Idul Fitri: Hijrah dari Kegelapan Menuju Cahaya

 

Oleh: Wawan Susetya*

 

MELIHAT situasi dan kondisi orang-orang yang mudik dari Jakarta atau kota-kota besar ke daerah-daerah sebagaimana ditayangkan di televisi, rasanya benar-benar memprihatinkan. Betapa mereka telah benar-benar melakukan perjuangan jihad yang amat besar agar bisa sampai ke kampung halamannya: tujuan utamanya adalah sungkeman kepada kedua orang tua di hari raya idul fitri. Jika dihitung berapa biaya, tenaga yang dikeluarkan, kepenatan pikiran, dan segala tetek-bengek lainnya, berarti mudik tadi benar-benar merupakan peristiwa yang besar.
Ada jugapada situasi seperti ituorang-orang yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, misalnya menaikkan harga tiket hingga sangat melambung. Begitulah praktik percaloan yang tidak asing lagi di negeri kita. Atau, panen-nya para pencopet, lantaran mereka memiliki kesempatan atau peluang yang besar untuk mengutil pada situasi-situasi ramai.
Macam-macam keadaan orang yang mudik tadi, sebenarnya menggambarkan riuh-rendahnya suasana budaya riyaya (lebaran) orang-orang desa di Jawa yang berlangsung dalam tradisi turun-temurun. Dalam budaya tersebut, orang-orang desa saling berkunjung dan silaturahmi: bermaaf-memaafan. Karena nuansa yang berlangsung adalah suasana budaya, maka sangat jarang yang memanfaatkan momentum tadi masuk ke wilayah spiritual (keagamaan).
Berkaitan dengan orang yang minta maaf dan memaafkan, sebenarnya bukan soal budaya atau kebiasaan dalam sosial masyarakat ansich. Lebih jauh, hal itu sebenarnya menyangkut masalah tobat. Padahal, jika kita punya kesalahan kepada orang lain, persyaratan utamanya harus minta maaf kepada yang bersangkutan sebelum akhirnya dimaafkan Tuhan. Hal itu berbeda dengan kalau kita berbuat dosa kepada diri kita sendiri dan kepada Allah, maka ketika kita mohon maaf secara sungguh-sungguh, Allah pun tentu mengampuni. Allah adalah Ghafur (Maha Pengampun), Ghaffar (Penutup aib), Tawwab (Penerima tobat), dan Afuw (Pengampun), maka jika ada hamba-Nya yang benar-benar memohon ampun, niscaya Tuhan akan mengampuninya. Dan, kiranya hanya orang-orang yang cerdas saja yang bisa memanfaatkan fenomena tersebut sebagai kegiatan spiritual, yakni melalui permohonan maaf kepada sesama manusia tadi.
Memang, manusia itu tidak terlepas dari adanya dosa, baik dosa yang kecil maupun besar, dosa yang disengaja maupun tidak, dosa yang tersembunyi maupun terang-terangan, dosa yang lalu maupun yang akan datang. Dosanya orang awam, biasanya meliputi dosa-dosa yang besar dan kecil. Atau dosa terhadap segala sesuatu yang haram. Maka, kaum awam tadi menyikapinya dengan melakukan tobat dari dosa-dosa yang besar dan kecil.
Lebih dari itu, ada pula jenis pertobatan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu yang menurut pandangan orang awam bukanlah merupakan dosa, misalnya pertobatan atas dosa makruh, dosa mubah, dosa hilangnya fadhilah amal, bahkan pertobatan karena merasa tobat itu sendiri. Mengapa demikian, lantaran sesungguhnya yang memberikan tobat tadi hanyalah Allah semata, sehingga orang yang mengaku dirinya telah tobat itu sebenarnya tidak bisa berbuat apa-apa (termasuk melakukan tobat) jika Allah tidak memberikan kemampuan untuk tobat. Biasanya, para kiai atau ulama yang melakukan pertobatan semacam itu.
Berbeda pula dengan pertobatan yang dilakukan oleh para kekasih-Nya. Mereka benar-benar merasa tobat jika sampai melupakan kepada Allah dalam setiap saat. Kata orang Jawa, mereka itu biasanya senantiasa eling atau mengingat Allah baik ketika berdiri, berjalan, duduk, berbaring, dan sebagainya. Pendek kata, para auliya itu senantiasa ber-musyahadah kepada Allah dan melaksanakan syariat secara ketat sebagaimana aplikasi iba Rasul (meneladani) Kanjeng Nabi Muhammad. Makanya, dalam kehidupan keseharian, mereka bertasbih, bertahmid, dan bertakbir kepada-Nya. Tidak ada kenikmatan yang dirasakannya kecuali membesarkan dan mengagungkan Asma Allah pada setiap keadaan.
Sementara itu, gambaran budaya orang Jawa itu sebenarnya sangat sederhana. Tidak macam-macam alias simpel saja. Dengan idiom Wong Jawa yen dipangku mati sebenarnya merupakan sesuatu yang gampang diaplikasikan melalui kacamata religius. Misalnya, jika kita mempunyai kesalahan kepada orang lain, barangkali kita merasa ewuh-pakewuh akan datang ke rumahnya. Namun, jika dipaksakan dengan suatu keberanian, apalagi dengan berterus-terang memohon maaf, sebagaimana jargon di atas, orang-orang Jawa akan mudah memaafkan. Biasanya langsung diberi maaf, atau bahkan saling memaafkan. Terkadang ada pula yang merasa ogah-ogahan datang, lantaran sudah terlanjur malu. Yang kreatif, tentu menggunakan momentum itu dengan jiwa religius tadi, yakni memanfaatkan untuk minta maaf kepada orang yang kita pernah melakukan dosa kepadanya. Seolah-olah memang kegiatan budaya, tetapi di dalam hati sudah menggenggam ilmunya seperti itu.
Jika ditelusuri lebih jauh, dengan demikian, berarti budaya riyaya atau peristiwa lebaran di Indonesia (Jawa) mesti bukanlah peristiwa biasa. Artinya, sangat mungkin tradisi seperti itu diciptakan oleh para wali di zaman eyang-eyang kita dulu. Sebab, dalam budaya tersebut benar-benar menyimpan hikmah yang amat besar, yakni masalah pertobatan khususnya kepada sesama manusia.
Kalau idul fitri dimaknai sebagai kembali pada kefitrahan manusia sebagaimana bayi yang baru dilahirkan, berarti manusia tadi benar-benar telah berhasil dalam melaksanakan ibadah puasa. Keberhasilan puasa sebulan penuh di Bulan Ramadhan menghasilkan pribadi yang suci dan fitrah. Itu artinya kembali kepada sesuatu yang murni: taat mutlak kepada Allah Swt sebagaimana konsep innalillahi waina ilaihi rajiuun itu. Bukankah jika segala sesuatu dikembalikan kepada Allah keadaannya menjadi murni?
Pada momentum idul fitri atau lebaran itu, sebenarnya terkait pula dengan peristiwa mudik alias hijrah. Mudik dari kota besar ke kampung halaman. Jika mudik tadi hanya dibayangkan sebatas perjalanan dari kota ke desa, maka nilainya juga hanya sebatas itu saja. Memori yang terkenang hanyalah kepenatan pikiran dan kecapekan badan dalam perjalanan pulang yang melelahkan itu. Tapi jika mudik tadi dipandang dari tinjauan hijrah, tentu menjadi luaslah cakrawala pandang kita. Hijrah merupakan peristiwa besar yang dilakukan Kanjeng Nabi Saw dari Mekkah ke Madinah. Citra atau icon Islam adalah hijrah. Makanya peristiwa hijrah itu dijadikan tahun hijrah bagi umat Islam. Berbeda dengan umat Nasrani yang menjadikan icon dengan peristiwa kelahiran Isa As.
Lebih jauh lagi, hijrah bisa bermakna lebih luas; yakni hijrah dari kegelapan menuju cahaya-Nya yang terang-benderang. Jika selama ini kita berada dalam dalam lembah hitam yang menyengsarakan, menggelisahkan, menyakitkan marilah kita hijrah menuju cahaya-Nya yang terang benderang yang menentramkan dan membahagiakan. Jika kita culas dalam pekerjaan sehari-hari itulah kegelapan. Jika kita melakukan korupsi dalam proyek-proyek di kantor, jelas itu kegelapan. Jika kita rugi terus dalam berbisnis, sebaiknya kita telusuri barangkali ada hal-hal yang menyebabkan kita berada dalam kegelapan itu. Agar menjadi terang-benderang, kita harus memperbaiki sistem manajemen secara fair. Sebab, dalam bisnis kita harus mendapatkan laba atau untung sebagaimana Muhammad ketika masih muda dulu dalam berdagang juga mendapatkan untung.
Ringkasnya, momentum idul fitri hendaknya kita jadikan peristiwa hijrah: dari kegelapan menuju cahaya, dari yang sebelumnya rugi melulu menuju untung meski tidak banyak-banyak, dari korupsi menuju bekerja secara jujur, dari berburuk sangka menuju berbaik sangka, dari perbuatan haram menuju perbuatan halal dan seterusnya.
Ada gambaran orang yang telah mencapai keadaan idul fitri tadi bukan hanya dicapai setiap tahun sekali pada pasca Ramadhan melainkan setiap saat. Artinya, orang tersebut telah berhasil melaksanakan puasa dalam bulan Ramadhan bahkan puasa-puasa di luar Ramadhan pun telah dilakukannyaseperti puasa tidak korupsi, bohong, berburuk sangka, dan sebagainya dalam kehidupan sehari-harihingga akhirnya orang tersebut benar-benar mendapatkan rejeki batin: idul fitri sepanjang masa. Orang demikianlah yang senantiasa pesta Allahpinjam istilah Emha Ainun Nadjibdalam kehidupan sehari-hari. Orang tersebut selalu ber-musyahadah kepada Allah.
Tentu, perjuangan ke arah itu memerlukan proses yang tidak mudah, soalnya bergantung atas ridho Tuhan. Meskipun sebentar jika Allah sudah meridhai-Nya tentu tidak ada masalah. Namun demikian rata-rata kebanyakan orang melakukannya dengan waktu yang amat lama dengan dibarengi kesungguhan dan ketekunan dalam meniti perjalanan menuju ridho Allah itu. Di dalamnya, ada pertobatan yang ditempuhnya, kesabaran, keikhlasan, ketakwaan dan sebagainya. Jika memang sudah waktunya, Tuhan pun juga memudahkan bagi hamba-hamba-Nya untuk mendapatkan posisi seperti itu. Kata orang Jawa disebut winayah atau sudah dikehendaki-Nya.
Rumus yang kerapkali dipakai oleh para pejalan, sebenarnya tidak muluk-muluk, yakni hanya menyiapkan diri dengan kebersihan hati. Sebab, adakalanya cahaya Tuhan tadi akan datang kepada hati manusia, tetapi kenyataannya hati orang tadi masih kotor, sehingga cahaya-Nya itu menghindar dari manusia tadi. Sebaliknya, jika manusia sudah mempersiapkan hati menjadi bening, niscaya jika kedatangan cahaya Tuhan masuknya menjadi lancar. Begitulah, manusia sebenarnya hanyalah tinggal melakukan ikhtiar. Hanya sebatas usaha. Hasilnya benar-benar terserah atas kehendak Tuhan semata. *Penulis adalah Sastrawan-budayawan dan pegiat Satu Pena Jawa Timur, tinggal di Tulungagung-Jatim