
By : Jacob Ereste
Peringatan hari Ibu di Indonesia bermuka dari acara Kongres Perempuan Indonesia pertama pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Ketika itu, Kongres Perempuan Indonesia ini bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, ingin meningkatkan kesadaran betapa pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan, karena kebebasan untuk memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan ketika itu di Indonesia hanya diprooritaskan kepada kaum laki-laki dan masih untuk keluarga dari kalangan tertentu saja. Jadi bisa segera dibayangkan kebebasan bagi kaum perempuan Indonesia sekarang, dapat menempuh jenjang pendidikan yang setara dan berkesempatan sama seperti kaum laki-laki. Masakahnya sekarang adalah, sungguhkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan itue sekarang telah dinanfaatkan oleh kaum perempuan Indonesia secara maksimal, sehingga tingkat kecerdasan tak lagi perlu disangsikan tidak mampu melampaui kecerdasan jaum-laki.
Kecuali itu, acara Kongres Kaum Ibu Indonedia pada 1928 dahulu itu juga dimaksudkan untuk mempersatukan kaum Perempuan Indonesia yang tampaknya ketika itu tampil sebdiri-sendiri — tidak terorganisir dengan baik — padahal dari kebersamaan dan kekompakan yang mampu dihimpun dan disatukan — dapat menjadi kekuatan yang maha dakhsyat untuk menghasilhan sesuatu yang lebih bernanfaat bagi orang bantak. Artinya, ketika itu pun telah muncul suatu kesadaran bahwa sikap individual — sebagai ciri dari masyarakat kapitalumisme — sudah muncul dari kesadaran kebijakan khas suju bangsa Nusantara — yaitu sikap gotong royong dan kekeluargaan.
Pada 31 tahun kemudian — 1959 — Presiden Soekarno menetapkan Hari Ibu setiap tanggal 22 Desember untuk diperingati sebagai hari nasional bagi bangsa Indinesia, untuk lebih memantapkan kesadaran betapa pentingnya peran kaum perempuan dalam masyarakat. Meski untuk memperingati hari itu tidak disebut sebagai hari perempuan, tapi jelas kandungan makna kemuliaannya untuk disebut sebagai gari Ibu bagi seluruh warga bangsa Indonesia yang mampu membedakan pemaknaan dari sebutan bagi seorang, ibu jelas berbeda dengan sebutan untuk sosok perempuan, wanita di Indonesia.
Setidaknya, pemaknaan hari ibu bagi warga bangsa Indonesia memiliki nilai kemuliaan yang tidak dimiliki oleh kaum perempuan atau kaum wanita yang tidak menunjuk fungsi kemuliaannya seoerri yang dimiliki oleh sosok seorang ibu. Setidaknya, karena tidak semua kaum perempuan atau kaum wanita bisa berperan menjadi seorang ibu. Dan kemuliaan bagi seorang ibu — yang nemiliki kemampuan dan keahlian untuk mengasuh — seperti disebut untuk istilah Ibu Kota Negara dan seterusnya yang menunjuk adanya fungsi dan peran dari jemampuannya untuk mengasuh. Membesarkan serta menumbuhkembangkan dari satu bentuk yang kecil untuk kemudian menjadi besar, seperti Ibu Kita Metroplitan. Jadi fungsi dari sebutan untuk sosok seorang ibu yang sangat mulia itu, sesungguhnya karena memiliki kemampuan untuk mengembanghan, mengasuh dan membesarkan tergadap apa yang mampu dihasilkannya dalam bentuk produk apapun.
Pengertian terhadap induk semang pun begitu — seperti sebutan untuk pasar induk yang dapat dipahami memiliki muatan nilai tak cuma sekedar seperti pasar buah-buahan, tetapi lengkap dan komprehensif hingga tak cuma menjual ihan segar senara, tapi juga berikut bumbu-bumbunya yang beragam dan komplit. Makna ibu kota negara pun begitu, karena tak hanya memiliki penduduk yang terbatas, namun beragam dari berbagai latar belakang suku bangsa serta ilmu pengerahuan dan budaya hingga agama yang beragam. Seperti corak dan ragam sifat dan tabi’at dari sejumkah anak yang lahir dari rahim seorang ibu.
Agaknya, itu sebabnya peringatan hari ibu di Indonesia perlu dimakna lebih berbobot dan bernilai, tak hanya semangat untuk meningkatkan kesadaran meraih jenjang pendidikan setinggi mungkin, membangun kedadaran persatuan dan kesatuan melalui organisasi yang baik dan solud hingga berhasil guna untuk memberi banyak manfaat bagi orang banyak. Sebab makna dari seorang ibu adalah pengasuh bumi, kata seorang penyair yang sangat menghormati dan menyayangi sang Ibu. Sebab tak semua perempuan mampu menjadi dan berfungsi sebagai seorang ibu. Begitu juga untuk seorang wanita. Begitulah mulianya ibu kita tercinta.
Dalam pasemon klasik bangsa Nusantara itulah sebabnya disebutkan, bahwa kemuliaan seorang ibu todak pasti mampu dicaiai okeh semua perempuan atau wanita setangguh apapun. Sebab sikap dan sifat keibuan bukan hanya sebatas kata kerja semata, tapi juga kata cinta yang tak pasti dimiliki oleh semua wanita atau perempuan mabapun.
- Banten, 22 Desember 2025
