
By : Ustd. Suki
Dalam berbagai kesempatan kita sering mendengar para pendakwah dan pengkhotbah menyampaikan tentang pentingnya ungkapan syukur. Bentuk rasa syukur lazimnya yang dikenal adalah ucapan alhamdulillah, segala puji Tuhan. Tuhan yang masih membangunkan kita di pagi hari, memberi kita napas tanpa diminta, memberi kesempatan beribadah tanpa imbalan. Hidup yang dipenuhi dengan rasa syukur, akan menjadikan semua energi dalam diri memuji sang Illahi. Jadi, rasa syukur harus kita posisikan yang paling utama dalam urusan dengan Tuhan.
Jangan jadikan ibadahmu transaksi dengan Tuhan. Jadikanlah semua perilaku dan ibadah sebagai bentuk syukur atas nikmat-Nya. Kalimat ini nampaknya sederhana, namun menampar sinisme lembut pada diri kita. Kadang tanpa sadar, ibadah kita bernuansa tawar-menawar, ada semacam sekedar hubungan transaksional. Seolah kita berkata, ya Tuhan, kalau Engkau kasih aku rezeki, aku akan lebih rajin shalat. Atau kalau Engkau kabulkan doaku, aku akan lebih sering puasa sunnah. Ini merupakan cara bernalar yang salah kaprah, karena kurang pantas kita sampaikan pada Tuhan saat berdo’a.
Hubungan kita dengan Tuhan bukan jual beli. Kita bukan pedagang yang datang membawa amalan lalu berharap Tuhan membalasnya sesuai kemauan kita. Kita tidak sedang bertransaksi dengan pertimbangan untung dan rugi. Ibadah itu bukan bertujuan untuk barter. Ibadah itu syukur. Beribadahlah karena bersyukur, bukan karena ingin dibayar. Barangkali analogi sederhana berikut dapat dijadikan bahan refleksi. Bayangkan tentang kehidupan seorang anak. Sejak kecil diberi makan, pakaian, pendidikan, dan cinta oleh orang tuanya. Lalu suatu hari ia memberikan hadiah pada orang tuanya dalam bentuk sekotak kue. Apakah hadiah itu membalas semua kebaikan orang tuanya?. Tentu sangat tidak sebanding. Hadiah itu hanya tanda sayang, bukan pembayaran, kemudian dianggap lunas.
Begitu juga dengan ibadah kita. Shalat dua rakaat, zikir sebentar, sedekah seribu rupiah. Tidak akan pernah sebanding dengan nikmat oksigen yang kita hirup, apalagi bila dibandingkan dengan nikmat hidup, iman, dan Islam. Tuhan berfirman, beribadahlah dan bersyukurlah kepada-Nya. Perintah ibadah itu berdampingan dengan perintah syukur. Hal ini menunjukkan bahwa ibadah adalah cara kita berterima kasih kepada Tuhan. Seperti fenomena yang terjadi pada Nabi Dawud yang pernah bertanya, ya Tuhan, bagaimana aku bisa bersyukur, sedangkan syukur itu sendiri nikmat dari-Mu?. Lalu Tuhan menjawab, sekarang engkau telah bersyukur. Kesadaran bahwa kita tidak mampu membalas nikmat-Nya itu pun sudah syukur.
Ibadah juga bukan alat transaksi, karena Tuhan tidak akan pernah diatur oleh amalan kita. Kadang kita merasakan, saya sudah shalat malam, sudah sedekah, sudah berusaha taat, kok masih mengalami kesulitan ya?. Masalah kok tidak selesai-selesai?. Doa kok belum dikabulkan. Ini terjadi karena kita menyangka ibadah bekerja seperti tombol otomatis, kalau ditekan, pertolongan datang. Padahal ibadah bukan remote kontrol untuk mengatur Tuhan. Tuhan Maha mengatur, kitalah yang diatur. Logika ini yang harusnya dipahami dalam membangun relasi kemesraan dengan Tuhan.
Jika Tuhan mencintai suatu kaum, Tuhan mengujinya. Kalau ibadah itu transaksi, maka para nabi tentu hidup paling mudah. Tapi kenyataannya justru para nabi tersebut yang paling banyak memperoleh ujian. Kisah Nabi Zakariya merupakan peristiwa monumental. Beliau berdo’a bertahun-tahun ingin memperoleh keturunan. Namun beliau tidak pernah berkata, ya Tuhan, aku kan Nabi-Mu, masa Engkau tidak kabulkan permohonanku?. Beliau tetap yakin, tetap beribadah, tetap bersabar. Karena bagi seorang mukmin, ibadah tidak menunggu hasil, tapi menuntun hati sambil terus berharap.
Bersyukur di tengah penantian, saat inilah merupakan puncak ibadah yang paling tinggi nilainya. Ibadah yang paling indah bukan ketika do’a dikabulkan, tetapi justru ketika do’a belum dikabulkan, namun kita tetap sujud. Hal tersebut dapat disimak dari kisah Nabi Yunus, saat dalam kegelapan di perut ikan. Beliau tidak berkata, ya Tuhan, keluarkan aku dulu dari perut ikan, baru aku bersyukur. Di tengah kondisi gelap dan mustahil, beliau justru mengucap syukur dihadirkan di tempat yang sempit, sambil terus-menerus melantunkan tasbih sampai bibirnya basah.
Dalam hidup, kondisi seperti ini dekat dengan kita, belum dapat kerja, tapi tetap shalat. Belum sembuh dari sakit, tapi tetap yakin pada Tuhan. Jodoh belum datang, tapi tetap menjaga diri. Hasil belum tampak, tapi tetap sedekah menurut kemampuan. Jika kalian bersyukur, pasti akan aku tambah nikmatku padamu. Tuhan tidak berkata, jika Aku tambah dulu, baru kalian diminta bersyukur. Tapi Tuhan berkata, bersyukurlah, maka akan Aku tambah kenikmatan itu.
Mari mulai saat ini kita luruskan niat dan pertebal keyakinan. Kita shalat bukan hanya agar hidup kita mudah, tapi agar hati kita kuat menghadapi hidup yang tidak mudah. Kita berzikir bukan hanya agar masalah hilang, tapi agar hati tetap hidup saat masalah datang. Kita tidak bersedekah agar rezeki dilipatgandakan, tapi karena rezeki yang sudah diterima tidak bisa kita hitung.
Ibadah adalah cinta. Ibadah adalah syukur. Ibadah adalah cara kita berkata, ya Tuhan, Engkau telah memberi terlalu banyak. Izinkan aku membalasnya sambil berucap syukur, meskipun aku tidak akan pernah mampu. Jangan jadikan sujudmu transaksi, jadikan ia sebagai rasa terima kasih yang tidak pernah ada batasnya. Semoga baktiku, ibadahku bisa sebagai wasilah untuk menggapai ridhomu.
*Penulis adalah staf pengajar Prodi Magister Pendidikan IPS FKIP Universitas Jember dan pengamat sosial-keagamaan
