
By : _oka swastika mahendra_
Dulu, setiap pagi aku memikul tas penuh buku ke sekolah
Aku mengajari murid-murid tentang angka, aksara, dan
tata krama
Aku berdiri tegak di depan kelas, merasa menjadi
sumber ilmu tak habis-habis
Aku bangga menjadi guru
tapi barangkali terlalu bangga sampai lupa siapa
sebenarnya paling perlu belajar
Ketika pensiun datang, aku kira hidup akan sunyi
Nyatanya, hidup baru saja mulai mengajariku sesuatu
yang belum pernah tertulis di buku pelajaran mana pun
Hari pertama setelah pensiun, aku duduk di trotoar pasar
Di sana aku berkenalan dengan pengayuh hidup, tukang
becak dengan kaki yang sudah lama tak kuat mengayuh
_*“Ijazahku cuma sabar,”*_ katanya sambil tersenyum
Aku tertunduk
bertahun-tahun mengajarkan kesabaran tanpa pernah
benar-benar memahaminya
Hari berikutnya, aku bertemu manusia kardus, pemulung yang menghafal jadwal sampah lebih teliti daripada jadwal rapat kementerian
Ketika kutanya apa mimpinya, dia menjawab
_*“Mimpi itu mahal, Pak… jadi biar anak saya saja yang punya.”*_
Aku terdiam lama
Ternyata cinta terbesar tidak berisik
ia hidup dalam orang-orang yang dunia anggap tak punya apa-apa.
Di sebuah rumah singgah, aku berjumpa dengan Surya,anak difabel tanpa kedua tangan
Ia menulis puisi dengan menggunakan kaki
Puisi itu bercerita tentang Tuhan yang dekat
tentang manusia yang hanya perlu dilihat dengan hati
Aku membaca baris-barisnya sambil merasa huruf-huruf itu memukul dadaku:
_”mengapa selama ini aku terlalu sibuk mengajar nilai untuk lupa melihat nilai seseorang?”_
Lalu ada sang pedih perih, perempuan muda yang kehilangan rumah, pekerjaan, dan keluarga
Namun ia masih menyisakan tawa untuk orang lain
_*“Kita tidak harus kuat… kadang cukup saling menemani,”*_ katanya.
Aku ingin memeluk kalimat itu dan mengajarkannya ke seluruh dunia.
Sekarang aku menyadari:
_aku dahulu guru, sekarang berguru._
Aku belajar dari mereka yang dipinggirkan, dicaci disembunyikan dari statistik prestasi bangsa
Dulu aku mengajari murid tentang kebajikan
kini aku justru belajar kebajikan dari mereka yang setiap hari ditabrak ketidakadilan
Negeri ini bangga pada gelar, jabatan, dan sertifikat pelatihan
tapi lupa bahwa universitas pertama manusia adalah luka
dan profesor terbaik adalah penderitaan yang tetap memilih mencintai
Andai dulu aku mengajar seperti sekarang aku belajar,
mungkin aku tak akan sering menilai murid hanya dari rapornya
atau manusia hanya dari tampilan luarnya
Kini setiap langkahku adalah kelas
setiap pertemuan adalah kurikulum
dan setiap jiwa terluka adalah kitab suci kesadaran
Aku berlutut
bukan dalam kekalahan
melainkan dalam syukur karena akhirnya hidup menampar kesombonganku dengan kelembutan
Maka izinkan aku mengucap melalui sastraku:
Dengan sastraku aku memujimu
wahai kaum miskin yang tetap berbagi
kaum tersingkir yang tetap berharap
kaum terlantar yang tetap bermimpi
kaum difabel yang tetap mencipta keindahan
Kalian adalah guru tanpa papan tulis
penceramah tanpa mimbar
cendekia tanpa ijazah.
Jika dunia menolak mengakui kalian,
biarkan aku yang bersaksi:
_*dari tangan-tangan kalian yang dianggap lemah*_
_*justru aku belajar bagaimana menjadi manusia kuat*_
Karena aku dahulu guru
dan sekarang, dengan rendah hati
_*aku berguru*_
Jogjakarta 24 November 2025
