Mem-booster dan meng-empower Karakter untuk Mendongkrak Akhlak Generasi Muda

 

Oleh : Sujaya, S. Pd. Gr.
(Pendidik.Pemerhati Pendidikan Karakter)

Pendahuluan

Di tengah derasnya arus modernisasi dan derasnya informasi digital, generasi muda menghadapi tantangan moral yang tidak ringan. Fenomena loss of empathy, budaya instan, serta krisis keteladanan menjadi potret nyata yang mengancam kemurnian karakter bangsa. Dalam situasi demikian, upaya mem-booster (meningkatkan daya dorong) dan meng-empower (memberdayakan) karakter menjadi sebuah strategi penting untuk mendongkrak akhlak generasi muda agar tetap berakhlak mulia, cerdas, dan berjiwa sosial.

1. Teori Karakter dan Akhlak Menurut Para Ahli

Thomas Lickona (1991), dalam teorinya tentang Education for Character, menegaskan bahwa pendidikan karakter bukan hanya mengajarkan mana yang benar dan salah, tetapi juga menanamkan kebiasaan melakukan hal yang benar. Ia menyebut tiga komponen utama karakter, yakni moral knowing, moral feeling, dan moral action. Artinya, membangun akhlak tidak cukup dengan pengetahuan moral, tetapi perlu pembiasaan dan keteladanan.

Sementara itu, Albert Bandura melalui teori Social Learning Theory menyebut bahwa perilaku moral anak terbentuk melalui proses observasi dan peniruan terhadap figur yang dianggap berpengaruh. Dalam konteks ini, guru, orang tua, dan tokoh publik berperan sebagai role model penting yang bisa meng-empower karakter positif.

Dalam perspektif Islam, Imam Al-Ghazali menyebut akhlak sebagai “keadaan jiwa yang menimbulkan perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan pikiran.” Artinya, akhlak yang kuat adalah hasil dari pembiasaan karakter yang telah tertanam mendalam di hati seseorang. Maka, mem-booster karakter berarti memperkuat fondasi akhlak agar menjadi sifat otomatis dalam perilaku sehari-hari.

2. Mem-Booster Karakter: Menyalakan Semangat Moral Generasi Muda

Mem-booster karakter berarti memberi dorongan dan energi baru agar nilai-nilai moral menjadi bagian dari gaya hidup generasi muda. Dorongan ini dapat datang dari berbagai arah: lingkungan sekolah, keluarga, komunitas, bahkan dunia digital.

Beberapa strategi yang bisa dilakukan antara lain:

Program pembiasaan positif seperti sholat dhuha, membaca Al-Qur’an, morning reflection, dan kegiatan literasi moral di sekolah.

Motivasi inspiratif dari guru atau tokoh masyarakat yang menjadi booster semangat siswa untuk berbuat baik.

Ruang apresiasi karakter, seperti pemberian penghargaan pada siswa yang menunjukkan kejujuran, kepedulian, atau disiplin.

Melalui kegiatan-kegiatan ini, siswa bukan hanya tahu tentang nilai-nilai moral, tetapi juga merasa bangga dan termotivasi untuk menerapkannya dalam kehidupan.

3. Meng-Empower Karakter: Memberdayakan Nilai yang Sudah Ada

Meng-empower berarti memberdayakan, menghidupkan kembali potensi baik yang sudah tertanam dalam diri remaja. Setiap individu sejatinya memiliki benih akhlak mulia—hanya saja perlu diberi ruang, teladan, dan bimbingan untuk tumbuh.

Pendekatan empowerment dalam pendidikan karakter menekankan pada:

Partisipasi aktif siswa, bukan sekadar objek pembelajaran, tetapi subjek yang mempraktikkan nilai.

Refleksi diri, di mana siswa diajak mengevaluasi perilaku dan menentukan langkah perbaikan.

Kegiatan berbasis aksi sosial, seperti bakti lingkungan, kegiatan kemanusiaan, atau student leadership project yang menumbuhkan empati dan tanggung jawab.

Menurut Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, pendidikan sejati adalah proses memanusiakan manusia—di mana peserta didik tidak dicekoki, tetapi diberdayakan untuk berpikir, merasa, dan bertindak secara moral. Maka, meng-empower karakter adalah menuntun siswa menjadi manusia yang sadar nilai, bukan sekadar penurut aturan.

4. Sinergi Lingkungan sebagai Ekosistem Karakter

Upaya mem-booster dan meng-empower karakter tidak akan efektif jika berjalan sendiri. Perlu ada sinergi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat sebagai ekosistem moral. Sekolah berperan sebagai center of value learning, keluarga sebagai moral foundation, dan masyarakat sebagai living laboratory of ethics.

Contoh nyata, sekolah yang membangun budaya 5S (Senyum, Sapa, Salam, Sopan, Santun) dan didukung keluarga yang menanamkan doa serta etika sosial sejak dini, akan melahirkan generasi muda yang tidak hanya pintar, tetapi juga beradab.

5. Refleksi dan Harapan

Generasi muda saat ini tidak kekurangan kecerdasan, tetapi sering kehilangan arah moral akibat derasnya pengaruh media dan hedonisme budaya. Oleh karena itu, pendidikan karakter perlu didesain bukan hanya sebagai kurikulum tambahan, melainkan sebagai gerakan moral kolektif.

Mem-booster adalah menggelorakan semangat kebaikan, sedangkan meng-empower adalah menumbuhkan daya tahan moral agar tidak goyah oleh godaan zaman. Keduanya saling melengkapi sebagai proses membangun generasi berakhlak mulia.

Kesimpulan

Untuk mendongkrak akhlak generasi muda, dibutuhkan sinergi antara dorongan (booster) dan pemberdayaan (empowerment) karakter. Pendidikan harus berfokus pada penguatan nilai melalui teladan, pembiasaan, refleksi, dan aksi nyata.

Seperti kata Ki Hajar Dewantara, “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.”
Teladan di depan, dorongan di tengah, dan pemberdayaan di belakang — itulah prinsip sejati dalam membentuk karakter dan akhlak generasi penerus bangsa.

Daftar Pustaka
1. Lickona, T. (1991). Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. Bantam Books.
2. Bandura, A. (1977). Social Learning Theory. Prentice-Hall.
3. Al-Ghazali. (2005). Ihya Ulumuddin. Beirut: Dar al-Fikr.
4. Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.
5. Dewantara, Ki Hajar. (1962). Pendidikan. Yogyakarta: Taman Siswa.

Indramayu. 2/11/2025