Menyongsong Kemartabatan

By : Dr.Ir. HADI PRAJOKO SH, MH Ketum PP HPK.

Organisasi agama dan keserakahan membuahkan konflik yg memilukan kalangan masyarakat awam.

NU, RELASI KUASA DAN KONSESI – Jajaran Nahdlatul Ulama (NU) baru memenangi pertempuran melawan stasiun televisi, dalam kasus ekpose “feodalisme baru ” di pesantren, tapi kini menerima serangan balasan, menuai sorotan karena masalah internal, akibat konflik di antara pengurus besar dan pemimpin tertingginya (Rais ‘Aam)

Bulan lalu, Ketua PBNU hingga hingga banser san jamaahnya menggeruduk stasiun media. Kini yang terjadi sebaliknya, awak media lah yang “menggeruduk” kantor NU.

Dengan jutaan anggota di seantero negeri dan luar negeri, lembaga-lembaga pendidikan yang dikelolanya, hingga akses istana dan APBN di kementrian yang dikuasai kadernya, hingga transfer CSR mengucur dari BUMN — secara struktural memang mengundang pertarungan internal.

Nahdlatul Ulama hanya salah satu contoh paling mencolok karena skala dan histori pengaruhnya. Begitu sumber daya mengalir, yang berselisih bukan lagi soal tafsir kitab suci, melainkan siapa yang berhak memegang buku kas.

Konflik muncul ketika nilai dasar organisasi (keikhlasan, khidmah, amanah) berbenturan dengan: kebutuhan ekonomi, kepentingan politik, tuntutan modernisasi.

Apa yang nampak dari organisasi besar ini sama saja dengan organisasi massa lainnya, tak jauh dari kuasa moral dan kuasa kedudukan dan konsesi.

Di hadapan publik, konflik di organisasi sering dibingkai sebagai “menegakkan moral organisasi”, pelanggaran AD/ART – padahal di bawahnya adalah pertarungan kepentingan. Ini juga terjadi di gereja, sinagoga, lembaga Buddhis, hingga komunitas Hindu di India.

Pola yang sama menghantui hampir semua organisasi keagamaan besar. Di Indonesia memang hanya nampak mencolok di NU.

Di balik serban putih dan doa panjang, organisasi keagamaan bukanlah tempat bebas dosa — melainkan cermin paling jujur dari tabiat kita sebagai bangsa – yang sangat gemar beribadah, dan lebih gemar lagi berebut kuasa.

Sosiolog agama memotret konflik semacam ini bukan sebagai penyimpangan, melainkan sebagai konsekuensi logis sebuah organisasi yang sudah terlalu kaya untuk tetap polos, ikhlas, dan sekadar mengabdi.

Rumusannya sederhana: semakin besar sumber asset yang dimiliki; sekolah, universitas, dana bantuan, proyek proyek pemerintah dan swasta mengalir — semakin besar pula intensitas perebutan internal.

Konflik di rumah-rumah suci selalu mengingatkan satu kebenaran tua: manusia tetaplah manusia. Mereka bisa mengajar keikhlasan sambil bertarung demi jabatan, bisa memimpin doa sambil mengincar proyek, bisa bicara tentang akhirat sambil mem-“push” proposal anggaran.

Konflik bukan karena kurangnya doa, kurangnya rujukan dan laku teladan dan pendahulu – tetapi karena melimpahnya peluang.

Ketika bendahara umum PBNU jadi tersangka KPK, dana haji yang dibawahi menteri agama dan kader NU jadi masalah, di sana uang dan kekuasaan menunjukkan aslinya.

Dari luar tampak seperti pertikaian moral, dari dalam hanya pergeseran aliran sumber daya.

Kiai atau tokoh sesepuh yang menjadi patron membangun kedekatan dengan kekuasaan, dekat dengan orang istana – sekaligus membuka pintu anggaran. Proyekproyek-

Sedangkan para pengurus dan kader menjadi barisan klien yang menunggu giliran menerima “berkah” dalam bentuk jabatan atau akses. Pelaksana proyek.

IRONIS! Jajaran NU kompak saat menjadi oposan dan melawan pemerintah – khususnya di zaman Suharto. Mereka solid dan takzim.

Kini setelah menjadi bagian dari kekuasaan, dekat dengan istana, mendapat banyak konsesi, kebagian pos pos “basah”, mereka ribut sesamanya. Berkelahi antar sesamanya.

Penyelenggaraan muktamar lima tahunan adalah pertarungan paling kasar di antara internal NU.

Peneliti seperti Rodney Stark dan Roger Finke melihat bahwa: Ketika kapital sosial sebuah organisasi meningkat (jumlah anggota, suara politik, akses negara), sebagai konsekuensinya muncul fraksi internal.

Ego bukan satu-satunya faktor. Struktur organisasinya sendiri mendorong kompetisi antarpenguasa sumber daya.

Ketika distribusi berkah dianggap timpang, muncullah gesekan yang kemudian dibungkus dengan kalimat favorit: “menyelamatkan marwah.” Padahal yang ingin diselamatkan sering kali hanya daya tawar.

Entah apa yang dibayangkan oleh Chaerul Tanjung, boss TV7 kini.

Bulan lalu, NU dari atas ke bawah, hingga banser dan ormas lainnya, menggeruduk media yang didirikannya.

Kini awak media dan koleganya, balik “menggerudug” para petinggi NU, yang dikawal bansernya.***

Menang melawan media sosial dan televisi secara bringas dan luar dengan cara yg tidak beradab dan tidak bermartabat sekarang terkena karma dunia, mereka menuai keserakahan dan kemunafikan, walaupun bisa menuai hasil Anti kritik dan kewarasan.

Penulis menyadari kritik Bisakah tidak dibunuh ?

Sang pengintip, kesucian

Hadi PRAJOKO