
Oleh: Sukma Sahadewa (Pemerhati Kesehatan, Hukum & Sosial Politik).
Ketahanan pangan dan gizi kini menjadi salah satu isu paling penting yang menentukan masa depan bangsa. Di tengah dunia yang terus berubah, mulai dari krisis iklim, konflik global, hingga ketimpangan ekonomi, kemampuan sebuah negara untuk menjamin rakyatnya makan dengan layak dan bergizi adalah ukuran sejauh mana negara itu benar-benar berdaulat. Indonesia, sebagai negara agraris yang kaya sumber daya alam, semestinya mampu memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya sendiri. Namun faktanya, jutaan keluarga masih berjuang memenuhi kebutuhan gizi seimbang setiap hari, sementara harga pangan sering berfluktuasi, distribusi tidak merata, dan daya beli masyarakat masih terbatas.
Ketahanan pangan bukan sekadar soal beras tersedia atau tidak, tetapi juga tentang apakah masyarakat mampu mengakses dan memanfaatkannya secara berkelanjutan. Food and Agriculture Organization (FAO) menjelaskan bahwa ketahanan pangan memiliki empat pilar utama: ketersediaan, akses, pemanfaatan, dan stabilitas. Artinya, pangan harus cukup tersedia, dapat dijangkau, dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan gizi, dan tetap terjamin sepanjang waktu. Sayangnya, dalam kondisi krisis seperti bencana alam, pandemi, atau inflasi, pilar-pilar ini mudah rapuh. Di satu sisi, Indonesia menghadapi ancaman gizi kurang seperti stunting dan anemia, tetapi di sisi lain juga menghadapi masalah gizi lebih seperti obesitas dan diabetes. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa persoalan gizi bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga masalah kesadaran dan pola konsumsi.
Dalam konteks itu, gagasan program makan bergizi gratis bagi anak sekolah menjadi angin segar yang membawa harapan baru. Program ini bukan sekadar bentuk bantuan sosial, tetapi merupakan investasi jangka panjang pada masa depan bangsa. Anak-anak dengan asupan gizi yang cukup memiliki daya pikir lebih tajam, sistem imun lebih kuat, dan kemampuan belajar lebih baik. Penelitian global menunjukkan bahwa setiap satu dolar yang diinvestasikan dalam gizi anak dapat memberikan manfaat ekonomi hingga sepuluh kali lipat di masa depan melalui peningkatan produktivitas dan penurunan beban penyakit. Maka, menyediakan makanan bergizi gratis bukanlah beban APBN, melainkan langkah strategis membangun generasi emas yang sehat dan cerdas.
Namun, pelaksanaan program makan bergizi gratis ini tidak boleh berhenti di seremoni dan angka-angka. Kualitas gizi makanan yang diberikan harus benar-benar diperhatikan. Menu yang disajikan tidak boleh sekadar mengenyangkan, tetapi harus memenuhi kebutuhan karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral sesuai dengan pedoman gizi seimbang. Sumber bahan pangan sebaiknya berasal dari petani dan nelayan lokal agar selain meningkatkan kualitas gizi, juga menggerakkan ekonomi daerah dan mengurangi ketergantungan impor. Edukasi gizi di sekolah perlu berjalan berdampingan agar anak-anak tidak hanya makan sehat karena disediakan, tetapi juga karena mereka memahami pentingnya pola makan yang baik.
Ketahanan pangan sesungguhnya merupakan bagian dari ketahanan nasional. Bangsa yang gagal memenuhi kebutuhan gizinya akan menghadapi generasi yang lemah secara fisik maupun mental. Krisis pangan dan gizi bisa memicu masalah sosial, penurunan produktivitas, hingga memperbesar beban kesehatan publik. Di era bencana yang semakin sering terjadi, rumah tangga dengan gizi buruk adalah kelompok paling rentan. Gizi yang baik menjadi benteng alami bagi daya tahan tubuh dan ketahanan sosial masyarakat. Maka, memperkuat ketahanan pangan bukan hanya tanggung jawab kementerian pertanian atau kesehatan, melainkan tanggung jawab bersama lintas sektor.
Masa depan ketahanan pangan bergizi di Indonesia membutuhkan kolaborasi dan inovasi. Pemerintah perlu melibatkan akademisi, dunia usaha, dan masyarakat sipil untuk mewujudkan sistem pangan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Pendekatan “One Health, One Nutrition, One Planet” harus menjadi paradigma baru, di mana kesehatan manusia, lingkungan, dan sistem pangan saling terhubung. Pertanian harus ramah lingkungan, rantai pasok harus efisien, dan masyarakat perlu didorong untuk beralih dari pola konsumsi instan menuju pola konsumsi sadar gizi. Teknologi digital dapat menjadi alat penting, misalnya untuk memantau distribusi pangan bergizi di sekolah, mengidentifikasi daerah rawan pangan, atau menghubungkan petani lokal dengan penyedia bahan program makan bergizi.
Kemandirian pangan dan gizi tidak bisa dibangun dalam semalam, tetapi langkah kecil seperti program makan bergizi gratis adalah awal yang tepat. Ini adalah momentum untuk membangun sistem pangan yang tidak hanya menyejahterakan, tetapi juga mencerdaskan. Indonesia memiliki semua modalnya: tanah yang subur, laut yang kaya, dan kearifan lokal dalam pola makan tradisional yang sebenarnya sangat sehat. Tantangan kita bukan pada ketersediaan sumber daya, melainkan pada kemauan politik dan konsistensi kebijakan untuk menata sistem pangan secara adil dan berkelanjutan.
Masa depan bangsa terletak pada isi piring anak-anak kita hari ini. Jika mereka makan dengan bergizi, berpikir jernih, dan tumbuh dengan sehat, maka di sanalah letak kedaulatan sejati Indonesia. Program makan bergizi gratis bukan sekadar memberi makan, melainkan membangun peradaban yang lebih manusiawi, bangsa yang tidak membiarkan satu pun anaknya belajar dalam keadaan lapar.
