Jumrah : Kaki Terseret, Jiwa Melambung di Bawah Terik dan Rahmat

 

Oleh: Firman Arifin
Dosen PENS, Jamaah Haji 2025 – Kloter 92 Nurul Hayat.

Setelah semalam di Muzdalifah dan berjalan kaki sejauh 6,3 kilometer menuju Mina, tibalah kami di hari besar: 10 Dzulhijjah, hari di mana ritual melempar jumrah dilaksanakan.

Di bawah terik matahari yang tak bersahabat,
di antara derap langkah 2,5 juta umat Islam dari seluruh dunia,
kami melanjutkan perjalanan menuju medan tempur spiritual.

*Rehat Sejenak di Tenda, Lalu Kembali Bergerak*

Sekitar pukul 08.00 hingga 09.00 pagi, kami tiba di tenda-tenda Mina dan sempat beristirahat. Tapi itu bukan akhir perjalanan.

Sorenya, langkah kami diarahkan menuju Jamarat.
Secara jarak hanya 2,5 hingga 3 km, namun dalam kenyataannya PP bisa menjadi 6 km lebih karena rute memutar, arus jamaah, dan sistem pengamanan.

*Perjalanan yang Menyisakan Peluh, Tapi Menghadirkan Cahaya*

Di sinilah kami menyaksikan kisah-kisah tak ternilai.
Banyak yang mulai tertatih.
Ada yang tampak sangat lelah,
tapi lebih mengejutkan lagi.

Saya melihat orang-orang yang jalannya tidak normal.

Ada yang berjalan dengan pincang,
ada yang kakinya hanya satu, satunya kaki palsu dibantu dengan tongkat kaki kruk.
Allahu Akbar…

Ada pula yang didorong dengan kursi roda,
ada yang jalan dengan tongkat,
ada ibu-ibu renta, tubuhnya membungkuk,
tapi semangatnya tegak lurus menembus langit.

Padahal secara syariat, mereka boleh dibadalkan.
Namun mereka tetap memilih hadir.
Karena ini bukan sekadar rukun,
ini adalah panggilan jiwa.

*Pertolongan Allah di Setiap Langkah*

Mereka kuat, bukan karena otot,
tapi karena pertolongan Allah yang nyata.

Di tengah panas, tiba-tiba ada air dibagikan.
Di saat tak mampu, petugas datang menyambut.
Di kala hampir tumbang, ada tangan asing yang terulur.

Dan semua itu bukan kebetulan.
Itu tanda cinta Allah bagi hamba yang yakin dan bersungguh-sungguh.

*Lempar Jumrah = Filter Spiritual*

Dalam dunia teknik elektro dan IT,
setiap sistem pasti punya filter, untuk menyaring sinyal utama dari gangguan (noise).

Jumrah adalah filter spiritual.
Ia menyaring jiwa dari:
Ego tinggi = malware
Dengki = spyware
Kesombongan = trojan
Malas ibadah = bug sistem
Takabur = overclocking yang merusak

Setiap batu yang dilempar,
sebenarnya bukan untuk melukai setan di luar,
tapi untuk mengusir “setan” yang bersarang di dalam diri.

*Lempar Jumrah, Ikrar Penguatan Jiwa*

Tujuh batu itu kecil.
Tapi ia adalah ikon perubahan.
Setiap lemparan adalah deklarasi:
“Aku siap berubah.”
“Aku siap melawan.”
“Aku tidak ingin kembali seperti dulu.”

*Untuk Para Pejuang: Ummi-Ummi yang Luar Biasa*

Saya pribadi tergetar melihat para ummi-ummi yang tetap melangkah di bawah panas luar biasa itu.
Wajah mereka mungkin keriput,
tapi semangat mereka segar seperti embun subuh.

Mereka tak menuntut kursi istimewa,
tak minta perlakuan khusus.
Tapi setiap langkah mereka adalah syair iman yang tak terucap.

Mereka datang bukan untuk pamer ibadah.
Tapi untuk membuktikan bahwa cinta kepada Allah tak mengenal batas usia atau kondisi tubuh.

*Di Bawah Terik, Jiwa Justru Terangkat*

Hari itu panas menyengat.
Kaki terseret.
Napas terengah.
Tapi justru jiwa melambung tinggi.

Karena Allah sedang menyaksikan.
Karena ini bukan jalan biasa,
ini adalah jalan kemenangan melawan diri sendiri.

Jika sudah sampai sini,
jangan mundur.
Teruskan, meski pelan.
Karena Allah tak menilai kecepatanmu,
tapi keteguhan hatimu.

Inilah Mina. Tempat di mana batu kecil bisa menjatuhkan musuh terbesar, nafsu diri.
Dan setiap langkah adalah doa.
Setiap peluh adalah cahaya.

“Batu-batu” kecil itu tetap kita bawa ke Indonesia untuk mengusir setan yang sewaktu-waktu mengganggu kita.

#Haji2025
#HajiBahagia
#HajiArafahMahsyar
#RefleksiArafah
#ArafahTitikNol
#WukufDenganHati
#PerjalananMenujuAllah