
Dewi Farah (Anggota Satu Pena Jawa Timur)
Makkah-menaramadinah.com – Dari sebuah desa kecil di ujung timur Pulau Madura, di tanah yang dikenal sebagai Kota Keris, hiduplah seorang perempuan tua bernama Mbah Siti. Tubuhnya mungkin telah renta, namun dibalik kulit yang keriput dan langkah yang perlahan, tersimpan bara yang tak pernah padam. Ia adalah salah satu jamaah perempuan tertua dari BMT NU Jawa Timur, namun semangatnya melampaui usia, melampaui batas tubuh dan melampaui segala yang fana.
Setiap pagi sebelum fajar, Mbah Siti menatap langit yang masih kelam. Di matanya bintang-bintang bukan sekedar cahaya, melainkan tanda-tanda dari Tuhan yang memanggilnya pulang. Ia menyiapkan diri dengan hati yang bergetar, seolah setiap detik adalah langkah menuju rumah Allah. Diantara desir angin dan lantunan do’a, ia menenun harapan dari benang kesabaran, menulis takdirnya diatas sajadah yang telah lama menjadi saksi air matanya.
Ketika kabar keberangkatan itu datang, desa kecilnya seakan ikut bergetar. Orang-orang menyebutnya “perempuan baja berselendang do’a.” Ia berangkat bukan dengan kekuatan tubuh, melainkan dengan kekuatan cinta. Dari Sumenep yang jauh, langkahnya menembus jarak dan waktu, membawa serta do’a-do’a yang tumbuh dari tanah sederhana dan hati yang tulus.
Di tanah suci, di bawah langit Makkah yang menyala oleh cahaya, Mbah Siti menjadi sosok yang tak pernah tertinggal. Diantara ribuan jamaah, langkah tuanya justru paling cepat, paling teguh dan paling menyala. Setiap kali adzan berkumandang, ia selalu yang pertama berdiri, seolah api di dadanya menolak padam. Nafasnya mungkin pendek tapi semangat panjang seperti do’a yang tak berujung.
Keriput di wajahnya bukan tanda lelah, melainkan ukiran waktu yang bertasbih. Setiap garis dikulitnya adalah ayat yang hidup dan setiap senyumnya adalah dzikir yang bergetar di udara. Di hadapan Ka’bah ia menunduk lama, membiarkan air matanya jatuh seperti hujan rahmat. Dalam sujudnya, dunia seakan berhenti berputar. Ia bukan lagi sekedar Mbah Siti dari desa kecil di Sumenep, melainkan jiwa yang menyatu dengan panggilan Ilahi.
Api di balik keriput itu terus menyala. Ia membakar segala letih, menerangi langkah-langkah jamaah lain yang sempat goyah. Banyak yang tertegun melihatnya – perempuan tua yang tak pernah menyerah, yang selalu terdepan menuju rumah Allah. Semangatnya menjelma menjadi bara yang menyalakan segala hati di sekitarnya.
Ketika matahari tenggelam di tanah haram, Mbah Siti tersenyum. Ia tahu, bahwa perjalanan ini bukan sekedar ziarah. Melainkan pertemuan antara cinta dan keabadian. Api di dadanya kini bukan lagi miliknya sendiri, melainkan cahaya yang diwariskan kepada dunia – bahwa usia tak pernah menjadi penghalang bagi jiwa yang menyala karena iman.
Di antara jutaan langkah yang menuju Baitullah, langkah Mbah Siti adalah nyala yang tak padam. Dari desa kecil di Sumenep hingga Tanah Suci di bawah langit Makkah, ia membuktikan bahwa semangat sejati tak mengenal usia. Api di balik keriput itu akan terus hidup, menjadi pelita bagi siapa pun yang berjalan di jalan cinta menuju Allah SWT.
Makkah, 15 Desember 2025
