
Oleh : Rahma Aulia dkk
Tulisan ini merupakan tugas narasi BIOGRAFI TOKOH AGAMA di Indonesia mata kuliah Public Speaking Kelas B yang dibimbing langsung oleh : Bapak Yahya Aziz, S.Ag, M.pd.I selaku dosen PAI Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Nama-nama Kelompok 1 sebagai berikut:
1. Rahma Aulia (06020123069)
2. Rindu Bunga (06020123072)
3. Viki Farah (06010123023)
4. Zahra Arroyyan (06010123024)
5. Abdullah Fathoni Sujada (06020123025)
6. Alyssa Siqha (06020123032)
7. M. Afrizatifurrohman (06020123054)
8. M. Zumar Fahmi (06020123060)
9. Naufal Dzakwan (06020123061)
KH Hamdani lahir di Pasuruan pada tahun 1720 M dan berasal dari keluarga sederhana yang memiliki silsilah keulamaan dari Mbah Sholeh Semendi Pasuruan. Pada sekitar tahun 1787 M, beliau berpindah ke Desa Siwalanpanji, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo. Saat itu wilayah tersebut masih berupa rawa-rawa yang belum terjamah. Di sana beliau mendirikan Pondok Pesantren Al‑Hamdaniyah (nama diambil dari nama beliau) sebagai pusat pembelajaran Islam yang hingga kini dikenal sebagai salah satu pesantren tertua di Jawa Timur.
KH Hamdani terkenal sebagai pribadi yang zuhud (tidak mementingkan urusan dunia), ‘abid (ahli ibadah), dan waro’ (berhati-hati dalam segala hal). Beliau meninggalkan warisan besar di dunia pendidikan pesantren, dan santrinya kelak melahirkan ulama-ulama besar di Indonesia.
Pemikiran dan Warisan Dakwah dari beliau. Pertama, Pendidikan berbasis pesantren sebagai pusat transformasi sosial dan spiritual. KH Hamdani meyakini bahwa pengajaran agama yang komprehensif harus diselenggarakan dalam lingkungan pesantren yang memadukan pembinaan akidah, fikih, akhlak dan kulturnya. Melalui Pondok Pesantren Al-Hamdaniyah ia memperlihatkan bahwa sebuah lembaga tak harus megah untuk bisa melahirkan generasi ulama yang berpengaruh. Kedua, Kampus dakwah di daerah terpencil sebagai wujud pengabdian. Dengan memilih Siwalanpanji yang saat itu rawan dan belum terbuka secara sosial, KH Hamdani menegaskan pemikiran bahwa dakwah sejati harus bergerak ke tempat-tempat yang belum tersentuh. Ia bermunajat agar wilayah itu “ditinggikan” oleh Allah melalui ilmu dan ibadah menunjukkan visi bahwa pendidikan agama harus membumi di tengah masyarakat. Ketiga, Sanad keilmuan, akhlak guru dan kesederhanaan sebagai pondasi pesantren. KH Hamdani menekankan bahwa sanad (mata rantai guru-murid) dan karakter guru adalah kunci kualitas pendidikan pesantren. Warisan pesantrennya memperlihatkan bahwa bukan kemewahan fisik yang utama, melainkan kualitas pengajaran, keteladanan guru, dan lingkungan yang menumbuhkan kecintaan pada ilmu. Keempat, Akhlak zuhud dan taqwa sebagai teladan murid. Gaya hidup beliau yang sederhana dengan memilih tinggal di pondok kecil, fokus pada ibadah dan pembinaan santri menjadi teladan bagi generasi selanjutnya. Pemikirannya mendorong bahwa keilmuan tanpa akhlak tidak cukup untuk mencetak ulama yang berdampak.
KH Hamdani adalah figur ulama yang melampaui zamannya dengan mendirikan institusi pendidikan yang tak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membentuk karakter. Pemikirannya tentang pesantren, dakwah lokal, sanad keilmuan, dan akhlak guru telah membuahkan buah yang luar biasa: ribuan santri, ulama besar, dan sebuah pesantren yang tetap eksis hingga kini. Warisan beliau menjadi pengingat bahwa kualitas pendidikan Islam lahir dari keteguhan hati, kesederhanaan, dan komitmen terhadap umat.
