
Kota Cirebon – menaramadinah.com
Lagi-lagi persoalan fasilitas publik di Cirebon menjadi perbincangan hangat. Kali ini bukan semata soal fungsi, melainkan soal makna. Gerbang kota yang baru saja rampung dibangun oleh Pemerintah Kota Cirebon justru memantik kegelisahan kultural. Alih-alih menjadi simbol penyambutan yang merepresentasikan jati diri Cirebon secara utuh, gerbang tersebut dinilai mendominasi simbol dari budaya tertentu, sementara simbol utama Cirebon yang berakar pada Keraton dan pepakem justru terpinggirkan.
Bagi masyarakat Cirebon yang taat pada tatanan adat dan nilai tradisi, persoalan ini bukan hal sepele. Cirebon bukan kota tanpa sejarah. Ia lahir, tumbuh, dan beradab melalui sistem nilai yang panjang: perpaduan Islam, pesisir, keraton, dan etika sosial yang terikat kuat oleh pepakem. Maka ketika ruang publik strategis seperti gerbang kota dibangun tanpa kepekaan simbolik, kegaduhan kultural menjadi keniscayaan.
Dalam pandangan masyarakat adat, simbol bukan sekadar ornamen. Simbol adalah bahasa nilai. Ia menyampaikan siapa yang dihormati, sejarah apa yang diakui, dan peradaban mana yang dijadikan fondasi. Ketika simbol tertentu ditampilkan secara dominan, sementara simbol keraton—sebagai poros sejarah dan peradaban Cirebon justru terlindas atau tereduksi, maka yang terjadi bukan sekadar kesalahan estetika, melainkan ketimpangan budaya.
Ironisnya, simbol keraton yang selama ratusan tahun menjadi rujukan tata nilai, etika, dan arah kebudayaan Cirebon, kini seolah kehilangan ruang di tanahnya sendiri. Padahal, Keraton Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan bukan sekadar bangunan tua, melainkan pusat kosmologi budaya. Di sanalah pepakem dirumuskan, adab sosial dibangun, dan harmoni antarunsur masyarakat dirawat.
Orang tua Cirebon sejak lama mengingatkan:
“Wong urip kudu ngerti empan papan.”
Hidup harus tahu tempat dan batasnya.
Petatah ini relevan dalam konteks pembangunan kota. Pemerintah, sebagai pemegang otoritas ruang, seharusnya paling paham empan papan dalam menempatkan simbol budaya. Ruang publik bukan kanvas kosong yang bebas diisi selera sesaat, melainkan ruang bersama yang sarat makna historis dan sosial. Ketika empan papan diabaikan, yang muncul adalah kegelisahan kolektif.
Masalah ini tidak berdiri sendiri. Ketimpangan simbol budaya kerap terjadi berulang kali di Cirebon. Pembangunan infrastruktur sering kali berjalan lebih cepat dibandingkan dialog kebudayaan. Akibatnya, aspek fisik tampak maju, namun ruh budaya tertinggal. Kota menjadi indah di permukaan, tetapi rapuh di kedalaman nilai.
Petatah Cirebon lainnya berbunyi:
“Aja dumeh, aja kagetan, aja gumunan.”
Jangan merasa paling berkuasa, jangan mudah terkejut, dan jangan mudah terpesona.
Pesan ini seolah ditujukan langsung kepada para pengambil kebijakan. Dalam geliat pembangunan, pemerintah kerap terpesona oleh simbol-simbol visual yang dianggap unik atau berbeda, tanpa menguji apakah simbol tersebut selaras dengan identitas utama kota. Kekaguman sesaat akhirnya mengalahkan kebijaksanaan kultural.
Perlu ditegaskan, kritik ini bukan penolakan terhadap keberagaman. Cirebon sejak awal adalah kota multikultur. Namun multikulturalisme Cirebon tumbuh dalam harmoni, bukan dalam dominasi. Ada tatanan, ada hierarki nilai, ada pepakem yang menjaga keseimbangan. Ketika simbol minoritas tampil menindih simbol mayoritas budaya lokal, harmoni itu terganggu.
Di sinilah pentingnya kesadaran bahwa pembangunan budaya tidak bisa dilepaskan dari sejarah.
“Sing lawas aja dibuwang, sing anyar aja dikecakake.”
Yang lama jangan dibuang, yang baru jangan ditolak.
Pepatah ini menegaskan bahwa modernisasi dan pembaruan sah dilakukan, tetapi bukan dengan cara menghapus atau mengaburkan simbol utama. Gerbang kota seharusnya menjadi ruang dialog antara masa lalu dan masa kini, bukan arena saling meniadakan.
Bisa jadi, seperti yang banyak dibisikkan masyarakat, ini hanyalah khilaf. Atau mungkin lupa. Lupa bahwa Cirebon memiliki pepakem. Lupa bahwa keraton bukan sekadar ikon wisata, tetapi sumber legitimasi budaya. Lupa bahwa masyarakat Cirebon masih memegang kuat nilai adab, tata krama, dan simbolisme.
Namun, dalam urusan budaya, lupa bukan perkara ringan. Karena dari lupa, lahir kebijakan yang abai. Dari abai, tumbuh ketimpangan. Dan dari ketimpangan, muncul kemarahan yang terpendam.
Petatah lain mengingatkan:
“Pamrih kuwi gawene cilaka.”
Pamrih atau kepentingan sempit membawa petaka.
Jika pembangunan simbolik didorong oleh kepentingan citra, proyek, atau selera kelompok tertentu, maka yang dikorbankan adalah rasa keadilan budaya. Pemerintah seharusnya berdiri di atas semua kepentingan, menjadi pengemong kebudayaan, bukan sekadar pelaksana proyek fisik.
Gerbang kota bukan hanya penanda masuk wilayah administratif. Ia adalah pernyataan ideologis: tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan nilai apa yang kita junjung. Ketika gerbang itu gagal merepresentasikan ruh Cirebon, maka yang runtuh bukan tembok, melainkan kepercayaan.
Masyarakat Cirebon sejatinya tidak menolak pembangunan. Yang ditolak adalah pembangunan yang lupa diri.
“Urip kuwi kudu migunani tumrap liyan.”
Hidup termasuk membangun harus memberi manfaat bagi orang lain.
Manfaat terbesar pembangunan budaya adalah rasa memiliki. Jika masyarakat merasa terasing di kotanya sendiri, maka pembangunan itu patut dipertanyakan ulang.
Akhirnya, polemik gerbang kota ini semestinya menjadi cermin. Bukan untuk saling menyalahkan, tetapi untuk mengoreksi arah. Pemerintah Kota Cirebon perlu membuka ruang dialog budaya yang lebih dalam, melibatkan keraton, budayawan, seniman, dan masyarakat adat sebelum merumuskan simbol-simbol publik.
Karena peradaban tidak runtuh oleh kemiskinan, melainkan oleh lupa pada jati diri. Dan Cirebon, dengan segala sejarah dan pepakemnya, terlalu berharga untuk dilupakan.
Wawan Hernawan – Pemerhati dan Penggiat Seni Budaya Cirebon (hsn)
