Perkawinan Penghayat kepercayaan Paguyuban Warga Hardo Pusoro

Ritual pernikahan menjadi momen yang sakral, aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan. Ada banyak cara prosesi ritual pernikahan di Indonesia menurut berbagai sistem kepercayaan dan religi. Dalam tulisan ini membahas salah satu ritulal pernikahan yang dilakukan di penghayat kepercayaan Paguyuban Warga Hardo Pusoro (PWHP).

Adanya aturan yang tegas terkait pengakuan secara hukum adat, sistem kepercayaan dan hukum pemerintahan menjadi batas yang tegas pula terhadap pengakuan keabsahan pernikahan yang dijalani. Permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana ritual pernikahan bagi warga penghayat kepercayaan dilihat dari prosesinya dan dari segi hukum formal di NKRI. Tulisan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif terkait tata cara pernikahan, pandangan organisasi tentang pernikahan, dan dasar hukum formal. Sumber data berasal dari Risalah Laporan Srawung Agung Tahun 1979 M/ 1912 Saka.

Dalam PWHP ditemukan tata cara ritual pernikahan yang diatur dalam ” Patrap Kangge Pasujudan Nikah Temanten Para Warga Hardo Pusoro “. Hal yang menarik adalah apabila pengantin sudah menjalani ritual ini, maka secara hukum adat dan sistem kepercayaan sudah dianggap sah.

Meskipun demikian, pertemuan dewan pengurus pusat memberikan arahan untuk mengikuti tata aturan hukum formal yang berlaku di NKRI sebagai pedoman yang jelas dalam pelaksanaan pernikahan. Dengan demikian pernikahan dapat diakui secara sah menurut hukum adat, sistem kepercayaan dan hukum formal agar tidak terjadi permasalahan di kemudian hari.

Kata Kunci: Ritual Pernikahan, PWHP, Konstitusi Pendahuluan Sanguning urip punika, tan dumunung ana bagusing rupi, dalah sugih banda bandu, miwah sugih kapinteran, amung ing manah ingkang slamet satuhu, pangerehing poncondriyo, minongko sedyo pambudi. (Ki Kusumawicitra, 1917) Bekal hidup itu, tidak berada pada keelokan rupa, Serta kekayaan yang dimiliki, ataupun kekayaan pengetahuan, Tetapi ada di hati yang selamat, Pengendalian hawa nafsu, sebagai tekad yang harus dijalani Penelitian Geertz (1973) memunculkan tiga golongan masyarakat Jawa, yaitu priyayi, santri, dan abangan yang masing-masing mempunyai ciri-ciri keberagamaan yang berbeda. Adanya ikatan sinkretisme sebagai bentuk warisan dari kepercayaan atau agama masa lalu, dalam dinamikanya dianggap sebagai budaya yang masih terus terpelihara dengan baik, bahkan harus dijunjung tinggi.

Totok Budiantoro

Koresponden MM.com