Kado Tahun Baru 2020 Rame Rame Kritisi Jalan Tol

Oleh Sam Adi Yudha*

Kalo di Jakarta ada jalan tol bergelombang dan melengkung, Di Manado ada jalan tol salah nama, atau tanpa nama ?
Di Makassar ada proyek jalan Tol Layang multiyears pro-kontra, adalagi jalan Tol Makassar Bantaeng baru sebatas usulan sudah rame dikritisi warga.

Jalan Tol semula dielu elukan sebagai sebuah solusi termodern, untuk mengatasi kemacetan, arus lalu lintas yang padat di jalan raya biasa.
Jalan tol sedianya menjanjikan jalur transportasi bergengsi , bebas hambatan, lebih cepat menghemat waktu, walau harus menambah biaya.

Sejumlah persoalan pantas dipertanyakan warga, setidaknya kaum aktifis yang peduli derap pembangunan, sekaligus pemerhati kearifan lokal, termasuk pemeduli ekonomi kaum marginal , tepatnya masyarakat bawah yang sering termarginalkan.

Sejumlah kajian singkat, sebagai reaksi sekilas manakala pemerintah ( pusat) apalagi daerah , mewacanakan proyek ” Tolisasi” di wilayahnya.

Pertanyaan itu beragam , seperti : sudah sedemikian mendesakkah jalan tol itu?
Sudahkan optimal pengelolaan jalur jalan raya yang telah ada sebelumnya? Perluasan jalur cepat, lambat dan fasilitas trotoarnya?
Perlu tidaknya jalur satu arah, pembatasan lajur tengah jalan raya dengan portal darurat ataukah pemisah permanen? Semua itu menjadi usulan kritis dari serangkaian reaksi spontan kaum Millenial .

Di Manado lain lagi ceritanya, proyek jalan tol yang nyaris sempurna itu menyisakan tanda tanya besar di kalangan generasi muda, aktifis peduli kearifan lokal. Pemberian nama yang tidak relevan, tak mencerminkan keikutsertaan domain kewilayahan setempat, membuat para aktifis seperti Howard Hendriek Marius Ketua Wilter LSM GMBI ( Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia) Sulawesi Utara, merasa geram, ingin mendobrak fenomena ketidak signifikannya nama jalan tol dengan identitas kedaerahan tersebut.

Di Makassar, sebagai jantung ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, wacana kritis soal jalan tol juga sempat menyeruak, ketika serombongan aktifis LSM GMBI Distrik Makassar melintasi jalur di bawah proyek tol layang kawasan Andi Pettarani , tiba tiba muncul analisa kritis betapa warga masyarakat perlu tau plus minusnya jalan tol layang yang megah itu.

Bahkan sempat ada pernyataan spontan dari Ir Walinono Haddade Ketua Distrik LSM GMBI Makassar, yang juga sarjana lulusan teknik sipil UGM mensinyalir, betapa mengagetkan perbandingan ongkos proyek jalan tol layang jika dibanding jalan raya biasa.
Bisa bisa 1 : 10 desisnya. Artinya 1 meter jalan tol layang, dapat membangun 10 meter jalan raya biasa.
Itupun belum membahas multiplayer effect dari kedua type proyek tersebut. Bisa jadi juga 1: 10.

Ahmad Said, ST Aktifis asal tanah bugis Konjo penggagas” Institut Konjologi ” Bulukumba, mengkritisi soal wacana jalan Tol Makassar_ Bantaeng yang digagas Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan Prof Nurdin Abdullah.

Menurut Ahmad Said ST, tak perlu dilanjutkan pikiran tentang jalan tol Makassar _ Bantaeng itu. Pikirkan dulu perluasan jalan raya lintas selatan yang masih sempit itu. Perlebar 5 meter kiri dan kanan, fasilitasi dengan trotoar dulu, itu baru masuk akal. Jangan asal proyek, kejar target”,ulasnya di medsos.

Jalan tol memang menarik. Selain prestasi, prestise juga menjanjikan sesuatu…entah apa itu.
Maka sewajarnya aktifis sekelas LSM GMBI layak menyerukan, sikapi dengan kritis jangan sampai proyek milyaran bahkan trilyunan rupiah itu tak sepadan dengan fungsi dan efek sosial ekonomi yang ditimbulkannya.

Terakhir, pertanyaan menggoda untuk dijawab dalam hati semua pihak, jalan tol itu memakai uang siapa? Jalan tol itu dibangun untuk siapa?
(Penulis: aktifis LSM dan jurnalis MenaraMadinah.Com Biro Sulawesi , tinggal di Makassar)