
Oleh: Ahmad Chuvav Ibriy.
Korupsi timah Rp300 triliun —angka yang bila ditulis penuh pun membuat akal sehat tercekik— berujung pada vonis 3 tahun penjara dan biaya perkara Rp5.000. Lima ribu rupiah. Nilainya setara parkir motor, bahkan kalah dari kopi panas di warung. Di titik inilah hukum berhenti menjadi panglima, lalu berubah jadi parodi.
Tangis keluarga terdakwa memang manusiawi. Tapi yang jauh lebih layak ditangisi adalah nasib publik: lingkungan yang rusak, ekonomi yang bocor, dan kepercayaan rakyat yang dirampok. Dalam perkara sebesar ini, denda receh bukan sekadar angka; ia pesan. Pesan bahwa kejahatan kerah putih bisa dinegosiasikan murah, bahwa merintangi keadilan tak perlu mahal, bahwa rasa malu institusional bisa ditukar kembalian.
Hukum pidana punya dua wajah: menghukum pelaku dan mendidik publik. Vonis seperti ini gagal di keduanya. Ia tak memberi efek jera, dan lebih parah—mengajarkan sinisme. Rakyat belajar bahwa obstruction of justice bisa berujung secangkir kopi; aparat belajar bahwa tuntutan bisa dipangkas; dan koruptor lain belajar satu hal: risiko terukur, keuntungan tak terbandingkan.
Dalam etika keadilan, hukuman harus proporsional dan simbolik. Proporsional terhadap dampak, simbolik bagi martabat hukum. Ketika simbolnya Rp5.000, yang runtuh bukan hanya kepercayaan—tapi wibawa negara. Di mana asas fiat justitia ruat caelum jika langit keadilan runtuh oleh kembalian?
Jika hukum ingin dihormati, ia harus berani. Berani memberi denda yang masuk akal, pidana yang mencerminkan kerusakan nyata, dan pesan tegas bahwa menghalangi keadilan adalah dosa publik. Tanpa itu, kita tak sedang menegakkan hukum—kita sedang menyeduh kopi pahit untuk masa depan republik.
Gresik, 29 Desember 2025
PP. AL-AMIN
Mojowuku, Kedamean, Gresik
Ahmad Chuvav Ibriy
