Puasa Ramadan 1446 H Yang Terlupakan

(Oleh : Drs Mochamad Taufik, M.Pd.

Matahari mulai condong ke barat, cahayanya meredup di balik gedung-gedung pencakar langit ibu kota. Di dalam ruangannya yang mewah, Menteri Ekonomi, Farhan Pradipta, duduk di belakang meja kayu jati yang besar. Tangannya menggenggam laporan keuangan negara—angka-angka yang tidak akan pernah diketahui rakyat kecil. Ratusan triliun raib.

Farhan menarik napas dalam, menatap ke luar jendela kaca yang luas. Jalanan macet, rakyat kecil berjuang dalam panas dan debu. Sementara itu, di dalam kantornya, udara sejuk dari pendingin ruangan menyelimuti tubuhnya.

“Berapa lama ini bisa ditutupi?” suaranya terdengar lirih.

Di seberang meja, seorang pejabat tinggi dari perusahaan minyak negara, Pertamina, hanya tersenyum tipis. “Selama semua orang dapat bagian, tidak akan ada yang bersuara.”

Korupsi sudah seperti tradisi. Masif, terstruktur, dan terencana. Semua sudah diatur, dari legislatif hingga yudikatif. Tidak ada yang bisa menyentuh mereka—atau begitulah yang mereka pikirkan.

Suara dari Masjid Tua

Malam itu, Farhan menghadiri acara buka bersama di sebuah masjid tua di sudut ibu kota. Hanya formalitas, agar terlihat merakyat di depan kamera media. Namun, ada satu hal yang mengusiknya.

Di sudut masjid, seorang lelaki tua sedang berceramah. Suaranya tenang, namun penuh wibawa.

“Saudara-saudaraku, puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus. Puasa adalah tameng dari kerakusan. Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya puasa adalah perisai. Jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, janganlah berkata kotor dan jangan berbuat bodoh…’ (HR. Bukhari dan Muslim).”

Farhan yang sedang menyeruput teh hangatnya tiba-tiba terdiam.

Lelaki tua itu melanjutkan, “Seorang pemimpin yang tidak berpuasa dengan benar, tidak menahan syahwat kekuasaannya, akan berubah menjadi serigala lapar. Ia tidak peduli apakah rakyatnya kelaparan, apakah negara ini hancur. Yang penting, perutnya penuh. Tangannya yang seharusnya melindungi justru menjarah. Padahal Allah telah memperingatkan dalam Al-Qur’an: ‘Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu menyuap dengan harta itu kepada hakim agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.’ (QS. Al-Baqarah: 188).”

Farhan merasa seperti ditampar. Kata-kata itu menusuk ke dalam dirinya. Sejak menjadi pejabat, kapan terakhir kali ia berpuasa dengan benar?

Puasa yang ia jalani selama ini hanya ritual kosong. Pagi ia sahur, siang ia menahan lapar, tapi setelah maghrib? Jamuan mewah, transaksi gelap, dan perut yang tak pernah puas.

Ia mulai gelisah. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Seolah suara lelaki tua itu terus menggema di kepalanya.

“Dan ketahuilah, bagi pemimpin yang mengkhianati rakyatnya, Rasulullah SAW telah memperingatkan: ‘Tidaklah seseorang diamanahi oleh Allah untuk mengurus rakyat, lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga baginya.’ (HR. Bukhari dan Muslim).”

Dosa yang Menghantui

Malam itu, Farhan tidak bisa tidur. Suara ceramah tadi terus berputar di benaknya. Ia teringat lembaran-lembaran laporan yang penuh manipulasi. Ia teringat rekening-rekening di luar negeri. Ia teringat rakyat kecil yang setiap hari harus bertahan dengan gaji minim, sementara ia dan koleganya berpesta dengan uang negara.

Tiba-tiba, sesuatu yang sudah lama ia lupakan muncul dalam benaknya: takut kepada Allah.

Ia bangun dari tempat tidurnya, mengambil air wudhu, dan menunaikan shalat malam. Air matanya menetes. “Ya Allah, apakah semua ini sudah terlambat?”

Di layar ponselnya, berita terbaru muncul. “Kasus Korupsi Ratusan Triliun di Pertamina Terbongkar.”

Keringat dingin mengucur deras. Nama-nama yang ia kenal ada dalam daftar tersangka. Beberapa rekannya sudah ditangkap.

Ia tahu, gilirannya akan segera tiba.

Puasa yang Sebenarnya

Pagi itu, Farhan berpuasa. Bukan hanya menahan lapar dan haus, tapi menahan keinginan untuk terus berbohong, menahan godaan untuk terus menjarah, menahan nafsu untuk terus berkuasa.

Ia mengangkat telepon dan berkata dengan suara gemetar, “Pak Presiden, saya ingin mengundurkan diri. Dan… saya akan mengaku.”

Di ujung sana, suara Presiden terdengar datar. “Kamu yakin?”

Farhan menarik napas panjang. “Saya baru sadar, puasa saya selama ini tidak pernah benar. Mungkin ini satu-satunya cara saya menebusnya.”

Dunia politik gempar. Seorang menteri mengaku korupsi dan menyerahkan diri.

Di televisi, media sibuk berspekulasi. Ada yang menyebutnya pengkhianat. Ada yang menganggapnya pahlawan.

Tapi bagi Farhan, ia hanya ingin kembali kepada Allah sebelum terlambat.

Sebab ia akhirnya mengerti: puasa bukan sekadar menahan lapar, tapi menahan diri dari kerakusan. Dan seorang penguasa yang tidak mampu menahan diri adalah awal dari kehancuran sebuah bangsa.

TAMAT.