Catatan Luluk Ma’rifat Billah dkk, Yahya Aziz & Saefullah Azhari ; Mahasiswi PIAUD & Dosen FTK UINSA
Surabaya, Menara Madinah Com.
Inilah riset penelitian kelompok kami :
1. Luluk Ma’rifat Billah (06010923009)
2. JASMINE IMANILLAH KAMILIYAH (06010923008)
3. GITA HANUM PRATIWI (06010923007)
4.DEWI NASIKUN NAZIHA
(06010923006)
5. MUZDALIFATUL AMNI
(06010923010)
Ke 5 mahasiswi ini dibimbing langsung oleh Yahya Aziz & Saefullah Azhari Dosen FTK Uinsa dalam riset penelitian mata kuliah Bhs Indonesia, dengan tema ; Pemikiran Islam KH. Wahid Hasyim.
Kebanyakan masyarakat indonesia pasti sudah tidak asing lagi dengan tokoh KH. Wahid Hasyim yang pernah menjabat sebagai menteri Agama pertama di Indonesia saat Indonesia menganut sistem pemerintahan serikat ( Republik Indonesia Serikat) , dan menjabat sebagai menteri Agama dalam 3 kabinet ( kabinet Hatta, Natsil, Sukiman pada 1942-1952) . Pada tahun 1951 beliau menjabat sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
MENGENAL SOSOK KH. WAHID HASYIM
Beliau bernama lengkap Abdul Wahid Hasyim yang lahir 1 Juni 1914 tepatnya di kabupaten Jombang , beliau lahir dari pasangan Hadratusyeikh Hasyim Asyari dan Nafiqoh , Beliau adalah putra kelima dari 10 bersaudara .
Sejak beliau usia 5 tahun , beliau sudah belajar membaca Al-quran kepada ayahnya dan pada usia 7 tahun beliau berhasil mengkhatamkan Al-quran di Madrasah Salafiyah Tebuireng Jombang . Beliau tidak pernah menempuh pendidikan di sekolah yang di dirikan oleh pemerintahan Hindia Belanda , di karenakan ayahanda beliau ( kH. Hasyim Asyari ) di kenal sebagai tokoh anti sekolah yang di dirikan oleh penjajah .
Pada saat usia 13 tahun beliau Kh. Wahid Hasyim sudah menjelajahi beberapa pondok pesantren , di antaranya pondok pesantren Siwalan panji di kabipaten Sidoarjo dan Pondok pesantren Lirboyo , namun beliau tidak menetap lama karena beliau hanya berkepentingan dengan keberkahan guru , dan bukan pada ilmunya. Sepulang dari Lirboyo beliau tidak meneruskan belajarnya di pesantren lain tetapi tinggal di rumah untuk mempelajari bahasa Arab secara mandiri hingga mahir sekaligus mempelajari Alfabet latin , bahasa Belanda dan bahasa Inggris.
Tahun 1932 tepat pada usia 18 tahun , Abdul Wahid Hasyim di kirimkan ke Makkah untuk menjalankan ibadah Haji dan memperdalam Ilmu Agamanya selama 2 tahun . Setelah pulang dari Makkah Kh. Wahid Hasyim mulai merintih karir sebagai Ulama
Upaya KH. Abdul Wahid Hasyim dalam peningkatan kualitas sumber daya
umat Islam adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikan pesantren. Ada tiga
hal yang mempunyai peranan penting dalam peningkatan kualitas sumber daya
umat Islam yakni jasmani, rohani, dan akal. Pendidikan Islam adalah pendidikan
yang berdasarkan nilai-nilai Islam. Dasar pendidikan Islam ada 3, yaitu alQur’an, as-Sunnah, dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Adapun
isi pendidikan itu ada tiga yaitu pengajaran, bimbingan, dan pelatihan yang mana
bertujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan kompetensi kognitif,
psikomotorik, dan afektif.
Perencanaan matang KH. Abdul Wahid Hasyim dalam mengadakan
perubahan pendidikan di pesantren, yakni dengan mengadakan langkah-langkah
berikut. Pertama, menggambarkan tujuan dengan gamblang. Istilah dalam
pendidikan saat ini disebut dengan SK (Standar Kompetensi) atau KI
(Kompetensi Inti) dan KD (Kompetensi Dasar). Kedua, menggambarkan cara
mencapai tujuan. Dalam istilah saat ini disebut metode pengajaran. Ketiga,
memberikan keyakinan dan cara. Memberikan keyakinan atau dapat disebut
dengan istilah motivasi. Hal ini berarti pendidik memiliki tanggung jawab agar
peserta didik dapat mencapai apa yang menjadi tujuan pendidikan itu sendiri.
KH. Abdul Wahid Hasyim memiliki pandangan bahwa pendidikan Islam harus
bebas dari belenggu fanatisme ataupun pandangan sempit dalam keagamaan.
Apabila yang dibangun adalah rasa fanatisme, maka dalam diri seseorang tidak
mudah menerima perbedaan dan cenderung tertutup terhadap keragaman
perbedaan yang seharusnya dapat menjadi potensi untuk dirinya. Pendidikan
Islam menurut KH. Abdul Wahid Hasyim harus mampu berdialog dengan
apapun.
Kurikulum pendidikan Islam yaitu rancangan materi atau bahan yang
diajarkan dalam suatu kegiatan pendidikan Islam dan dengan menguasainya
seseorang diharapkan mampu untuk merealisasikan tujuan dan pendidikan Islam.
Untuk mencapai kurikulum pendidikan Islam yang baik, diperlukan beberapa
komponen yang dapat menunjang harapan-harapan tersebut. Komponenkompenen inilah yang kemudian berfungsi sebagai konsep dasar pembentukan
kurikulum pendidikan Islam yang baik/ideal, di antaranya yakni cakupan
kurikulum, asas-asas, ciri-ciri atau karakteristik, dan prinsip-prinsip kurikulum
pendidikan Islam.
Cakupan kurikulum yang berupa tujuan, materi, metode penyampaian, dan
metode penilaian, tidak lepas dan berisi tiga ajaran pokok Islam yakni aqidah,
syariah, dan akhlak. Asas-asas kurikulum pendidikan Islam yakni asas agama,
asas falsafah atau filosofis, asas sosial atau sosiologis, asas psikologis, dan asas
organisatoris, diharapkan mampu menyelaraskan fitrah insani sehingga
berpeluang untuk mencapai tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Ciri khas
pendidikan Islam memandang anak didik sebagai makhluk potensial yang
dengan pendidikan Islam diharap mampu mengoptimalkan potensi-potensi yang dimilikinya. Kurikulum pendidikan Islam juga memiliki prinsip-pinsip yang
harus ditegakkan, diharapkan pembentukan kurikulum pendidikan Islam dapat
sesuai dan selaras dengan tujuan pendidikan Islam dan hasilnya mampu
melahirkan generasi-generasi Islam yang berkarakter mulia.
Terdapat delapan nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam pemikiran KH Abdul Wahid Hasyim, yakni: Religius, Toleransi, Madiri, Demokratis, Semangat Kebangsaan, Cinta Tanah Air, Bersahabat/Komunikatif, Gemar Membaca.
Pendekatan pendidikan karakter yang dilakukan oleh KH Abdul Wahid Hasyim menggunakan pendekatan penanaman nilai, sejalan dengan yang dijelaskan oleh Muslich, pendekatan penanaman nilai berusaha memberikan penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri anak didik. Seperti apa yang dilakukan oleh KH Abdul Wahid Hasyim yang berusaha memberikan teladan kepada anak didiknya. Strategi yang digunakan oleh KH Abdul Wahid Hasyim dalam menanamkan nilai pendidikan karakter adalah menggunakan strategi keteladanan nilai.
Dalam berbagai pemikirannya tentang Pendidikan KH Abdul Wahid Hasyim menanamkan nilai-nilai sosial seperti toleransi, demokratis, bersahabat/ komunikatif sebagai acuan dalam bertingkah laku dalam berinteraksi dengan sesama. Dengan nilai-nilai sosial yang diajarkan oleh KH Abdul Wahid Hasyim dia ingin menyampaikan pesan bahwa sesungguhnya manusia adalah bersaudara satu sama lain. Nilai persaudaraan ini oleh KH Abdul Wahid Hasyim merupakan kunci bagaimana manusia harus berhubungan apakah itu kepada antar negara, atau kepada orang yang terdiri dari berbagai latar belakang bahkan pada orang yang berprofesi dibawahnya. Dia juga menyadari bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang multikultural. Disamping itu dia memberikan teladan agar belaku baik kepada siapa saja meskipun kepada anak buahnya. Shal ini diungkapkan oleh anaknya yang bernama Aisyah Hamid Baidlowi, KH Abdul Wahid Hasyim bila menyapa sopirnya dia memanggil dengan nama Bang Usman. Selain itu dalam hubungan sosial KH Abdul Wahid Hasyim menekankan sikap toleransi. Sikap toleransi ini merupakan sikap menghormati orang yang berkeyakinan (agama) tidak sama. Seperti yang ada dalam tulisannya untuk menyambut berdirinya Universitas Sumater Utara. Dia menghargai bahwa dalam pendirian Perguruan Tinggi Islam ada tenaga pengajar dan pelajarnya yang berlainan agama. Menghadapi kondisi tersebut dia menekankan sikap toleransi, bahkan dia memberikan apresiasi. Apa yang menjadi pemikiran KH. Abdul Wahid Hasyim tersebut tertuang dalam tujuan Pendidikan Karakter yang berusaha membangun kehidupan kebangsaan yang multikultural.
KH Abdul Wahid Hasyim juga mengajarkan karakter berkewarganegaraan. Dalam karakter berkewarganegaraan dia menekankan nilai-nilai semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Dengan nilai tersebut, bagi KH Abdul Wahid Hasyim merupakan cara untuk memajukan bangsa. Untuk menempatkan karakter cinta tanah air, dia menanamkan karakter yang paling ringan yakni cinta terhadap bahasa. Sehingga KH Abdul Wahid Hasyim berkesimpulan kemajuan bahasa adalah kemajuan bangsa. Bagaimana tidak, dia mencontohkan Hitler dan Chamberlain ketika bernegoisasi menggunakan bahasa negara mereka masing-masing meskipun keduanya sama-sama menguasai bahasa lawannya. Dengan mencintai bahasa merupakan bukti kita mencintai tanah air kita. Semangat kebangsaan dia tunjukkan tatkala mengedepankan kepentingan bangsa dari pada pendapat pribadinya dalam sidang BPUPKI. Dia menyetujui untuk mengamandemen tujuh kata yang diperdebatkan dalam sidang tersebut. Kata yang diamandemen tersebut adalah “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Apa yang menjadi pemikiran KH Abdul Wahid Hasyim ini juga terdapat dalam rumusan tujuan Pendidikan Karakter pada poin membangun sikap warganegara yang mencintai damai, kreatif, mandiri, dan mampu hidup berdampingan dengan bangsa lain dalam suatu harmoni.
Selain karakter sosial dan berkewarganegaraan KH Abdul Wahid Hasyim juga mengajarkan karakter pengembangan diri. Karakter tersebut adalah mandiri, dan gemar membaca. Dengan karakter mandiri bagi KH Abdul Wahid Hasyim anak didik mampu menghadapi pekerjaan yang sulit pada akhirnya tidak mudah minta bantuan terhadap orang lain. Mengenai karakter gemar membaca merupakan wujud dari karakter cinta pada ilmu pengetahuan. Penanaman karakter ini dia contohkan ketika menjadi Kepala Madrasah Nizamiyah. Dia membangun perpustakaan dan berlangganan surat kabar dari berbagai terbitan. Mengenai nilai karakter pengembangan diri tersebut relevan dengan apa yang menjadi tujuan Pendidikan Karakter membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur, dan mempu berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan ummat manusia, mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik serta keteladanan baik.
Nilai karakter terakhir yang ditanamkan oleh KH Abdul Wahid Hasyim adalah religius. Nilai religius ini merupakan nilai yang menjadi landasannya dalam bersikap. Dalam berbagai tulisan dan pemikirannya, KH Abdul Wahid Hasyim selalu mengkaitkan dengan keagamaan (Islam). Posisinya sebagai ulama mempertegasnya nilai karakter religius tersebut. Nilai ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Sudrajat bahwa Pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekat, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan maupun bangsa, sehingga akan terwujud insan kamil.
Barakallah….