Oleh Denny JA.
Pada tahun 1860, di Hindia Belanda, rakyat pribumi direnggut haknya, dipaksa menanam kopi demi tuan kolonial, hidup mereka tergadai dalam ketidakadilan Tanam Paksa.
-000-
Di lereng Gunung Lebak,
di antara pagi yang berkabut tipis,
petani tua menatap sawah kosong.
Bukan padi yang tumbuh di sana,
tapi kopi untuk Belanda.
Anak kecil menggenggam tangan ibunya,
yang berdiri di pematang,
kaki pecah-pecah menahan perih.
“Bu, kapan kita makan?”
Suara kecil itu seperti tembakan
yang menggema ke lembah-lembah.
Namun ibu hanya diam,
matanya memandang jauh ke ladang kopi.
Di sana, bukan nasi yang ia tanam,
hanya biji pahit untuk meja-meja Eropa.
Di sela angin, perut kecil itu berbunyi,
seperti lonceng yang tak pernah berhenti berdenting.
Tapi di dapur bambu mereka,
hanya ada tungku kosong
dan bara yang padam sebelum subuh.
Suara derita itu seolah hilang,
terkubur dalam sunyi.
ia bunga yang dipanah,
berdarah tetapi tak berteriak.
Suasana berubah ketika ada yang menuliskannya.
Di rumah kayu di Amsterdam,
Multatuli menggenggam pena.
Ia mendengar suara-suara
yang tak pernah sampai ke istana.
Suasana berubah ketika ada yang menuliskannya.
Ia menulis Max Havelaar,
novel tentang petani dan penindasan.
Suara itu menggema hingga istana.
Suasana berubah ketika ada yang menuliskannya.
Elit Belanda membacanya dengan dada terbakar.
“Apakah ini yang kita banggakan?”
Suasana berubah ketika ada yang menuliskannya.
Politik etis lahir dari pena itu.
Sekolah-sekolah berdiri,
para pribumi belajar huruf dan kata.
Dari huruf itu mereka merangkai suara,
dari suara itu mereka mencipta obor,
dari obor itu mereka menerangi jalan,
menuju kemerdekaan.
Suasana berubah ketika ada yang menuliskannya.
Seperti gunung menyembunyikan kawah,
seperti sungai menyembunyikan deras,
tulisan membuka yang terkubur.
Kisah yang tersimpan ratusan tahun,
akhirnya memecah batu-batu kesunyian.
Di ruangan ini, kita berkumpul.
Dari Aceh hingga Papua,
dari Asia Tenggara hingga Kairo.
Kita berbeda agama, bahasa, dan warna.
Tapi disatukan oleh satu nyala:
memberi kesaksian.
Menuliskan ketidakadilan
dalam puisi esai.
Menulis bunga yang dipanah dalam puisi esai.
Menulis anak rusa yang terluka
dalam puisi esai.
Karena kita belajar dari sejarah.
Suasana dapat berubah ketika ada yang menuliskannya.
Dunia bisa berbeda,
ketika ada yang memberi kesaksian.
Di ladang sepi,
kita ajak bunga yang dipanah agar berbicara.
Di balik tirai kekuasaan,
kita ajak sunyi agar berteriak.
Sastra adalah obor yang tak pernah padam.
Hari ini kita kembali berkumpul.
kita berjanji.
akan terus menulis
Menyalakan kesaksian itu,
hingga dunia berubah
sekali lagi.***
Jakarta 22 November 2024
CATATAN
(1) Buku Max Havelar ikut menggugah kolonial melahirkan politik etis, yang akhirya berujung pada kemerdekaan Indonesia
Kompas.comhttps://www.kompas.com › readMax Havelaar: Cerita, Kritik, dan Dampak
***(Puisi esai ini akan dibacakan sebagai pembuka dalam setiap Festival Puisi Esai)