
Oleh Aceng Syamsul Hadie
Atas penolakan Bantuan Internasional terhadap Bencana Sumatera, Aceng Syamsul Hadie menulis Surat Terbuka untuk Presiden Republik Indonesia, yaitu:
SURAT TERBUKA UNTUK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Tentang Penolakan Bantuan Internasional di Tengah Bencana
Yang Terhormat
Presiden Republik Indonesia
Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto
di Jakarta
Bapak Presiden,
Surat terbuka ini ditulis bukan untuk mempertanyakan nasionalisme Bapak, melainkan untuk mempertanyakan keberpihakan negara terhadap rakyatnya di tengah bencana besar yang melanda Sumatera. Ketika ratusan nyawa melayang, jutaan warga mengungsi, dan pemerintah daerah menyatakan kewalahan, keputusan pemerintah pusat menolak bantuan internasional telah berubah dari kebijakan administratif menjadi keputusan politik yang berdampak langsung pada keselamatan manusia.
Bapak Presiden menyatakan bahwa Indonesia mampu menangani bencana ini sendiri. Namun pernyataan tersebut berhadapan langsung dengan fakta lapangan: tenda pengungsian yang tidak mencukupi, logistik yang tidak merata, tenaga medis yang terbatas, dan infrastruktur yang rusak parah. Pemerintah daerah, relawan, dan masyarakat sipil menyaksikan dan merasakan keterbatasan itu setiap hari. Di titik ini, klaim kemampuan nasional tanpa pembuktian transparan adalah narasi kekuasaan, bukan realitas kebijakan.
Bapak Presiden yang kami hormati,
Konstitusi tidak memberi ruang bagi negara untuk mengedepankan gengsi politik di atas hak hidup rakyat. Pasal 28A UUD 1945 menjamin hak hidup setiap warga negara, dan Pasal 34 menegaskan tanggung jawab negara terhadap rakyat yang tertimpa musibah. Menolak bantuan kemanusiaan ketika kapasitas nasional tidak mencukupi berpotensi menjadi pengabaian kewajiban konstitusional negara.
Nasionalisme tidak pernah berarti menutup diri dari pertolongan kemanusiaan. Negara-negara berdaulat dan kuat di dunia menerima bantuan internasional ketika bencana melampaui kapasitas mereka. Mereka tidak kehilangan kedaulatan. Yang kehilangan martabat justru negara yang membiarkan rakyatnya menderita demi mempertahankan citra kekuasaan.
Keputusan menolak bantuan internasional juga menimbulkan pertanyaan publik yang sah dan tidak bisa dihindari: apa yang sebenarnya sedang dilindungi oleh negara? Apakah keselamatan rakyat, atau narasi pembangunan yang selama ini mengabaikan kerusakan ekologis akibat deforestasi, pertambangan, dan ekspansi perkebunan skala besar di Sumatera? Ketika bencana yang bersifat struktural ini terjadi, negara justru defensif dan tertutup, alih-alih terbuka dan korektif.
Jika pemerintah pusat tetap bersikukuh menolak bantuan internasional, maka Bapak Presiden berkewajiban membuka data secara jujur kepada publik:
berapa stok logistik nasional yang tersedia,
berapa alat berat yang siap di lokasi terdampak,
berapa tenaga medis yang dikerahkan,
dan berapa anggaran darurat yang telah benar-benar sampai ke korban.
Tanpa transparansi, keputusan menolak bantuan akan terus dipandang sebagai upaya menutupi kegagalan manajemen krisis, bukan sebagai kebijakan berbasis kemampuan riil negara.
Bapak Presiden,
Rakyat tidak menuntut negara terlihat kuat di hadapan dunia. Rakyat menuntut negara hadir ketika mereka kehilangan rumah, keluarga, dan masa depan. Dalam kondisi darurat, membuka pintu bantuan internasional secara terbatas, terkontrol, dan berdaulat bukanlah kelemahan, melainkan kedewasaan dalam memimpin negara besar.
Sejarah tidak akan menilai seberapa keras negara menolak bantuan. Sejarah akan menilai seberapa cepat negara menyelamatkan nyawa rakyatnya. Dan sejarah selalu lebih jujur daripada pidato kekuasaan.
Atas nama kemanusiaan, konstitusi, dan akal sehat publik, kami mendesak Bapak Presiden untuk mengoreksi keputusan ini, membuka ruang bantuan kemanusiaan internasional secara terbatas, dan menempatkan keselamatan rakyat di atas segala kepentingan politik.
Hormat kami,
Aceng Syamsul Hadie
Warga Negara Indonesia
