
By Reza.
Gus Yahya yang saya hormati, Saya menulis ini karena saya teman anda, dan kita sudah bicara panjang jauh sebelum anda menjadi ketua umum tanfidziyah PBNU–sama panjang dengan saya bicara dengan Gus Ipul, sahabat karib saya juga. Saya tidak bersedih atas apa yang terjadi di PBNU, atas surat pemecatan yang ditandatangani sendirian oleh Rais ‘Aam, atas terjadinya pengkubuan setelah itu—meskipun saya tidak berharap seperti itu.
Apa lagi yang perlu disedihkan? Sudah terlalu banyak hal menyedihkan di negara ini—terutama politik. Dan NU adalah bagian dari perpolitikan negara ini, ada banyak orang dengan akal-akalan politik di dalamnya, seperti yang bertahun-tahun lalu anda sampaikan ke saya. Jika di PBNU pelan-pelan terjadi gesekan, satu orang dan lainnya bertabrakan, itu lumrah saja. Tidak ada yang aneh di bawah langit negeri kepulauan ini.
Saya mendengar semua kritik yang diarahkan kepada Anda. Ada yang kecewa karena anda jarang bicara soal nasib orang banyak, ada banyak suara protes karena NU menerima konsesi tambang, ada yang menuduh anda pendukung zionisme setelah undangan kepada Peter Berkowitz. Dan ada Yaqut juga yang, anda sendiri tahu, menjadi sasaran kemarahan orang banyak di media sosial.
Lalu muncul pula tudingan penyalahgunaan keuangan.
Saya tidak menilai benar-salahnya, itu bukan tempat saya. Tapi saya tahu cara berbagai isu dimunculkan dan digulirkan terus-menerus untuk memancing munculnya segala macam isu lainnya. Riak sekecil apa pun akan diaduk-aduk agar menjadi gelombang besar. Dalam situasi kisruh, apa saja bisa disampaikan, dan seseorang di tengah amuk badai akan tampak serba bersalah. Mereka tidak merasa perlu mendengar penjelasan, sebab tiap kepala mempercayai versi kebenarannya sendiri-sendiri. Menjawab mereka atau tidak, anda akan sama salahnya.
Soal undangan Berkowitz, misalnya, saya tahu anda ingin peserta forum belajar dari berbagai cara pandang, dari tradisi politik yang berbeda, tanpa niat memberi tempat bagi agenda apa pun. Anda ingin mereka tidak tumbuh dalam ruang yang hanya berisi pandangan yang sama. Namun gagasan seperti itu mudah dibenamkan; dalam situasi emosional orang lebih cepat menangkap simbol daripada mendengarkan maksudnya.
“Tidak ada satu pun pikiran waras yang akan mendukung Israel menghancurkan Palestina,” kata anda ketika saya menanyakan soal itu. “Jika tidak dilandasi niat menyerang, sebenarnya orang bisa melihatnya sebagai kesempatan untuk menanyakan segala sesuatu langsung kepada Berkowitz, mumpung orangnya datang.”
Soal konsesi tambang, itu pilihan pragmatis. Ada kebutuhan untuk memperkuat kemandirian organisasi, ada keinginan untuk menjalankan program sosial melalui sumber daya baru, ada dorongan besar untuk membuat NU cukup punya uang agar orang-orang (dengan sedikit privilese) tidak lagi menjadikan NU barang dagangan politik. Yang luput dari perhitungan adalah anda tidak mungkin membaca pikiran orang atau pihak yang memberikan konsesi itu.
Membuat perjanjian dengan politisi, di negara korup, seringkali sama dengan membuat perjanjian dengan setan. Begitupun ketika menerima kebaikannya.
Sekarang Rapat Pleno Syuriah menunjuk Penjabat Ketua Umum Tanfidziyah. Anda berpandangan bahwa mandat ketua umum lahir dari muktamar, dan perubahan apa pun seharusnya kembali ke forum muktamar. Orang-orang mengunggah poster Gus Dur di medsos, dengan kutipan: “Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian.”
Langkah dan keputusan-keputusan anda mungkin lahir dari pertimbangan yang mengecewakan sebagian atau bahkan banyak orang, tetapi saya yakin ia lahir dengan niat baik untuk NU. Anda sering menyampaikan gagasan yang simpel ini: jika warga NU sejahtera, Indonesia pasti sejahtera, sebab jumlah warga NU setengah jumlah warga Indonesia. Anda sangat mencintai pesantren, saya tahu itu. Anda gelisah memikirkan dunia para santri itu di tengah gelombang perubahan yang kian cepat.
Anda membuktikan kecintaan itu dengan mengirimkan putra-putri anda ke pesantren, sebuah pilihan yang tampak tidak masuk akal bagi kebanyakan teman kuliah anda, bahkan mungkin juga bagi teman-teman anda sesama santri, sebab anda mampu menyekolahkan mereka di sekolah-sekolah mahal yang menjanjikan mutu pendidikan kelas satu.
Dan saya selalu ingat bahwa anda orang yang berani berdiri di depan mikrofon membacakan maklumat Presiden Abdurrahman Wahid ketika orang lain takut melakukannya. Isi maklumat itu membuat orang gentar: Pembekuan MPR dan DPR, rencana mengembalikan kedaulatan kepada rakyat melalui pemilu dalam waktu satu tahun, pembubaran Partai Golkar sebagai simbol Orde Baru. Situasi politik sedang menyudutkan presiden waktu itu. Anda membacakan maklumat itu sebagai kepatuhan santri kepada kiai.
Salam,
A.S. Laksana
