Surabaya-menaramadinah.com-Pelaksanaan Pilkada serentak 2020 semakin dekat, suasana semakin meriah dan semarak, aroma pesta demokrasi lima tahunan semakin menyeruak, beberapa oknum masyarakat awam berbahagia menanti kucuran materi dari beberapa oknum kandidat, baik berupa uang maupun barang, baik uang tunai maupun cukup berupa traktir kopi, baik selama masa sosialisasi maupun malam hari H nanti yang terkenal dengan istilah serangan fajar.
Terkait dengan situasi yang sangat mungkar tersebut, Bendum IKA PMII Jawa Timur, Firman Syah Ali yang akrab disapa Cak Firman angkat bicara.
“Menurut Katib Aam PBNU 2010-2015, Istilah sedekah politik merupakan pengaburan bahasa yang menyesatkan,” tegas Keponakan Menkopolhukam Mahfud MD ini. Contoh konkret sedekah politik adalah pemberian uang atau barang atau jasa atau akses atau fasilitas atau wanita atau pos jabatan dari calon presiden/calon kepala daerah/calon legislatif kepada masyarakat atau warga di daerah pemilihannya dengan “pamrih politik” tertentu. Praktik seperti itu merupakan kemungkaran politik yang nyata, maka tidak layak disebut sedekah, sebab sedekah dalam islam itu “tanpa pamrih” apapun, hanya memberi tak hendak kembali.
Pemberian uang dari para Bacakada kepada warga daerah pemilihannya dengan tujuan politik elektoral sebaiknya disebut “risywah siyasiyah”, jangan disebut shodaqoh.
Niat sedekah politik itu sudah tidak benar. Niatnya jelas mempengaruhi penerimanya untuk memenuhi harapan si pemberi. Karenanya, praktik itu bukan lagi sodaqoh, tetapi risywah siyasiyah. Keduanya berbeda. Tidak ada keraguan sedikitpun.
Cak Firman menambahkan bahwa ada lima transaksi non profit dalam islam, yaitu zakat, infaq, shodaqoh, hibah dan hadiah. Yang namanya non profit ya tidak mengharapkan balasan apapun dari sesama manusia.
“Mari jangan nodai kesucian dan keluhuran istilah shodaqoh, biar kelak nggak digoreng di dalam neraka oleh malaikat”, pungkas Pengurus Harian PW LP Ma’arif ini.
Husnu Mufid