
Oleh: Ahmad Chuvav Ibriy
Akhir tahun selalu menghadirkan ruang hening untuk menoleh ke belakang, bukan sekadar menghitung capaian, tetapi menimbang makna. Tahun 2025 kita tutup dengan perasaan yang bercampur: harapan yang sempat tumbuh, kekecewaan yang tak sedikit, juga kelelahan kolektif akibat dinamika sosial, politik, dan penegakan hukum yang sering kali terasa timpang. Dalam keheningan itulah refleksi menjadi kebutuhan moral, bukan sekadar ritual tahunan.
Sepanjang 2025, kita menyaksikan betapa kemajuan material tidak selalu seiring dengan kematangan etika publik. Hukum kerap kehilangan wibawa di hadapan kekuasaan dan modal; keadilan terasa mahal bagi yang lemah, tetapi ringan bagi yang kuat. Di ruang publik, suara kebenaran sering kalah oleh hiruk-pikuk sensasi. Ini bukan sekadar kegagalan sistem, melainkan tanda bahwa nurani kolektif sedang diuji.
Namun sejarah mengajarkan, setiap krisis adalah pintu bagi transformasi. Dalam bahasa spiritual, krisis adalah mujāhadah—perjuangan batin untuk menundukkan ego dan mengembalikan orientasi hidup pada nilai. Dalam bahasa sosial, krisis adalah kesempatan untuk melakukan koreksi arah. Tahun 2025, dengan segala kegaduhannya, seharusnya kita baca sebagai panggilan untuk memperbaiki fondasi: kejujuran, tanggung jawab, dan keberpihakan pada keadilan substantif.
Kita juga belajar bahwa rekonsiliasi (iṣlāḥ) tidak boleh dimaknai sebagai jalan pintas yang mengorbankan kebenaran. Damai tanpa keadilan hanya menunda luka; taubat tanpa pengakuan kesalahan hanyalah kosmetik moral. Karena itu, memasuki 2026, bangsa ini membutuhkan keberanian untuk jujur pada diri sendiri—bahwa memperbaiki keadaan menuntut konsistensi antara ucapan dan tindakan.
Peran kaum intelektual dan ulama menjadi semakin penting. Intelektual tanpa keberanian moral akan terjebak pada relativisme yang dingin. Ulama tanpa keberpihakan pada keadilan akan kehilangan suara profetiknya. Tahun 2025 memberi pelajaran pahit: diam di hadapan ketidakadilan adalah bentuk persetujuan yang paling sunyi. Maka 2026 harus kita sambut dengan komitmen baru : menghidupkan kembali etika amar ma‘ruf nahi munkar dalam bingkai kebijaksanaan dan tanggung jawab sosial.
Di tingkat personal, refleksi akhir tahun mengajak kita menata ulang niat. Apakah aktivitas kita sepanjang 2025 telah mendekatkan diri pada kemaslahatan bersama? Ataukah justru memperlebar jurang kepentingan? Tahun baru bukan jaminan perubahan, tetapi niat yang jernih adalah awalnya. Dari niat itulah lahir disiplin, dari disiplin tumbuh keteladanan.
Menuju 2026, kita memerlukan optimisme yang rasional, bukan optimisme kosong. Optimisme yang berakar pada kerja nyata, pada kesediaan merawat perbedaan, dan pada keberanian menegakkan keadilan meski tidak populer. Kita perlu memperkuat simpul-simpul sosial: keluarga, pesantren, kampus, dan komunitas warga, sebagai ruang pembelajaran etika dan solidaritas.
Akhirnya, refleksi ini bukan untuk meratap, melainkan untuk berbenah. Dalam tradisi para ulama, muḥāsabah adalah jalan keselamatan, karena siapa yang tidak menghisab dirinya di dunia akan dihisab dengan keras di akhirat. Tahun 2025 telah memberi cermin yang jujur; ia memperlihatkan retak-retak moral yang tidak boleh ditutup dengan retorika, tetapi harus disembuhkan dengan taubat kolektif dan keberanian menegakkan kebenaran.
Menuju 2026, kita dipanggil untuk kembali pada kompas nilai: keadilan sebagai amanah, kekuasaan sebagai tanggung jawab, dan ilmu sebagai cahaya yang membimbing, bukan alat pembenaran. Ulama dan intelektual hendaknya berdiri di barisan nurani umat—menjadi saksi kebenaran (shuhadā’ bil-qisṭ), meski harus menanggung risiko sosial dan politik. Sebab diam di hadapan kezaliman bukanlah sikap wara‘, melainkan bentuk kelalaian terhadap amanah.
Semoga tahun baru menjadi momentum tajdīd an-niyyah dan iṣlāḥ al-aḥwāl: memperbarui niat dan memperbaiki keadaan. Kita mohon kepada Allah Swt agar dianugerahi pemimpin yang adil, aparat yang amanah, ulama yang istiqamah, dan rakyat yang berani berkata benar. Dengan itulah Indonesia dapat melangkah menuju masa depan yang lebih adil, beradab, dan bermartabat—bukan hanya di hadapan sejarah, tetapi juga di hadapan Allah SWT.
Gresik, 31 Desember 2025
Ahmad Chuvav Ibriy
https://www.facebook.com/share/p/1D1djsfh4F/
