
Oleh ; Hana Nur Faizah dkk
Tulisan ini berbentuk narasi biografi tokoh agama di Indonesia mata kuliah Bahasa Indonesia yang dibimbing langsung oleh : bapak Yahya Aziz dosen FTK UINSA.
Nama-nama kelompok kami :
1. Hana nur faizah (06020925033)
2. Farhatus samira (06020925031)
3. Dwi fayyadah fashlunah (06020925030)
4. Milda aisya furi (06020925043)
5. Nur izza musyarofah (06020925056)
Judul buku: Biografi dan Pemikiran Hamka
HAMKA atau Haji Abdul Malik bin Abdul yang lahir di Maninjau, Sumatera Barat, pada tahun 1908. Ia dikenal sebagai tokoh pembaharu Islam yang memiliki pemikiran luas dan mendalam. Selain dikenal karena karya monumentalnya Tafsir al-Azhar, HAMKA juga aktif dalam berbagai bidang seperti dakwah, politik, sastra, dan pendidikan. Cara berpikir HAMKA sangat rasional tetapi tetap berpijak pada nilai-nilai keislaman. Ia berusaha menyatukan antara keilmuan modern dengan ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Salah satu bidang pemikirannya yang sangat menonjol adalah mengenai pendidikan akhlak. Menurut HAMKA, inti dari pendidikan Islam bukan hanya untuk mencerdaskan akal, tetapi juga untuk membentuk budi pekerti dan moral yang luhur. Ia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan tanpa akhlak akan menimbulkan kerusakan dan kesombongan. Karena itu, pendidikan sejati menurut HAMKA harus menumbuhkan kesadaran moral dalam diri peserta didik agar mereka tidak hanya pandai secara intelektual, tetapi juga memiliki kepribadian yang beriman, jujur, dan bertanggung jawab.
Pemikiran HAMKA muncul sebagai tanggapan atas krisis moral yang terjadi di kalangan peserta didik maupun masyarakat. Banyak peserta didik yang dinilai cerdas tetapi kurang sopan, tidak jujur, bahkan terlibat dalam tindakan kekerasan. Dalam buku yang mengulas pemikiran HAMKA, disebutkan bahwa kondisi ini merupakan cerminan dari krisis akhlak dan karakter bangsa. HAMKA menilai bahwa penyebabnya bukan hanya karena lemahnya pengajaran agama di sekolah, tetapi juga karena pendekatan pendidikan yang lebih menekankan aspek kognitif dibanding pembinaan hati dan perilaku.
Dalam sejarah pendidikan Indonesia, persoalan budi pekerti sebenarnya sudah lama menjadi perhatian. Sejak masa awal kemerdekaan, sudah ada upaya untuk menghidupkan kembali pendidikan moral di sekolah. Namun, seiring waktu, mata pelajaran budi pekerti sering dihapus atau hanya digabungkan ke dalam mata pelajaran lain seperti Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan (PPKn). Akibatnya, nilai-nilai moral yang semestinya diajarkan secara mendalam menjadi terpinggirkan.
Berbagai ahli pendidikan kemudian menilai bahwa hilangnya pelajaran budi pekerti menyebabkan meningkatnya masalah moral di kalangan pelajar. Krisis moral dan karakter di sekolah mencerminkan krisis nilai di masyarakat secara umum. Oleh sebab itu, muncul gagasan agar pendidikan budi pekerti dihidupkan kembali dalam sistem pendidikan nasional. Berbagai lembaga seperti Depdiknas dan Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) berupaya merumuskan konsep pendidikan akhlak yang integratif — bukan hanya menjadi mata pelajaran tunggal, melainkan diintegrasikan dalam semua bidang studi.
HAMKA sejalan dengan pandangan ini. Ia menegaskan bahwa pembinaan akhlak tidak bisa hanya dibebankan kepada sekolah atau guru pendidikan agama saja, tetapi merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiganya harus saling mendukung agar pendidikan akhlak berjalan efektif. Menurut HAMKA, keluarga adalah tempat pertama pembentukan kepribadian anak, sedangkan guru di sekolah bertugas memperkuat nilai-nilai moral melalui teladan dan pengajaran yang menyentuh hati, bukan hanya pikiran.
Selain itu, HAMKA juga mengkritik sistem pendidikan yang terlalu berorientasi pada hafalan dan teori. Ia menilai pendidikan semacam itu membuat anak didik hanya cerdas dalam berpikir, tetapi miskin dalam sikap dan perasaan. Pendidikan seharusnya membentuk kesadaran spiritual yang dalam, yaitu kesadaran bahwa segala ilmu dan tindakan manusia harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Dalam pandangan HAMKA, pendidikan akhlak adalah pembentukan jiwa (al-qalb), yang akan melahirkan keindahan budi (al-akhlaq al-karimah).
HAMKA memandang bahwa untuk membentuk manusia berakhlak mulia, pendidikan harus menyentuh seluruh dimensi manusia — akal, hati, dan perilaku. Ia mengajarkan bahwa akhlak tidak hanya diajarkan lewat nasihat, tetapi melalui contoh nyata. Guru, orang tua, dan tokoh masyarakat harus menjadi teladan (uswah hasanah) bagi generasi muda. Sebab menurutnya, peserta didik sering kesulitan menemukan figur yang bisa dicontoh di sekitarnya.
Pemikiran HAMKA juga menekankan pentingnya membangun lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya akhlak. Sekolah, rumah, dan masyarakat harus sama-sama menanamkan nilai-nilai kejujuran, disiplin, kerja keras, dan tanggung jawab. Bila lingkungan sosial tidak mendukung, maka pembelajaran akhlak di sekolah akan kehilangan maknanya.
Dalam konteks pendidikan modern, pemikiran HAMKA sangat relevan untuk mengatasi krisis karakter bangsa. Saat ini, kemajuan teknologi dan arus informasi membuat generasi muda mudah terpengaruh oleh nilai-nilai yang tidak sesuai dengan budaya dan agama. Pendidikan akhlak ala HAMKA menawarkan solusi dengan menekankan keseimbangan antara ilmu pengetahuan, iman, dan moralitas. Pendidikan harus kembali berorientasi pada pembentukan manusia seutuhnya — bukan hanya yang cerdas secara akademik, tetapi juga berjiwa bersih dan berperilaku luhur.
Kesimpulannya, HAMKA mengajarkan bahwa pendidikan akhlak adalah fondasi utama bagi peradaban bangsa. Sekolah, keluarga, dan masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama dalam membentuk generasi yang beriman, berakhlak, dan berbudaya. Melalui teladan dan bimbingan yang baik, nilai-nilai moral dapat hidup kembali di tengah masyarakat. Dengan demikian, pemikiran HAMKA tidak hanya relevan bagi pendidikan Islam, tetapi juga menjadi inspirasi besar bagi pendidikan nasional dalam menanamkan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Karya-Karya HAMKA:
1. Karya dalam bidang sastra, seperti: Terusir, kenangan hidup, di lembah kehidupan, dan angkatan baru.
2. Karya dalam bidang agama dan filsafat, seperti: Tafsir Al-Azhar.
3. Karya sejarah dan biografi, seperti: Empat serangkai.
4. Karya dakwah dan sosial, seperti: Lembaga hidup
HAMKA wafat pada tanggal 24 juli 1981, beliau wafat di kota jakarta, dan dimakam kan di taman makam pahlawan kalibata, jakarta selatan.
