Gen Z dan Estafet Perjuangan

Oleh: Drs.Mochamad Taufik, M.Pd. Guru SD Al Hikmah Surabaya

Dulu, para pendiri bangsa seperti Bung Karno, Haji Agus Salim, dan A. Hassan mengangkat pena dan bambu runcing demi membela kemerdekaan dan identitas bangsa. Kini, tongkat estafet perjuangan itu berada di tangan generasi yang berbeda: Generasi Z. Mereka tidak lagi bertempur di medan perang fisik, tapi di medan perang pemikiran—yang senyap, licin, tapi sangat berpengaruh terhadap masa depan bangsa.


Mengenal Gen Z (Generasi Digital Native yang Multitalenta)

Gen Z adalah generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Mereka tumbuh dalam era digital, mengenal internet sebelum bisa berjalan, dan memegang smartphone sebelum lancar menulis. Menurut Jean M. Twenge dalam bukunya iGen (2017), Gen Z adalah generasi paling terkoneksi secara digital, namun juga menghadapi tantangan mental yang cukup kompleks seperti kesepian dan kecemasan yang tinggi[^1].

Ciri-Ciri Gen Z Menurut Para Ahli: 1) Digital Native: Terbiasa dengan teknologi, multitasking, dan kecepatan informasi. 2) Mandiri & Kritis: Lebih suka belajar dari YouTube atau TikTok ketimbang buku tebal. 3) Sadar Sosial: Isu lingkungan, keadilan, dan inklusi adalah topik yang mereka angkat dengan semangat. 4) Entrepreneurial Mindset: Banyak yang mulai bisnis sejak usia sekolah atau membuat konten kreatif. 5) Terbuka & Fleksibel: Lebih mudah menerima perbedaan dan tidak kaku pada tradisi.


Kekuatan Gen Z (Potensi Jadi Ujung Tombak Perubahan)

Cepat Belajar & Adaptif: Menurut World Economic Forum (2020), Gen Z adalah generasi paling siap menghadapi perubahan teknologi dan dunia kerja digital[^2].

Peduli Isu Global: Riset McKinsey (2019) menyebut Gen Z sebagai generasi dengan tingkat empati tinggi terhadap isu keberlanjutan, sosial, dan politik[^3].

Berani Bersuara: Mereka tidak segan angkat suara soal ketidakadilan, bahkan lewat TikTok atau Instagram.


Tantangan Gen Z (Titik Lemah yang Harus Diwaspadai)

Rentan Kesehatan ,Mental: Menurut psikolog Laura Tierney, tekanan ,di media sosial menciptakan krisis identitas dan self-esteem[^4].

Cepat Bosan: Hidup dalam dunia serba instan membuat mereka kadang kehilangan semangat dalam proses panjang.

Kecanduan Validasi: Banyak Gen Z merasa berharga hanya saat mendapat likes dan views tinggi.


Perang Pemikiran dan Ancaman Neoliberalisme

Di balik layar ponsel, Gen Z tengah berada dalam perang pemikiran global. Musuhnya tidak tampak seperti penjajah zaman dulu, tapi menyusup lewat ideologi, konten, dan gaya hidup: neoliberalisme dan neokapitalisme. Dua paham ini mengubah nilai hidup menjadi angka: berapa followers-mu, seberapa kaya kamu, seberapa mahal barangmu.

Menurut Steger & Roy (2010), neoliberalisme merusak nilai-nilai kolektif dan menempatkan pasar sebagai penentu segalanya. Akibatnya, solidaritas sosial digantikan kompetisi ekstrem, dan spiritualitas ditukar dengan budaya konsumtif[^5].

Inilah bentuk penjajahan baru. Jika dulu kita dijajah oleh senapan, hari ini kita dijajah oleh algoritma dan mentalitas pasar.


Estafet Perjuangan Dari Para Pendahulu untuk Gen Z

Bangsa ini tidak dibangun dalam semalam. Ada darah, air mata, dan pemikiran besar dari tokoh-tokoh seperti Bung Karno yang melawan kolonialisme dengan ide tentang nation-state, Haji Agus Salim yang berdiplomasi untuk kemerdekaan, hingga A. Hassan yang menulis dan berdebat demi menegakkan Islam yang mencerahkan. Mereka tidak hanya berjuang, tapi memikirkan bangsa ini dengan serius.

Kini, estafet perjuangan itu ada di tangan Gen Z. Bukan untuk berperang dengan senjata, tapi untuk melawan penjajahan ide, budaya hedonis, dan sikap apatis terhadap masa depan.


Arah Baru Perjuangan

Gen Z harus bertransformasi dari sekadar generasi viral menjadi generasi yang bernilai. Mereka bisa menjadi ujung tombak melawan dominasi kapitalisme global dengan:

Membangun gerakan literasi dan kritik sosial lewat media digital.

Menumbuhkan ekonomi yang berbasis nilai, bukan sekadar profit.

Menjaga akar budaya dan agama dalam kehidupan digital.

Menghidupkan kembali semangat gotong royong dalam dunia yang makin individualistik.


Penutup (Tanggung Jawab Sejarah di Tangan Gen Z)

BPS mencatat, Gen Z mengisi hampir 28% populasi Indonesia (2022). Artinya, nasib negeri ini ada di pundak kalian. Tentu, estafet ini berat—tapi bukan tidak mungkin. Dengan pengetahuan, kesadaran sejarah, dan semangat berkontribusi, Gen Z bisa menjadi penentu arah bangsa, bukan sekadar penonton perubahan.

Mereka yang dulu berjuang demi kemerdekaan, kini menunggu generasi yang mampu mempertahankannya. Bukan dengan perang fisik, tapi dengan akal, moral, dan keberanian melawan arus.

Referensi:

[^1]: Twenge, J. M. (2017). iGen: Why Today’s Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy—and Completely Unprepared for Adulthood. Atria Books.
[^2]: World Economic Forum. (2020). The Future of Jobs Report 2020.
[^3]: McKinsey & Company. (2019). True Gen: Generation Z and its implications for companies.
[^4]: Tierney, L. (2020). Social Media and Mental Health in Gen Z. The Social Institute.
[^5]: Steger, M. B., & Roy, R. K. (2010). Neoliberalism: A Very Short Introduction. Oxford University Press.