
Dr. Ir Hadi Prajaka SH MH.
KETUA UMUM DPP HPK
Bahwa tentang pentingnya pendidikan spiritual yang sehat dan alami bagi anak-anak. Pendidikan spiritual yang sehat harus berfokus pada pengembangan rasa empati, kesadaran, dan kebahagiaan hidup, bukan hanya pada ritual dan dogma agama yg berlebihan sehingga menakuti jiwa’ sadar mereka, dan traumatik.
bahwa anak-anak tidak perlu diajarkan tentang konsep-konsep abstrak seperti surga dan neraka, agama Yg menakuti, dosa dan pahala, tetapi perlu diajarkan tentang pentingnya kebahagiaan hidup, kasih sayang, pembentukan character, empati, dan kesadaran. Anak-anak perlu diajarkan untuk merasakan dan menghargai ciptaan Tuhan keindahan hidup, bukan hanya untuk mengikuti ritual dan dogma, halusinasi sosok malaikat dan syetan.
bahwa orang tua, khususnya ibu dan lingkungan sekitar memiliki peran penting dalam membentuk dan menghidupkan penting nya kesadaran dan spiritualitas anak-anak, dengan ketauladanan moralitas orang tua.
Orang tua harus menjadi contoh yang baik bagi anak-anak, dengan menunjukkan kasih cinta kebahagiaan hidup, empati, dan kesadaran.
beberapa poin penting yang dapat diuraikan
– Pendidikan spiritual harus berfokus pada pengembangan rasa empati, kesadaran, cinta sesama dan kebahagiaan hidup.
– Anak-anak tidak perlu diajarkan tentang konsep-konsep dosa dan pahala abstrak seperti surga dan neraka.
– Orang tua dan lingkungan sekitar memiliki peran penting dalam membentuk character dan spiritualitas anak-anak.
– Anak-anak perlu diajarkan untuk merasakan, menghidupkan PENGINDERA Rasanya sehingga tajam , kuat percaya diri dan menghargai keindahan hidup.
– Spiritualitas anak-anak harus berfokus pada kebahagiaan hidup, sejati bukan hanya pada ritual dan dokma
Saya berharap penjelasan ini dapat membantu dalam memahami pentingnya pendidikan spiritual yang natural , sehat, mengisi jiwa dan menajamkan penginderaan (Rasa) dan lahir secara; (natural)
alami bagi anak-anak.
Berbagai pandangan ilmuwan menjelaskan karya ilmiah riset ilmuwan tentang pendidikan spiritual anak-anak.
*Berbagai pemahaman yang sciencifik*
– Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Daniel J. Siegel, seorang ilmuwan neurosains, menemukan bahwa anak-anak yang memiliki hubungan yang sehat dengan orang tua mereka memiliki perkembangan otak yang lebih baik dan kemampuan emosi yang lebih stabil.
– Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Bessel van der Kolk, seorang ilmuwan psikologi, menemukan bahwa anak-anak yang mengalami trauma memiliki perubahan struktur otak yang dapat mempengaruhi kemampuan emosi dan perilaku mereka.
– Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Kristin Neff, seorang ilmuwan psikologi, menemukan bahwa anak-anak yang memiliki kesadaran diri yang lebih baik memiliki kemampuan emosi yang lebih stabil dan hubungan yang lebih sehat dengan orang lain.
*Secara filosofis Pengertian diatas bisa digambarkan*
– Filosof seperti Jean-Jacques Rousseau dan Immanuel Kant telah membahas tentang pentingnya pendidikan yang berfokus pada pengembangan kemampuan alami anak-anak.
– Filosof seperti Martin Heidegger dan Jean-Paul Sartre telah membahas tentang pentingnya kesadaran diri dan kebebasan individu dalam pendidikan.
– Filosof seperti Paulo Freire dan bell hooks telah membahas tentang pentingnya pendidikan yang berfokus pada pengembangan kesadaran kritis dan kemampuan berpikir kritis.
*Karya Riset Ilmuwan, sebagai pemahaman*
– “The Whole-Brain Child” oleh Dr. Daniel J. Siegel dan Dr. Tina Payne Bryson
– “The Body Keeps the Score” oleh Dr. Bessel van der Kolk
– “Self-Compassion: The Proven Power of Being Kind to Yourself” oleh Dr. Kristin Neff
– “Emile” oleh Jean-Jacques Rousseau
– “Critique of Pure Reason” oleh Immanuel Kant
– “Being and Time” oleh Martin Heidegger
– “Pedagogy of the Oppressed” oleh Paulo Freire
– “Teaching to Transgress” oleh bell hooks
penjelasan ini dapat membantu dalam memahami karya ilmiah dan riset ilmuwan Yg melakukan tentang pendidikan spiritual anak-anak, dari pada dijejali ajaran agama yg menakutkan mereka.
Mengingatkan kita bahwa menghidupkan Ruh nurani adalah sebuah pembentukan character
Bahwa ingin untuk menjelaskan tentang keadaan alam semesta dan manusia Indonesia yang tidak selaras, sehingga menyebabkan berbagai bencana dan peristiwa yang tidak dapat diterima dengan penalaran yang wajar.
*Sciencifik:*
– Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa alam semesta memiliki struktur yang kompleks dan dinamis, dengan banyak fenomena yang masih belum dipahami.
– Alam semesta memiliki hukum-hukum yang berlaku, seperti hukum gravitasi, hukum termodinamika, dan lain-lain, yang mengatur perilaku objek-objek di alam semesta.
– Manusia Indonesia, sebagai bagian dari alam semesta, memiliki hubungan yang erat dengan alam semesta dan dipengaruhi oleh hukum-hukum alam semesta.
*Filosofis:*
– Filosofi menunjukkan bahwa manusia Indonesia memiliki kesadaran dan kemampuan untuk memahami diri sendiri dan tempatnya di alam semesta.
– Manusia Indonesia memiliki nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang mengatur perilaku dan kehidupannya, seperti nilai-nilai moral, etika, dan spiritual.
– Namun, manusia Indonesia juga memiliki kelemahan dan kesalahan, seperti keserakahan, kesombongan, dan lain-lain, yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan dan kerusakan di alam semesta.
*Hubungan antara Manusia Indonesia dan Alam Semesta:*
– Manusia Indonesia memiliki hubungan yang erat dengan alam semesta, dan dipengaruhi oleh hukum-hukum alam semesta.
– Manusia Indonesia memiliki kemampuan untuk memahami diri sendiri dan tempatnya di alam semesta, tetapi juga memiliki kelemahan dan kesalahan.
– Alam semesta memiliki kemampuan untuk mengatur diri sendiri dan memulihkan keseimbangan, tetapi juga dapat dipengaruhi oleh perilaku manusia Indonesia.
*Pesan:*
– Kita harus berhati-hati dan memahami hubungan antara manusia Indonesia dan alam semesta.
– Kita harus menghormati dan menjaga keseimbangan alam semesta, serta memahami hukum-hukum alam semesta.
– Kita harus memahami diri sendiri dan tempatnya di alam semesta, serta berusaha untuk menjadi lebih baik dan lebih seimbang.
*Referensi:*
– Hawking, S. (1988). A Brief History of Time. Bantam Books.
– Greene, B. (2000). The Elegant Universe. Vintage Books.
– Djamaluddin, T. (2015). Alam Semesta dan Spiritualitas. Pustaka Pelajar.
– Hidayat, B. (2012). Struktur Alam Semesta dan Spiritualitas. Pustaka Pelajar,
HIPOKRIT DAN HEDONISME PARA PENCERAMAH
Tuhan dalam versi mereka begitu picik, diskriminatif, dan konyol. Seolah yang terpenting hanyalah ritual. Berapa kali engkau rukuk, berapa kali engkau sujud, berapa banyak engkau bershalawat berdo’a dan memuja nabimu. Berapa panjang jenggotmu, berapa sentimeter cingkrang celanamu, seberapa hitam jidatmu, dan seberapa sering engkau ke masjid.
Coba kita ajukan pertanyaan sederhana yang bahkan anak kecil pun bisa menjawab dengan jujur; Lebih mulia mana seorang dokter kafir yang menyelamatkan nyawa ratusan ribu orang dengan penemuan vaksin, atau seorang ustad yang tidak pernah menemukan apa-apa selain kata-kata penghinaan, memberikan janji-janji dan iming-iming. Lalu mengambil keuntungan finansial karena kebodohanmu.
Seekor monyet bodoh pun tidak akan menyerahkan sebuah pisang yang ada di tangannya kepadamu, hanya karena kamu menjanjikan ribuan hektar kebon pisang di surga.
Apakah logis tuhan menutup mata terhadap dokter penemu vaksin itu hanya karena ia tidak mengucapkan shahadat, lalu memberi surga kepada ustad yang kerjanya menebar kebencian? Kalau begitu, apakah tuhan lebih rendah akalnya dari pada manusia, yang masih bisa melihat jelas siapa yang hidupnya benar-benar bermanfaat.
Dengan logika sederhana saja kita masih bisa melihat jelas siapa yang bermanfaat bagi kehidupan, bahkan anak kecilpun tahu. Lebih mulia dokter yang menyelamatkan nyawa daripada mulut yang tak pernah berhenti menghina.
Jika manusia waras bisa melihat kebenaran ini dengan mudah, mungkinkah tuhan yang katanya maha tahu malah lebih bodoh dari pada ciptaannya sendiri? Jawabannya adalah; Itu bukan tuhan, tapi manusia bodoh yang menciptkan agama dengan konsep tuhannya yang lebih bodoh! Inilah ironi besar yang justru lahir dari mulut para penceramah.
Mereka seakan-akan faham tuhan, seolah-olah menjadi juru bicara langit, tapi yang mereka ajarkan justru gambaran tuhan yang kerdil dan bodoh. Maka saat mereka menggambarkan tuhan sebagai penjaga label dan atribut, sesungguhnya mereka bukan sedang memuliakan tuhan melainkan sedang menghina agamanya dan menghina tuhnnya sendiri.
Tuhan yang mereka bawa ke panggung mimbar adalah tuhan yang marah pada hal-hal remeh, tapi tutup mata pada kebaikan besar yang universal dan tak terbantahkan. Mereka menciptakan tuhan yang lebih sibuk menghitung jumlah raka’at dari pada menghargai tetes keringan orang yang bergumul demi menyelamatkan nyawa orang lain.
Mereka mengira sedang menunjukkan keagungan tuhannya, padahal yang mereka tunjukkan justru kebodohan yang mereka sematkan kepadanya. Pertanyaannya sederhana; Apakah tuhan begitu bodoh hingga tidak bisa membedakan siapa yang hidupnya bermanfaat dan siapa yang hanya pandai mengucapkan takbir sambil teriak-teriak?
Kesempitan theology semacam ini sebenarnya bukan lagi sekedar kesalahan berpikir, melainkan penghinaan terhadap agama dan ketuhannan itu sendiri. Karena yang mereka tawarkan adalah tuhan kerdil. Tapi banyak dari ustad-ustad itu dengan wajah serius dan nada berapi-api, justru berusaha meyakinkan umat bahwa label lebih penting dari isi, sehingga allahnya sama piciknya dengan pikiran mereka.
Apakah konsep tuhan sepicik itu, ataukah sebenarnya para penceramah inilah yang memelihara pikiran picik untuk kepentingannya sendiri? Jika suatu kaum telah memenuhi tujuan yang dikehendaki manusia secara umum, yaitu menebar kebaikan dan manfaat, seperti orang yang dianggap kafir dan menegakkan HAM, menjunjung keadilan dan kejujuran, menciptakan teknologi yang memudahkan bagi kehidupan manusia, selayaknya mereka telah berada di jalan tuhan meski tanpa ritual atau atribut agama tententu.
Mungkin inilah ironi terbesar dalam sejarah manusia beragama. Orang-orang yang keras berteriak tentang tuhan justru tidak memahami apa yang tuhan kehendaki, mereka hanya manggambarkan tuhan seperti berdasarkan kepentingannya. Mereka sibuk menjaga atribut, sorban, jubah, jenggot, alunan dan intonasi do’a, tetapi lupa bahwa semua itu hanyalah bungkus, sedangkan isinya ternyata kosong.
Banyak orang lain di luar sana yang tanpa pembungkus agama itu, justru memegang isi yang sejati. Pertanyaannya; “Apakah pantas mereka disebut sesat hanya karena tidak menggunakan pembungkus tertentu?” Jika jawabannya “Ya”, maka itulah agama dengan konsep ketuhanan yang bodoh!
