
Oleh: Imam Kusnin Ahmad. Jurnalis Senior dan Jamaah NU Jawa Timur.
NAHDLATUL ULAMA (NU) sebagai organisasi islam terbesar di Indonesia, dengan sejarah yang kaya dan peran penting dalam membangun bangsa, seharusnya menjadi contoh kebersamaan dan islah.
Namun, belakangan ini, tubuh Pengurus Besar NU (PBNU) terjebak dalam polemik pemakzulan yang menjadi tragedi tak elok dan memalukan.
Konflik yang berkembang antara elit organisasi tidak hanya merusak soliditas internal, tetapi juga mengganggu citra NU sebagai perekat umat.
Ini adalah momen yang memprihatinkan, di mana nilai-nilai ukhuwah dan khittah NU seolah tergeser oleh perebutan kekuasaan dan perbedaan pandangan yang tak teratasi.
*Latar Belakang Tragedi Pemakzulan di PBNU*
Polemik pemakzulan mulai mencuat ketika beredar risalah rapat harian Syuriyah PBNU yang memuat keputusan menghentikan masa jabatan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya).
Berdasarkan risalah tersebut, pihak Syuriyah menilai ada pelanggaran, antara lain dugaan maladministrasi keuangan dan pengambilan keputusan penting tanpa prosedur AD/ART yang sah. Sebagai respons, Gus Yahya dan kubunya menyatakan bahwa pemakzulan tersebut tidak sah secara hukum, karena keputusan itu diambil tanpa memberi ruang klarifikasi.
Kondisi ini memicu gejolak struktural yang luas: rotasi pengurus struktural PBNU, tarik-ulur kewenangan antara Syuriyah dan Tanfidziyah, serta kebingungan di kalangan pengurus daerah.
Bahkan, perbedaan ini menarik perhatian pemerintah, yang mendorong agar masalah segera mereda demi menjaga stabilitas organisasi Islam terbesar di negeri ini.
*Reaksi Internal: Mayoritas Tolak Pemakzulan, Sesepuh Panggil Islah*
Tidak semua elemen PBNU mendukung keputusan pemakzulan. Dalam rapat pleno PBNU di Jakarta pada Selasa (9/12/2025), terlihat jelas bahwa mayoritas pengurus menolak wacana pemakzulan. Dari total 216 anggota pleno yang seharusnya hadir, hanya 58 orang yang datang—sekitar 26 persen, jauh dari batas minimum kuorum. Rincian kehadiran memperlihatkan minimnya dukungan: hanya 2 dari 29 anggota Mustasyar, 20 dari 53 Syuriyah, 22 dari 62 Tanfidziyah, dan 7 dari 40 A’wan Syuriyah yang hadir. Lebih dari tiga perempat anggota memilih tidak datang, sebuah sinyal kuat bahwa langkah pemakzulan tidak mendapat dukungan luas.
Sebelumnya, Forum Sesepuh dan Mustasyar NU yang berkumpul di Pesantren Tebuireng pada 6 Desember juga menegaskan bahwa keputusan rapat harian Syuriyah untuk memakzulkan Gus Yahya tidak sah karena bertentangan dengan AD/ART NU. Para kiai sepuh mengimbau agar konflik dihentikan dan diselesaikan melalui jalur islah, yang merupakan tradisi NU yang telah ada sejak lama.
*Pendapat Para Ulama Terkemuka Tentang Tragedi Ini*
Polemik pemakzulan di PBNU telah banyak dikritik oleh para ulama terkemuka, yang menekankan pentingnya menjaga marwah dan persatuan NU.
KH Ma’ruf Amin—mantan Wakil Presiden dan tokoh ulama berpengaruh yang juga pernah menjabat Rais Aam PBNU—dalam keterangan terbarunya menekankan bahwa “isu pemakzulan di dalam NU adalah hal yang tidak pantas, karena NU dibangun atas dasar ukhuwah dan islah.” Dia mengajak semua pihak untuk kembali ke dialog dan mencari titik temu yang sesuai dengan khittah NU. Kiai Ma’ruf, menegaskan kepentingan umat harus selalu berada di atas kepentingan individu atau kelompok.
Prof. KH Said Aqil Siradj—mantan Ketua Umum PBNU—juga menyampaikan kekhawatirannya. Dia menyatakan bahwa “tragedi pemakzulan ini merusak citra NU di
mata masyarakat.
Ulama seharusnya menjadi pemecah masalah, bukan pembuat masalah.
” Kiai Said Aqil menekankan bahwa perbedaan pandangan di dalam organisasi adalah wajar, tetapi harus diselesaikan melalui cara-cara yang damai dan sesuai aturan.
KH Anwar Mansyur—pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo—juga mengkritik praktik pemakzulan ini. Dalam pertemuan dengan sesepuh NU di Kediri, dia menyatakan bahwa “kiai harus bergerak bersama, bukan saling memecah. Pemakzulan terhadap sesama pemimpin NU adalah tindakan yang memalukan dan melanggar nilai-nilai islam.” Bagi Kiai Anwar, NU harus tetap menjadi organisasi yang berakar di masyarakat dan tidak terjebak dalam konflik elit.
Selain itu, Sekjen PBNU Saifullah Yusuf (Gus Ipul)—yang sebelumnya pernah mengatakan bahwa pemakzulan bukan tradisi NU—juga mengimbau agar semua pihak menghindari tindakan yang dapat memperparah konflik. Dia menekankan bahwa “NU harus fokus pada pekerjaan nyata untuk umat, bukan terlibat dalam perebutan kekuasaan yang tidak perlu.”
*Dampak Tragedi Pemakzulan pada NU dan Masyarakat*
Tragedi pemakzulan di PBNU memiliki dampak yang merusak. Pertama, ia merusak marwah NU sebagai organisasi islam terbesar yang dihormati. Ketika ulama saling memakzulkan, umat akan kehilangan kepercayaan pada mereka sebagai pemimpin moral.
Kedua, ia memecah persatuan internal—pengurus daerah menjadi kebingungan, kader terbagi, dan ukhuwah antar kiai semakin tipis. Ketiga, ia mengganggu kontribusi NU dalam bidang sosial, pendidikan, dan dakwah, karena energi organisasi terbuang untuk menyelesaikan konflik.
Bahkan, banyak pihak—termasuk lembaga eksternal—memperingatkan agar pengurus tingkat daerah tidak terjebak dalam perebutan kekuasaan pusat, karena itu akan merusak keberadaan NU di akar rumput.
*Menuju Islah, Mengembalikan Marwah NU*
Tragedi pemakzulan di PBNU saat ini adalah momen yang sulit bagi organisasi ini. Ini adalah pengingat bahwa NU tidak luput dari tantangan internal, terutama ketika kepentingan elit menyalahi kepentingan umat.
Namun, harapan masih ada melalui upaya islah yang digerakkan oleh sesepuh dan mayoritas pengurus yang menolak pemakzulan.
NU seharusnya kembali ke akar pemikirannya! membangun ukhuwah, mengedepankan islah, dan bekerja untuk kesejahteraan umat.
Konflik ini harus diselesaikan melalui dialog, rasa hormat, dan sesuai dengan AD/ART yang telah ada. Hanya dengan begitu, marwah NU dapat dipulihkan, dan organisasi ini dapat kembali menjadi perekat umat yang dipercaya.
Semoga para pemimpin NU memiliki keberanian untuk meletakkan kepentingan umat di atas segalanya, dan mengubah tragedi ini menjadi momentum untuk memperkuat soliditas dan keberlanjutan NU.****
