
Dr. Ir. Hadi Prajoko, SH, MH Ketum PP HPK
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa..
Kita Bangsa yang tersesat, karena masih memeluk hukum para penjajah dan telah ber- menuhankan para penjajah Bangsa sendiri…
Dalam perjalanan relasional nya secara terang terangan tunduk pada konstitusi hukum hukum Eropa dan Babilonia ( Hukum Syariat) yg merupakan manifestasi klinis kebudayaan bangsa luar Nusantara… Kemana kesejatian martabat manusia kita sebagai Bangsa yang dahulu sebagai WANGSA SURYA….??????
Dan telah jauh dari peradaban budaya luhur nya
Disadari atau tidak…, diakui atau tidak…; eksistensi kebudayaan lokal, kaweruh luhur, indigenius people, masyarakat Nusantara, di negara Indonesia semakin tergerus dalam skala prosentase besar.
Apa yang masih didapati sekarang…; seperti bahasa ibu .., kesenian…, adat…, tradisi…,ritus upakara2, karya-karya budaya aneka lontara, hukum hukum adat leluhurnya musnah yg menjadi warisan dari karya para MPU, resi, pujangga dan karya seni Serta warisan bentuk lainnya….; tinggallah sisa-sisa berserakan, yg dilecehkan oleh generasi
Sedikit dari yang tersisa…, itu pun tinggal menjadi kesaksian peradaban masa lalu yang pernah kita miliki,
Keberadaannya…, tidak lagi utuh sebagai “kebudayaan”.
Telah kehilangan akar tradisi kebudayaan bangsa
Pemangku kekuasaan hanya menjadikan kebudayaan sebagai tontonan yg jauh’dari nilai Tuntunan hidup, dan kebudayaan tidak lagi menjadi prinsip ritus , satu ritual yg menyelaraskan hubungan manusia dengan Hyang Maha Pencipta,..akar budaya dan kesejatian luhur kebudayaan hilang dan tidak yg mampu lagi memberikan kontribusi membangun harmonisasi micro dan machro cosmic, antara bhatin dan alam semesta.
Mengapa dikatakan demikian…?
Berbagai hal yang kita namai kebudayaan luhur itu tinggal wadagnya…, sudah kehilangan isi…, kehilangan roh, kehilangan jiwa, tidak lagi punya identitas, tidak mencerminkan jati diri bangsa , kepercayaan dirinya telah hilang…
Segala daya upaya dengan seribu dalih menjaga eksistensi kebudayaan…, hanya berkutat di wilayah permukaan, hanya pembungkus , asesorisnya covers wisata…
Nyaris sama sekali tidak menyentuh wilayah kedalaman, ibarat cerita wayang telah kehilangan pakemnya, semua dirubah menjadi tontonan belaka, nilai tuntutan Budi luhur nya tidak ada lagi sebagai pengelola bhatin,
Atas nama kebebasan kreatif…, konvensi dianggap sebagai penghambat kemajuan.
Irasionalitas., Kesakralan.., dianggap sebagai keterbelakangan.
Atas nama akhlak…, religiusitas dianggap anti ketuhanan,…
Budi pekerti luhur tidak lagi sebagai nilai akar membangun sebuah prinsip prilaku hidup akibat dari para pemangku kekuasaan, Para pemimpin agama telah menikmati hidup feodalistik, hedonis, dan para rohaniawan agama telah menjadi Aristokrat bukan lagi menjadi *Punakawan* / Pamomong umat’/manusia bahkan cenderung pembuat konflik-konflik sosial, minta disembah seperti Tuhan serta penuh kepura-puraan,
Semua ditarik ke ranah rasional-pragmatis…, simbolisme habis. Kita tidak lagi mampu menerjemahkan simbol sebagai satu sastra Djendra aksara sandi, simbol sebagai piranti yang penuh banyak makna telah kehilangan kerahiman…. mereka tidak mampu lagi menerjemahkan symbol symbol pesan semesta.
Tak aneh jika kemudian perikehidupan bangsa Nusantara – dan kemanusiaan di negara Indonesia ini nyaris musnah di segala bidang…, seperti kehilangan pegangan nilai, kehilangan jiwa kebangsaan, kehilangan esensi ketuhanan yg universal,..
Karena…, simbolisme sebagai ruang hayatan nilai semakin disingkirkan.
Para maha guru, seniman dan budayawan serta rohaniawan telah terjerumus permainan politik dan menjadi bandar bandar politik
Dulu…, dalang itu aktor tunggal, yang mengajarkan kebaikan, mengajarkan intuisi kepada generasi, sehingga weruh sak durunge winarah, lebih tahu sebelum kejadian …
Dalang tidak boleh kebogelan…, ‘kehabisan cerita sehingga pentas selesai sebelum waktunya’.
Dahulu Para Dalang tidak boleh karahinan…, ‘berpanjang cerita sehingga matahari terbit pentas belum usai’…. Kita merasa dikucilkan atau kita mengucilkan diri, tidak lagi Bisa keluar dari kenyataan hidup, selalu ragu…
Posisi dalang tidak boleh ngungkurke…, ‘membelakangi’ Para penonton maupun ngiwakke ‘menyamping-kirikan’ si empunya hajat.
Sekarang…???… pertunjukan wayang penuh dg ucapan pornografi dan kehilangan pakemnya,
Ah…, itu filosofis kuno.
Tidak lagi menarik…, tidak strategis…, tidak punya nilai jual.
Demikian juga seperti motif kain batik Parang Rusak…, bahasa krama inggil, tata-upacara adat sebagai wahana membina moral-etik…; dianggap warisan feodalisme yang bertentangan dengan semangat demokrasi.
Itu cuma motif kain…, boleh dipakai siapa saja…, untuk apa saja.
Tidak perlu rumit-rumit…, yang praktis saja…, efektif-efisien.
Sajen…, dupa…, ngelmu gugon-tuhon…, mitos dan semacamnya sebagai ruang mengelola religiusitas…; dianggap menyekutukan Tuhan.
Bertentangan dengan ajaran agama…, neraka jaminannya.
Pokoknya semua harus rasional…, praktis…, steril dari mistik (kegaiban), dan tidak boleh sakral …
Kebudayaan…, harus bisa dikemas dan laku dijual sebagai budak tontonan pariwisata, Para brahmana disisihkan dibunuh yg dahulu sebagai pencetak ilmu pengetahuan, pemandu kehidupan tidak lagi mampu memberikan tuntunan hidup, seribu dalil dibutuhkan walaupun tanpa kasunyatan, walaupun tanpa ketauladanan hidup…
Kebudayaan harus dipacu…, agar go international penarik wisatawan, walaupun merusak akar tradisi luhur
Kebudayaan harus dikenal masyarakat dunia…, hanya semata mata’ tontonan turism sehingga mereka berdatangan membawa uang untuk kita…. Kita dipaksa hidup hedonistik… egois.
Lupa…, bahwa akal tak mampu menjangkau segala persoalan.
Lupa…, bahwa manusia adalah makhluk sosial…; yang mana hidup bersama perlu aturan main tata Krama dan ‘norma-etik’, serta bertanggung jawab atas Budi pekerti luhur yang kita warisi bersama.
Lupa…, bahwa Tuhan itu gaib -mysteri yang keberadaannya ‘ *Tan kena kinaya ngapa* cedak tanpa senggolan, adoh tanpa winangenan, nek lembut Tan kena jinumput, nek mbabar ngebeki jagat -tan kena winuwus’…, bukan seperti kita yang gampang ditipu dan disogok.
Lupa…, bahwa kebudayaan itu menjawab segala dimensi multi culture persoalan komunitas manusia si pemilik kebudayaan,,,, bukan hanya untuk manjawab target PAD ataupun APBN.
Lupa…, lupa…, dan lupa.
Banyak lupa dampak dari mengabaikan simbolisme…, menyingkirkan kedalaman makna.
Membuang nilai ‘value’…, semata-mata mengejar harga ‘price’.
Bahwa nilai bukanlah ranah akal ‘rasio’…, melainkan ranah batin ‘rasa’.
Nilai mawujud menjadi gerak bukan berangkat dari mengerti (kognisi)…, melainkan dari menghayati (afeksi).
Mengerti adalah kerja akal…, dicapai dengan menyerap pengetahuan.
Menghayati adalah kerja batin…, dicapai dengan menyerap nilai atau makna yang prosesnya disebut internalisasi kesadaran,
Ketika kebudayaan sudah kehilangan ruang internalisasi yang dijembatani oleh simbolisme…, maka kebudayaan itu sudah kehilangan nilai…, kehilangan makna…, kehilangan kedalaman, esensi, jiwa,
Nilai terkubur oleh harga.
Kebudayaan tak mampu lagi menjadi alat mengatur kehidupan…, lantaran setiap orang sudah tidak lagi punya mimpi sekaligus pedoman batin yang sama.
Hal inilah yang di alami bangsa Nusantara saat ini,
Di negara Indonesia yg memuja demokrasi kini apa yang kemudian tidak menjadi liar…?
Politik…, ekonomi…, hukum…, pendidikan…; bahkan praktek keagamaan…, semua menjadi liar.
Semua menjadi liar…, lantaran berkebudayaan tanpa kedalaman.
Semakin lebih banyak orang beragama…, tetapi semakin sedikit orang ber-Tuhan.
Bangsa yang dahulunya sebagai pemandu peradaban semesta yg dijuluki Sebagai Wangsa Surya, terbang naik burung GARUDA WISNU KENCANA tetapi mati dibunuh peradaban nya oleh Bangsa yg naik * *Keledai Terbang* dari gurun pasir yg semakin kehilangan adat dan per-adab-an…. kehilangan arah kesadaran nya.
Miris…. memprihatikan
Para pemimpin negara para rohaniawan dan para Dalang telah kehilangan kerahiman budaya kemanusiaan nya yg murni… tersesat.?
Hong Mandera Ulun Basuki langgeng.. pertahankan budaya,adat dan tradisi mu walaupun tersisa sebesar biji merica, dengan kukuh dan kuat… sebagai Suatu Etalase peradaban budaya bangsa yg tersisa itu, walaupun kita bersama prihatin kebudayaan hanya menjadi assesori tontonan pariwisata.
Om Santi Santi Om
Dr. Ir Hadi Prajoko SH MH
Ketua DPP HPK pusat Jakarta
