehingga menyebut perang tersebut sebagai Perang Sabil dan Perang Jihad.
Ajaran tauhid, pemurnian akidah, menjadi simpul perjuangan melawan Belanda yang merepresentasikan kekuatan kafir. Di tengah masyarakat Jawa yang sangat sinkretis, gerakan pemurnian tauhid ini menghadapi tantangan yang besar.
Semua raja Jawa di Mataram diyakini mempunyai hubungan spiritual yang lekat dengan Nyai Lorokidul yang menguasasi pantai selatan. Sampai dengan zaman Mataram Islam di bawah Sultan Agung, keyakinan adanya hubungan spiritual itu masih tetap kuat. Demikian pula dengan Diponegoro. Carey menggambarkan bahwa dalam semedi-semedinya Diponegoro sering berkomunikasi dengan Nyai Lorokidul.
Tentu, kesimpulan Carey ini didukung dengan berbabagi bukti ilmiah, termasuk pembacaannya yang tekun terhadap berbagai babad kuno termasuk Babad Diponegoro yang ditulis oleh Diponegoro dalam masa pengasingan yang sunyi dan penuh derita di Fort Rotterdam Makassar.
Gambaran yang berbeda mengenai sosok Diponegoro dimunculkan oleh Salim A Fillah dalam novel baru ‘’Sang Pangeran dan Janissary Terakhir’’ (2020). Oleh Salim digambarkan bahwa Perang Jawa adalah perang sabil, perang jihad, yang akan membebaskan Jawa dari cengkeraman penguasa kafir. Digambarkan bahwa Jawa akan menjadi pusat kebangkitan dan akan menjadi pemimpin kebangkitan peradaban dunia.
Sebagai sebuah novel sejarah, Salim berhasil memadukan tokoh-tokoh historis dengan beberapa _fictional character_ untuk menciptakan suspens, ketegangan, yang mendebarkan. Tapi, dengan pendekatan realisme sejarah Georg Lukacs kaitan beberapa episode dalam novel itu dengan fakta sejarah perlu ditelaah secara lebih kritis. Gambaran mengenai Janissary, sejenis _mercenary,_ tentara bayaran, tidak mendapatkan porsi yang cukup detail.
Beda dengan penggambaran Carey yang lebih manusiawi, dalam gambaran Salim A Fillah Diponegoro benar-benar seorang cult hero, sang pembebas, yang bahkan mendekati posisi _ma’shum,_ terbebas dari salah dan dosa manusiawi.
Perjuangan Diponegoro dikaitkan dengan pergolakan daulah Usmaniah di Turki, meski keterkaitannya bisa disebut spekulatit. Beberapa tokoh dari Turki Usmani terlibat langsung dalam pertempuran-pertempuran besar bersama Diponegoro. Dalam kisah itu digambarkan bahwa peradaban Islam dunia akan bangkit dari tanah Jawa melalui perjuangan Diponegoro.
Diponegoro digambarkan sebagai sosok khalifah pembawa pemurnian tauhid, yang akan membawa kebangkitan Islam dengan mengalahkan kekuatan penjajah Belanda. Dari Jawa, kekuatan Islam akan bangkit, dan Jawa akan menjadi pemimpin peradaban dunia, dan Pan-Islamisme akan lahir dari Jawa.
Keyakinan eskatis semacam ini sekarang menyebar luas di banyak kalangan Islam Indonesia. Beberapa ustad mempunyai spesialisasi di bidang kajian akhir zaman yang meyakini bahwa sebelum akhir zaman Islam akan bangkit kembali memimpin peradaban dunia, dan kebangkitan itu dimulai dari Indonesia.
Sebagai sebuah novel sejarah ‘’Sang Pangeran’’ cukup asyik untuk dinikmati. Riset lapangan dan riset literatur yang dilakukan Salim cukup detail sehingga mampu menampilkan adegan-adegan yang menghanyutkan. Pesan-pesan politik Pan-Islamisme dan kekhilafatan dalam novel itu sah-sah saja sebagai sikap politik penulisnya.
Di tengah kemarau karya sastra Indonesia sekarang ini kehadiran ‘’Sang Pangeran’’ menjadi oase yang lumayan sejuk dan segar. *(*)*