
By : Prof. Agus M. Hatta, PhD Wakil Rektor ITS.
Pada acara the 14th UTM University Presidents Forum 2025, 07-08 Oktober di Johor Bahru. Mewakili Pak Rektor ITS. Para rektor dan pimpinan universitas dari berbagai negara berkumpul. Memikirkan kerisauan yang sama: Artificial Intelligence. Akal Imitasi. AI.
Acara ini tajuknya menarik: Navigating the Intelligent Age for Global University Excellence. Menahkodai Zaman Cerdas.
Ada dua pertanyaan besar yang dilempar ke forum. Kira-kira begini.
Pertama, bagaimana kampus bisa mendayagunakan AI ini untuk lari kencang di kancah global? Sekaligus, bagaimana caranya agar saat berlari kencang itu tidak jatuh. Kehilangan harga diri. Integritas akademik dan nilai-nilai kemanusiaan.
Kedua, bagaimana universitas di seluruh dunia ini bisa “gotong royong” berkolaborasi? Agar inovasi yang lahir tidak hanya dinikmati raksasa teknologi. Tapi bisa diakses semua orang. Demi masa depan pendidikan tinggi yang berkelanjutan.
Diskusi pun mengalir. Menarik.
Intinya: masalah utamanya bukan pada AI-nya. Tapi pada manusianya. Ungkap salah satu peserta. Pada cara kita berpikir. Thinking skill! Ya, sebelum kita mengajari mesin untuk “berpikir”, jangan-jangan cara berpikir kita sendiri yang harus di-upgrade.
Benar juga.
Maka, lahirlah kata kunci berikutnya: literasi AI. Melek AI. Ini bukan soal bisa menggunakan ChatGPT untuk mengerjakan tugas. Jauh lebih dalam. Ini soal paham cara kerjanya, paham potensinya, dan yang terpenting, paham bahayanya. Jawab peserta yang lain.
Di sinilah etika masuk. AI yang beretika. Mesin boleh cerdas, tapi manusialah yang harus menjaga moral. Jangan sampai AI dipakai untuk memecah belah. Apalagi untuk perang. Maka muncullah gagasan mulia: AI for Peace. AI untuk perdamaian. Ide salah satu peserta.
Diskusi tak hanya di awang-awang. AI untuk diagnosa penyakit di desa terpencil. AI untuk pertanian presisi di lahan sempit. AI untuk membantu UMKM (small medium enterprise) naik kelas. Di sinilah kampus harus jadi jembatan. Jadi partner. Beberapa peserta mengungkapkan ideasi ini.
Di tengah era AI ini, kita jangan lupa hakikat ilmu. Apa bedanya “pengetahuan” (knowledge) dengan “kebijaksanaan” (wisdom) di era AI? Pendapat peserta di penghujung waktu diskusi.
Mesin bisa menguasai pengetahuan tak terbatas. Ia bisa hafal jutaan buku dalam hitungan detik. Tapi mesin tidak punya kebijaksanaan. Ia tidak punya nurani. Ia tidak punya rasa.
Di situ peran kita. Peran universitas. Peran para pendidik.
Tugas kita bukan lagi mencetak mahasiswa yang otaknya seperti Google. Untuk apa? Google sudah jauh lebih hebat.
Tugas kita adalah melahirkan manusia-manusia yang punya thinking skill tingkat tinggi. Manusia yang melek AI. Manusia yang beretika. Manusia yang mampu mengubah data dan informasi menjadi sebuah kebijaksanaan.
Obrolan di Johor Bahru ini sangat relevan. Ini soal bagaimana kita menyiapkan anak-anak muda kita. Agar tidak menjadi “budak” mesin cerdas. Tapi menjadi tuannya.
AI adalah alat. Seperti pisau. Bisa untuk memotong buah. Bisa juga untuk melukai.
Kuncinya bukan pada pisaunya. Tapi di tangan siapa pisau itu berada.
Dan tugas universitas adalah memastikan tangan-tangan tersebut. Yaitu tangan yang terampil, beretika, dan bijaksana.
AMH
