Makna Sunan Kalijogo Memakai Baju Hitam

Catatan Dr. Ir. Hadi Prajoko SH MH Ketum PPHPK.

 

Sunan Kalijaga tidak mengenakan jubah putih seperti para wali lainnya. Ia memilih kain hitam khas tradisi Jawa. Ini bukan sekadar gaya, tapi sandi bagi siapa pun yang mampu membaca.

Hitam adalah warna ketakterlihatan, warna yang menyerap segala cahaya, warna yang menyimpan misteri terdalam. Dengan busana itu, ia menyampaikan pesan: _kesejatian tidak perlu dicari di luar, sebab telah ada dalam kegelapan yang menutupi. *Justru dari kegelapan itulah cahaya sejati bisa ditemukan*_.

Lebih dari itu, ia menegaskan bahwa ajaran tauhid bukanlah milik satu bangsa, satu kitab, atau satu peradaban tertentu. Tanah Jawa telah lama memiliki kebijaksanaan spiritualnya sendiri dgn ajaran yang disampaikan para leluhur, tentang *Manunggaling Kawula Gusti*, penyatuan antara manusia dan Sang Ada.

Apa yang dibawa Kalijaga bukanlah perlawanan terhadap ajaran yang datang dari luar, tapi penyelarasan. Ia memahami bahwa kebenaran bukan sesuatu yang harus dipaksakan, tapi sesuatu yang harus tumbuh dari dalam. Maka, ia tidak mendobrak, tidak menghancurkan, tidak melawan. Ia justru berbaur, menyusup dalam budaya, menghembuskan ruh baru dalam wayang, tembang, dan filosofi Jawa yang halus.

Dan di sanalah letak keistimewaannya. Ia bukan seorang guru yang berbicara dari menara gading, bukan seorang nabi yang membawa wahyu dalam petir dan kilat. Ia adalah bagian dari tanah ini. Ia adalah suara leluhur yang berbisik melalui angin, melalui alunan gamelan, melalui bayangan di layar wayang.

Sunan Kalijaga tidak hanya menjadi seorang wali. _Ia menjadi jembatan antara yang lama dan yang baru, antara yang lokal dan yang universal, antara dunia yang tampak dan yang tak terlihat_.

Dan mungkin, dalam senyapnya malam, jika kau cukup peka, kau masih bisa mendengar bisikan Khidir dalam hembusan angin, mengingatkanmu:

_Apa yang kau cari, *sejatinya telah ada dalam dirimu sendiri.*_ ــ ͜ ͡ــصــ ͜ ͡ــطــ ͜ ͡ـفـــ ͜ ͡ــى: جيد
[11/6 07.16] Hadi Prajoko: Sunan atau wali…. istilah Jawa atau Arab?

Apabila namanya SUNAN itu urusan nya dg kekuasaan dan pemerintahan yg merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah dari Mataram…. Seperti camat bila sekarang atau wedono, kekuasaannya dibawah Adipati.

Wali dalam bahasa Jawa sebagai berikut, yaitu petugas, atau pengasuh yg memiliki hubungan dg anak anak terlantar atau yg tidak punya orang tua, tetapi diambil oleh Islam sebagai istilah baru untuk perkawinan karena orang tuanya tidak beragama Islam.

Kedua istilah ini menjadi ambiguitas, Atau menjadi kehilangan makna nya karena penetrasi agama Islam, bila tidak diluruskan akan semakin musnah bahasa ibu khususnya Jawa, karena pengertian nya menjadi tidak lagi nyaman atas karya bahasa ibu warisan leluhur yang kita warisi dari sekarang, sehingga segala nilai warisan yg ada semakin sesat, untuk itulah perlunya pelurusan.

Bagaimana tentang wali songo? Atau sunan Kalijaga dll nya.

Sebenarnya kisah kisah Walisongo dan sunan Kalijaga adalah satu mitologi yg sebenarnya dibuat oleh departemen kebudayaan Hindia-Belanda, untuk memperkaya cerita cerita wayang baru setelah cerita dongeng Parikesit dan dilanjutkan cerita KEPANJIAN atau cerita Panji, Yosodipuro bapak nya Ronggo Warsito sebagai pencetus idea cerita Walisongo, agar renstan wayang semakin hidup, tujuannya adalah untuk mengisi perjalanan wangsa Carita wayang yg karena adanya penetrasi agama Islam yg semakin ngrempuyung, sehingga Mr, BRENDES sebagai Mentri atasan dari kedua anak dan bapak ( Yosodipuro – Ronggo Warsito) diperintahkan untuk membuat metologi cerita Walisongo walian, yg akhirnya menjadi satu rentrans cerita penimbul, tetapi masyarakat belum sempat disuguhi wayang mitologi Walisongo karena ditolak oleh umat Islam sendiri dan oleh Para Resi atau brahmana dalang karena cerita nya tidak mengandung ajaran Budi pekerti tetapi banyak mengandung lemak budaya arab import culture, sehingga muncullah perlawanan mitologi aji saka melawan Dewata cengkar ( Dewata artinya utusan Tuhan, sedangkan Cengkar itu artinya tanah tandus tau Padang pasir panas’) yg juga menjadi satu bentuk reaksi atas mitologi pemerintah Belanda, setelah kedua anak bapak selesai pensiun mereka juga membuat kesadaran dg menulis narasi cerita dongeng GATOLOCO dan banyak lagi mitologi sebagai kontra ajaran arab dll, kemudian untuk menebus kesalahannya dosa leluhurnya mereka berdua dengan Candra Waskita nya membuat buku yg berjudul *DHARMA GANDUL* DAN berbagai cerita serat suluk Hidayat Jati dll

Bila kita makan cerita syekh Siti Jenar itu juga mitologi kedua bapak anak itu….yg membuat kita jadi sesat…. kita tidak punya kata bahasa syech?? Kita punya para cerdik Waskita dg kata Brahmana, Resi, MPU, Begawan @tau pujangga Agung.

Dengan demikian dapat disimpulkan mitologis Islam harus kita lakukan evaluasi seluruh narasi nya, apakah sifat nya membunuh peradaban budaya luhur atau kita ingin membuka ruang hayatan kembali ke jati diri bangsa.

Akulturasi tidak semua nya bernilai kemanusiaan tetapi juga menjadi diksi dari orientalis penjajah untuk menghilangkan tradisi adat dan budaya luhur Nusantara bukan sekedar membuat kita bangga tetapi Bisa membuat Kita ragu tentang keberadaan Kita sebagai entitas bangsa