
BLITAR–Program Studi Psikologi Islam Universitas Nahdlatul Ulama Blitar menggelar kajian literasi psikologi bertema “Resiliensi Menyambut Tahun Baru 2026”, Sabtu (20/12/2025).
Kegiatan ini menjadi bagian dari upaya kampus mendorong literasi kesehatan mental di kalangan mahasiswa dan masyarakat, terutama menjelang pergantian tahun yang kerap diwarnai tekanan psikologis.
Kajian yang berlangsung di Aula Istana Gebang tersebut diikuti puluhan peserta dari berbagai latar belakang. Tema resiliensi dipilih karena akhir tahun sering menjadi momentum refleksi yang tidak jarang memicu stres akibat tuntutan akademik, sosial, maupun personal. Melalui kegiatan ini, peserta diajak memahami pentingnya kemampuan bertahan dan bangkit dari pengalaman sulit sebagai bekal menghadapi tahun baru.
Ketua Himpunan Mahasiswa Psikologi Islam (HIMAPSI) UNU Blitar, Alda Tiara Rachmawati, mengatakan refleksi akhir tahun perlu diarahkan pada kesiapan menata masa depan. “Akhir tahun adalah waktu yang tepat untuk belajar dari pengalaman selama satu tahun, termasuk kegagalan, agar kita siap melangkah dan berinovasi di tahun berikutnya,” ujarnya.
Narasumber utama kajian, M. Syahrul Mubarok, S.Psi., menjelaskan bahwa resiliensi merupakan kemampuan individu untuk bangkit dan menyesuaikan diri setelah menghadapi tekanan atau kegagalan. “Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bangkit dan beradaptasi setelah menghadapi situasi sulit dalam hidup,” kata Syahrul.
Menurut Syahrul, individu yang memiliki resiliensi baik cenderung mampu mengelola stres secara lebih sehat dan produktif. “Setiap orang pasti menghadapi masalah. Yang membedakan adalah bagaimana cara merespons dan mengelola tekanan tersebut,” ujarnya.
Sebaliknya, rendahnya resiliensi dapat meningkatkan risiko kecemasan dan depresi karena individu kurang memiliki ketahanan dalam menghadapi kesulitan.
Dalam sesi praktik, peserta diajak melakukan latihan refleksi melalui empat tahapan, mulai dari mengidentifikasi kegagalan selama satu tahun, merumuskan solusi perbaikan, menyusun harapan positif, hingga menetapkan aksi konkret.
Syahrul menegaskan bahwa tindakan nyata menjadi kunci utama. “Refleksi saja tidak cukup. Setelah menyusun rencana, yang paling penting adalah melakukan aksi nyata,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa resiliensi tidak identik dengan selalu kuat tanpa lelah. “Resiliensi bukan berarti tidak pernah jatuh, tetapi tetap memilih bangkit meskipun pernah gagal,” kata Syahrul.
Menutup tahun dengan resiliensi, lanjutnya, berarti memberi apresiasi pada diri sendiri atas proses yang telah dijalani.
Kegiatan ditutup dengan diskusi interaktif yang menunjukkan tingginya minat peserta terhadap isu kesehatan mental. Melalui kajian ini, UNU Blitar berharap dapat terus berkontribusi dalam meningkatkan literasi psikologi serta mendorong terbentuknya masyarakat yang lebih peduli dan tangguh secara mental.*Imam Kusnin Ahmad*
