Denny JA.
“Dalam politik, ada banyak hal yang lebih aneh daripada fiksi.”
— Will Rogers
Kutipan ini menggambarkan bahwa dunia politik sering kali melampaui batas logika dan prediksi.
Rivalitas yang tampaknya tidak dapat didamaikan, dapat berubah menjadi kolaborasi strategis. Lawan politik yang pernah keras beradu, bisa menjadi sekutu yang bekerja demi tujuan bersama.
Inilah yang terjadi dalam hubungan antara Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto, dua figur yang mewarnai panggung politik Indonesia dalam dekade terakhir.
Hubungan politik Jokowi dan Prabowo, kompetisi dan kerjasamanya, menjadi drama yang akan selalu diingat dalam pentas politik Indonesia.
Pada Pilpres 2014 dan 2019, Jokowi dan Prabowo terlibat dalam persaingan ketat. Masyarakat pendukungnya terpecah belah dan politik terpolarisasi secara emosional.
Persabahatan di banyak komunitas bisa pecah karena polarisasi ini. Aneka WA Grup juga mengalami suasana permusuhan.
Persaingan mereka bukan hanya soal perbedaan visi politik, tetapi juga tentang dukungan yang sangat fanatik di masing-masing kubu. Kedua pemilu itu diwarnai dengan ketegangan, bahkan berujung pada sengketa di Mahkamah Konstitusi dan juga di jalanan.
Salah satu contoh kekerasan yang mencuat dari konflik antara pendukung Jokowi dan
Prabowo terjadi pada Pilpres
2019.
Saat itu, setelah
pengumuman hasil Pemilihan Presiden yang memenangkan Jokowi, terjadi kerusuhan di Jakarta pada tanggal 21-22
Mei 2019.
Kerusuhan ini dipicu oleh ketidakpuasan
sebagian pendukung
Prabowo yang menuduh adanya kecurangan dalam proses pemilihan.
Protes ini berujung pada bentrokan antara demonstran dan aparat keamanan di berbagai titik di Jakarta, khususnya di kawasan Tanah Abang dan Slipi.
Namun, di luar dugaan banyak pihak, sesuatu yang tak terbayangkan terjadi setelah Pilpres 2019. Jokowi, sebagai pemenang, justru mengundang Prabowo untuk masuk ke dalam kabinetnya.
Pada Oktober 2019, Prabowo dilantik sebagai Menteri Pertahanan. Langkah ini mengejutkan banyak pihak karena baru beberapa bulan sebelumnya, Prabowo merupakan lawan politik yang keras menantang kebijakan-kebijakan Jokowi.
Namun, persaingan keras tersebut berubah menjadi kolaborasi yang solid di dalam pemerintahan.
-000-
Keputusan Jokowi mengajak Prabowo untuk bekerja sama dalam pemerintahan adalah contoh nyata dari konsep coopetition—gabungan dari competition dan cooperation.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Raymond Noorda, CEO Novell, pada 1980-an dalam konteks bisnis.
Coopetition menggambarkan situasi di mana dua pihak yang biasanya bersaing, memilih untuk bekerja sama demi kepentingan bersama.
Dalam dunia bisnis, salah satu contoh terkenal dari coopetition adalah hubungan antara Apple dan Samsung. Kedua perusahaan bersaing ketat di pasar smartphone global, tetapi mereka juga saling bekerja sama.
Samsung adalah pemasok komponen penting, seperti layar OLED, untuk produk-produk Apple, meskipun di sisi lain mereka berkompetisi dalam penjualan produk akhir.
Pola ini memungkinkan kedua perusahaan untuk terus tumbuh, meskipun berada dalam persaingan sengit.
Dalam konteks politik, coopetition menjadi strategi penting dalam menciptakan stabilitas dan pembangunan berkelanjutan. Persaingan politik tidak harus berakhir dengan permusuhan, tetapi bisa bertransformasi menjadi kerjasama demi kepentingan yang lebih besar, seperti yang terjadi antara Jokowi dan Prabowo.
Kolaborasi ini menjadi bukti bahwa politik dapat berfungsi sebagai arena di mana rivalitas digantikan oleh sinergi untuk mencapai tujuan bersama.
-000-
Keunikan drama politik ini tidak berhenti pada kabinet Jokowi-Prabowo. Pada Pilpres 2024, Jokowi yang tidak lagi bisa mencalonkan diri, justru mendukung Prabowo sebagai calon presiden.
Prabowo lalu maju sebagai capres yang mendapat dukungan dari Jokowi, meskipun ia harus bersaing dengan capres yang diusung oleh PDI Perjuangan, partai asal Jokowi.
Jokowi mengambil resiko berseberangan dengan partai yang pernah membesarkannya. Kerjasama politiknya dengan Prabowo di pilpres 2024 juga berujung pada kemenangan telak.
Ini menambah lapisan kompleksitas dalam politik Indonesia, di mana dua rival lama kini bersatu untuk menghadapi tantangan politik baru.
Dalam sejarah politik dunia, pola coopetition ini telah terjadi beberapa kali. Salah satu contoh terkenal adalah hubungan antara Abraham Lincoln dan William Seward di Amerika Serikat.
Pada 1860, keduanya bersaing keras untuk mendapatkan nominasi Partai Republik. Namun, setelah Lincoln memenangkan pemilu dan menjadi presiden, ia menawarkan posisi Menteri Luar Negeri kepada Seward.
Pada akhirnya Seward menjadi salah satu sekutunya yang paling setia bagi Lincoln dalam menghadapi tantangan Perang Saudara.
Contoh lainnya adalah hubungan antara Nelson Mandela dan F.W. de Klerk di Afrika Selatan.
Awalnya, mereka berada di sisi yang berseberangan. Mandela sebagai pemimpin gerakan anti-apartheid dan de Klerk sebagai presiden rezim apartheid.
Lalu mereka bekerja sama untuk mengakhiri apartheid. Kolaborasi ini tidak hanya membawa perubahan besar bagi Afrika Selatan, tetapi juga memberi keduanya Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1993.
-000-
Kisah Jokowi dan Prabowo adalah salah satu babak paling menarik dalam sejarah politik Indonesia modern. Dari persaingan sengit dalam dua Pilpres hingga akhirnya bekerja sama dalam pemerintahan.
Mereka memberikan contoh bagaimana dinamika politik yang keras dapat berubah menjadi kolaborasi yang bermanfaat bagi bangsa.
Bahkan, drama di Pilpres 2024, di mana Jokowi mendukung Prabowo melawan capres dari partainya sendiri, hanya menambah daya tarik dari narasi ini.
Ini adalah contoh nyata bahwa politik tidak harus selalu tentang perseteruan permanen, tetapi dapat berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar: kerjasama untuk kepentingan yang lebih luas.
Kisah ini akan dikenang sebagai salah satu buah paling manis dari coopetition dalam sejarah politik Indonesia. Ia memberikan pelajaran penting bahwa kadang politik itu bisa lebih dari fiksi, melahirkan peristiwa yang tak terbayangkan.***
Jakarta, 21 Oktober 2024
CATATAN
(1) Coopetition adalah konsep yang perlu dipopulerkan di Indonesia. Walaupun berkompetisi, aneka pihak tetap bisa berkolaborasi. Ini tak hanya untuk bisnis, tapi bisa juga untuk politik.
https://hbr.org/2021/01/the-rules-of-co-opetition