
Oleh : H. Sujaya, S.Pd.
Pemerhati Pemilih Pemula Politik Generasi Muda Cirebon.
Arti kata Quo vadis? Menurut Merriam-Webster Unabridged Dictionary of the English Language and Educalingo, istilah quo vadis (pengucapan: ˈkwəʊ ˈvɑːdɪs) adalah frasa bahasa Latin yang berarti “kemana kamu akan pergi?” atau “kemana kamu pergi?” Kemudian dalam penggunaan modern frasa quo vadis didefinisikan mengacu pada tradisi di dalam salah satu agama.
Istilah quo vadis juga merupakan judul buku yang ditulis oleh penulis Polandia Henryk Sienkiewicz, menurut Webster. Buku ini adalah narasi tentang zaman Nero, dan telah beberapa kali diubah menjadi film. Film yang paling terkenal adalah versi tahun 1951 yang dinominasikan untuk beberapa Academy Awards. Film ini ditulis oleh John Lee Mahin dan disutradarai oleh Mervyn Leroy.
Henryk Sienkiewicz kemudian menerima Hadiah Nobel untuk sastra pada tahun 1905 untuk novel Quo Vadis serta novel-novel lain yang telah ditulisnya. Novel ini hampir 600 halaman dan cukup akurat secara historis dan penggambarannya tentang Roma pada hari-hari terakhir pemerintahan Nero.
Novel ini Quo Vadis antara tahun 64 dan 68 Masehi. Kaisar Nero berkuasa di Roma dan hampir gila. Dia adalah seorang megalomaniak yang yakin bahwa dia adalah Tuhan. Plot utama novel ini berkisah tentang Vinicius, seorang pemimpin militer Romawi, dan hubungan cintanya dengan Ligia, seorang wanita yang ditinggalkan di Roma oleh ayahnya, yang merupakan kepala negara kecil dan sandera Nero.
Preferensi Ideologi Gen Z
Dalam KBBI. Istilah preferensi diartikan 1) hak untuk didahulukan dan diutamakan daripada yang lain; prioritas 2) pilihan; kecenderungan; kesukaan.
Setiap aspek kehidupan manusia modern telah dipengaruhi oleh teknologi digital, yang telah mengubah cara kita berkomunikasi, bekerja, belajar, dan bahkan berpikir. Dalam situasi seperti ini, muncul apa yang saya sebut sebagai “Ideologi Kaum Digital”. Ideologi ini merujuk pada kumpulan perspektif, keyakinan, dan nilai yang berkembang di kalangan generasi yang tumbuh dewasa dalam era digital sekarang ini. Misalnya, generasi milenial dan generasi Z. Saya ingin membicarakan ini tipis-tipis tentang ideologi kaum digital dan bagaimana hal ini berdampak pada dua kategori generasi tersebut.
Sifat-sifat ideologis kaum digital
Kaum digital tampaknya percaya bahwa setiap aspek kehidupan manusia modern telah dipengaruhi oleh teknologi digital, yang telah mengubah cara kita berkomunikasi, bekerja, belajar, dan bahkan berpikir. Dalam situasi seperti ini, muncul apa yang saya sebut sebagai “Ideologi Kaum Digital”. Ideologi ini merujuk pada kumpulan perspektif, keyakinan, dan nilai yang berkembang di kalangan generasi yang tumbuh dewasa dalam era digital sekarang ini. Misalnya, generasi milenial dan generasi Z.
Saya ingin membicarakan ini tipis-tipis tentang ideologi kaum digital dan bagaimana hal ini berdampak pada dua kategori generasi tersebut.
Sifat-sifat ideologis kaum digital
Kaum digital tampaknya percaya bahwa teknologi adalah kebutuhan vital. Mereka bergantung pada perangkat digital untuk hampir semua aktivitas mereka, seperti mencari informasi, berkomunikasi, dan berbelanja. Teknologi dianggap sebagai sarana utama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan mengatasi kesulitan.
Dalam kenyataannya, ideologi ini seperti menolak waktu dan ruang sebagai batasan. Pada konteks ini, kaum digital biasanya percaya bahwa mereka dapat melakukan apa pun dan kapan saja. Ini menumbuhkan semacam harapan untuk mendapatkan hasil segera dan mengubah perspektif tentang proses dan kesabaran. Meminjam istilah Max Horkheimer, kaum digital sudah sangat jauh mengembangkan nalar instrumental mereka (know how) dalam mencari jawaban yang serba cepat.
Selain itu, kaum digital percaya pada pentingnya konektivitas karena mereka merasa lebih terhubung dengan dunia melalui platform media sosial semisal Tik Tok, IG, atau Youtube.
Pandangan ini mengubah cara mereka berinteraksi, bekerja sama, dan membangun hubungan sosial. Kaum digital lebih cenderung percaya bahwa orang dapat belajar, berkembang, dan menciptakan perubahan dengan memiliki akses ke informasi dan sumber daya digital. Mereka juga merasa memiliki lebih banyak kontrol atas pendidikan dan kemajuan mereka sendiri.
Dampak Ideologi Digital
Lebih jauh, nilai-nilai digital ini telah memengaruhi budaya dan cara berpikir Generasi milenial dan Generasi Z. Ideologi ini telah mengubah cara mereka belajar.
Ada lebih banyak sumber daya pendidikan digital yang tersedia, yang memungkinkan mereka belajar sendiri dan memiliki akses ke pengetahuan di seluruh dunia. Bahkan ideologi ini pun ikut mengubah pola konsumsi. Ideologi digital membantu orang untuk hidup berbasis internet. Misalnya, mereka lebih cenderung berbelanja secara online dan beradaptasi dengan tren konsumsi yang cepat berubah, yang mengubah bisnis dan lanskap ritel.
Tantangan Ideologis Kaum Digital
Meskipun memiliki banyak manfaat, ideologi ini juga menyimpan beberapa masalah. Salah satunya adalah ketergantungan yang berlebihan pada teknologi, yang dapat menyebabkan masalah kesehatan mental dan isolasi sosial. Paparan informasi digital terus-menerus pun dapat menyebabkan gangguan perhatian dan kesulitan berkonsentrasi. Ibarat jarum hipodermik, terpaan media yang sedemikian intens berpotensi menghilangkan pula kemampuan tradisional seperti, kemampuan berbicara secara langsung dan menyelesaikan masalah konvensional yang mungkin akan terabaikan.
Ideologi Kaum Digital adalah manifestasi dari transformasi budaya dan mental yang disebabkan oleh kemajuan teknologi digital. Meskipun memiliki keuntungan dan peluang, kita juga harus mempertimbangkan efek buruknya. Dalam era teknologi saat ini, Generasi milenial dan Generasi Z harus tetap kritis, bijaksana, dan seimbang saat mengadopsi perspektif dan nilai-nilai global yang berkembang dan serba cair.
Preferensi ldeologi Gen Z
Pemilih mula ataupun muda mulai menunjukkan karakter yang khas menjelang pesta demokrasi 2024. Antusiasme untuk menggunakan hak pilih, ketertarikan besar dalam menimbang calon presiden, dan ceruk populasi membuat dinamika preferensi politik generasi Z ini memiliki nilai strategis diperebutkan partai politik dan capres.
Hasil survei Litbang Kompas periode Januari 2023 ini mencatatkan tiga fenomena yang bisa dipakai untuk memahami bagaimana pemilih dari kelompok generasi Z yang berusia di kisaran 17-26 tahun ini dalam memandang Pemilu 2024.
Pertama, antusiasme pemilih dari gen Z. Minat mereka cukup besar untuk menggunakan hak pilih pada pemilu nanti secara sekaligus, yakni memilih pasangan calon presiden-wakil presiden (capres-cawapres), partai politik, dan calon anggota legislatif (caleg). Namun, antusiasme kaum muda ini cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan generasi di atasnya. Jika pada generasi Z angka antusiasme berada di 67,8 persen, pada kelompok responden yang berada dalam generasi di atasnya nilai antusiasmenya lebih tinggi, yakni pada rentang 68,1-77,9 persen. Mudah dan tidak direpotkan dengan banyaknya surat suara boleh jadi lebih dekat dengan gaya anak-anak muda yang identik dengan hal-hal yang serba praktis dan cepat. Kedua, kelompok pemilih gen Z antusiasme memilihnya cenderung lebih tertuju pada kontestasi pemilihan presiden. Jika memilih ketiga-tiganya sekaligus (capres, partai, dan caleg), antusiasmenya memang paling rendah. Sebaliknya, jika menyangkut pemilihan presiden, antusiasme tercatat paling tinggi dibandingkan dengan generasi di atasnya. Bagaimanapun perhatian publik memang lebih banyak tertuju pada pemilihan presiden dibandingkan dengan kontestasi lainnya.
Hasil survei mencatat, sebanyak 8,6 persen responden dari gen Z ini berniat menggunakan hak pilih pada pemilu nanti hanya untuk pemilihan presiden, tidak untuk yang lain. Angka ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan generasi lainnya. Sekali lagi, jika mengikuti logika ini, hanya dengan satu surat suara pemilihan presiden, lebih mudah dan cepat. Hal ini tentu juga tidak lepas dari animo perhatian publik yang lebih banyak menyorot kontestasi pemilihan presiden. dibandingkan dengan kontestasi lainnya.
Hasil survei mencatat, sebanyak 8,6 persen responden dari gen Z ini berniat menggunakan hak pilih pada pemilu nanti hanya untuk pemilihan presiden, tidak untuk yang lain. Angka ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan generasi lainnya. Sekali lagi, jika mengikuti logika ini, hanya dengan satu surat suara pemilihan presiden, lebih mudah dan cepat. Hal ini tentu juga tidak lepas dari animo perhatian publik yang lebih banyak menyorot kontestasi pemilihan presiden.
Ketiga, kelompok responden dari gen Z cenderung tidak ingin menjadi bagian dari kelompok yang antipati terhadap proses pemilu. Setidaknya angka keinginan dari kelompok responden gen Z untuk menjadi bagian dari mereka yang secara sengaja dan sadar menjadi golput atau tidak akan menggunakan hak pilih pada pemilu relatif rendah. Tercatat hanya 0,6 persen dari kelompok responden gen Z yang berniat golput.
Jika dihubungkan ketiga temuan di atas, tampak ada gejala antusiasme yang relatif terjaga dari gen Z ini. Tentu minat gen Z menggunakan hak suara yang terpotret dari hasil survei ini patut dijadikan rujukan guna meningkatkan partisipasi pemilih. Setidaknya ini menjadi momentum untuk meningkatkan kembali angka partisipasi pemilu di Indonesia. Pemilu 2019, dengan partisipasi pemilih mencapai 81,97 persen, tercatat sebagai partisipasi tertinggi kedua setelah Pemilu 1999 yang mencapai 92,74 persen. Tentu saja, antusiasme pemilih menggunakan hak suara pada Pemilu 2024 bisa menjadi kabar baik bagi upaya meningkatkan angka partisipasi pemilih.
Berdasarkan latar belakang usia, gen Z merupakan kelompok terbesar di Indonesia dibandingkan dengan generasi lainnya. Dari hasil Sensus Penduduk 2020, jumlah gen Z sebanyak 27,94 persen dari total 270,2 juta jiwa penduduk. Proporsi tersebut mengungguli penduduk dari gen Y yang berjumlah 25,87 persen, gen X (21,88 persen), dan baby boomers (13,43 persen).
Meski tidak semua populasi gen Z dapat memberikan suara sesuai dengan ketentuan hak memilih (sudah berumur 17 tahun atau sudah menikah saat pemungutan suara), keberadaan gen Z tetap memiliki posisi strategis dalam Pemilu 2024. Calon presiden
Antusiasme gen Z yang lebih condong berminat menggunakan hak pilih pada pemilihan presiden jika dibandingkan dengan generasi di atasnya ternyata juga diikuti dengan pola yang agak berbeda, terutama terkait dengan pilihan terhadap sosok-sosok yang diinginkan menjadi presiden.
Pada survei kali ini, percaturan kandidat papan atas mulai berubah. Sejak survei periode Januari 2022, mayoritas suara gen Z menunjukkan konsistensi pilihan pada tiga kandidat. Pada survei Januari dan Juni 2022, setidaknya 62 persen suara gen Z terdistribusi kepada Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan. Meskipun pada Oktober 2022 proporsi itu menyusut menjadi 58 persen, ketiga sosok tersebut tetap menjadi unggulan di mata gen Z. Kini, di survei Januari 2023, posisi Anies Baswedan tergeser oleh Ridwan Kamil dengan perolehan suara 9,1 persen. Anies kini berada di posisi keempat dengan 8,8 persen atau kehilangan 4,5 suara gen Z. Perolehan suara Anies ini merupakan yang terendah sejak survei Januari 2022.
Sementara itu, popularitas Ridwan Kamil melejit sejak survei Oktober 2022. Ia dipilih oleh 10,4 persen responden gen Z atau mendulang tambahan suara sebesar 6,3 persen dibandingkan dengan periode survei sebelumnya. Kala itu, keterpilihan Ridwan Kamil bertumpu pada pemilih muda. Kini, elektabilitas Ridwan Kamil makin tampak pada pemilih dari generasi lainnya.
Adapun Ganjar Pranowo masih di posisi teratas dengan 28,8 persen suara disusul dengan Prabowo Subianto dengan 20,6 persen. Dibandingkan survei Oktober 2022, Ganjar kehilangan 0,7 persen suara, sementara Prabowo mendulang penambahan 4 persen suara.
Sejak survei Januari 2022, ini pertama kalinya bagi Ganjar kehilangan suara pemilih gen Z dan pertama kali bagi Prabowo mendapatkan tambahan suara. Di tengah dinamika ini, gen Z masih memberikan sumbangan besar bagi elektabilitas Ganjar dan mengukuhkan keterpilihan Prabowo. Kemapanan kandidat di papan atas pun terbukti lewat besarnya aliran suara responden yang belum mempunyai hak pilih pada Pemilu 2019. Dari kelompok ini, sebanyak 64,1 persen suara mengalir kepada tiga sosok utama. Rinciannya, 32,8 persen akan memilih Ganjar; 22,7 persen akan memilih Prabowo; dan 8,6 persen memilih Anies. Sementara Ridwan Kamil ada pada peringkat keempat dengan 5,5 persen.
Partai politik
Dinamika politik pada kelompok responden gen Z juga terjadi pada pilihan partai politik. Sejumlah partai kembali mendapatkan kepercayaan dari para calon pemilih mula dan muda. Sementara itu, partai lainnya justru semakin kehilangan daya keterpilihan. Elektabilitas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mulai terkerek naik. PDI-P kembali mendapatkan 19,5 persen suara atau naik 0,5 persen dari sebelumnya, memantapkan posisi di peringkat pertama.
Meski demikian, kenaikan terbesar justru tampak pada Partai Gerindra yang kini memiliki elektabilitas 17,1 persen atau naik 3,2 persen. Kenaikan ini selaras dengan dinamika yang terjadi pada aspek ketokohan, di mana Prabowo Subianto sebagai ketua umum partai turut mendulang suara yang signifikan.
Survei kali ini turut menangkap turunnya pamor Partai Demokrat di mata anak muda. Walaupun tetap berada di peringkat ketiga, elektabilitas partai ini turun 3 persen. Daya tarik yang berkurang bagi kalangan muda ini perlu disikapi serius. Hal ini mengingat gen Z menyumbang besar elektabilitas Partai Demokrat secara umum. Melihat lebih rinci, pamor PDI-P, Gerindra, dan Demokrat juga menancap di benak pemilih mula. Hampir separuh responden yang belum punya hak pilih pada Pemilu 2019 akan memilih ketiga partai tersebut jika pemilu dilakukan saat ini. Tentu ini bisa menjadi potret untuk membaca bagaimana preferensi kelompok responden gen Z dalam memproyeksikan arah pilihan di pemilu nanti.
Generasi Z, atau yang dikenal juga dengan generasi milenial kedua adalah kelompok masyarakat yang lahir antara tahun 1997 dan 2012. Generasi ini tumbuh besar di tengah kemajuan teknologi dan informasi yang pesat. Hal ini membentuk keunikan dan karakteristik tersendiri terlebih dalam cara mereka menerima dan mengonsumsi informasi. Pola-pola yang berbeda ini, akhirnya turut mempengaruhi bagaimana paparan hingga bagaimana bentuk kecenderungan partisipasi Gen Z dalam berpolitik.
Berbicara mengenai paparan politik, tentunya Generasi Z yang menerima paparan berbeda membentuk persepsi dan bentuk partisipasi politik yang berbeda pula. Menurut hasil survei yang dilakukan oleh IDN Research Institute, 49% Gen Z memiliki harapan yang baik terhadap kondisi politik Indonesia. Angka ini menunjukkan optimisme dan persepsi yang cukup baik. Optimisme ini harus dijaga dan ditingkatkan agar partisipasi Gen Z dalam berpolitik tetap terjaga. Salah satu caranya adalah dengan menghadirkan pemimpin-pemimpin yang kredibel untuk menahkodai arah politik di Indonesia. Lebih lanjut, Gen Z dikatakan lebih mementingkan isu-isu yang relevan bagi mereka seperti isu lingkungan, hak asasi manusia, dan kesetaraan gender. Terpaan teknologi dan internet yang mempengaruhi bentuk partisipasi Gen Z ini mengakibatkan generasi ini lebih selektif dalam memilih pemimpin.
Karakteristik pemimpin yang dicari oleh Gen Z
Seperti apa sih karakter pemimpin yang dicari oleh Gen Z? Faktor dan nilai apa saja yang harus dimiliki oleh calon pemimpin yang sesuai dengan ekspektasi kalangan Gen Z? Laporan dari IDN Research Institute menguak beberapa aspek dan nilai yang menjadi pertimbangan Gen Z dalam memilih pemimpin. 1. Visi dan misi
Bukan hanya Gen Z, tentunya masyarakat mengharapkan pemimpin dengan visi dan misi yang jelas serta terukur. Masyarakat mengharapkan pemimpin yang mampu memberikan solusi konkret dan inovatif terhadap berbagai permasalahan yang melanda.
Selain itu, pemimpin yang mampu menyusun dan mengomunikasikan visi dan misi dengan jelas cenderung lebih mudah mendapatkan partisipasi Gen Z dalam konteks politik.
2. Integritas
Gen Z dinilai sangat menghargai integritas dan konsistensi dalam sikap serta tindakan seorang pemimpin. Mereka cenderung memilih pemimpin yang memiliki rekam jejak yang bersih serta terbuka dengan nilai-nilai yang dipegang teguh. Sebaliknya, pemimpin yang terlibat dalam kasus korupsi dan masalah di ranah hukum cenderung lebih sulit mendapatkan dukungan dari Gen Z.
3. Pengalaman Berpolitik
Ini menjadi faktor penting dalam partisipasi Gen Z terkait pemilihan pemimpin. Mereka menginginkan pemimpin yang memiliki pengalaman dan kompetensi yang cukup di bidang politik. Harapannya, pengalaman dan kemampuan yang dimiliki mampu menciptakan iklim politik dan pola kepemimpinan yang lebih baik.
4. Latar Belakang
Generasi Z juga memperhatikan latar belakang seorang pemimpin. Aspek dalam latar belakang yang diperhatikan diantaranya pendidikan, pengalaman kerja, hingga asal-usul keluarga.
Pada kenyataannya, partisipasi Gen Z cenderung lebih tinggi pada calon pemimpin yang memiliki latar belakang yang beragam sehingga mampu merepresentasikan berbagai jenis lapisan masyarakat.
5. Agama
Ternyata, agama juga menjadi faktor yang mempengaruhi bentuk partisipas Gen Z dalam memilih pemimpin. Karakteristik Gen Z yang cenderung lebih inklusif dan toleran turut menpengaruhi kriteria pemimpin idaman mereka.
Gen Z menginginkan pemimpin yang dapat membaur serta menjunjung tinggi nilai toleransi dalam berkeyakinan. Pemimpin yang tidak mampu menghormati keberagaman masyarakat, cenderung akan sulit mendapatkan dukungan. Tokoh politik terpopuler di kalangan Gen Z
Bersadarkana data di atas, tokoh politik yang paling terkenal di kalangan Gen Z adalah Joko Widodo. Selain menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, gaya kepemimpinannya yang santun, sederhana, dan tegas membuat namanya diterima baik oleh kalangan Gen Z. Pengalaman di bidang politiknya juga sudah tidak diragukan lagi. Beliau pernah menjabat sebagai Walikota Solo, Gubernur Jakarta hingga kini menjadi Presiden Indonesia.
Nama Prabowo Subianto mencuat sebagai tokoh politik terpopuler di kalangan Gen Z Indonesia. Prabowo memiliki rekam jejak dalam memperjuangkan hak rakyat, terutama terkait isu keamanan dan pertahanan negara. Pengalamannya di dunia politik juga cukup panjang. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan pada masa pemerintahan SBY. Selain itu, ia juga pernah menjadi calon presiden pada dua masa pemilihan terakhir di Indonesia. Pengalaman politik serta rekam jejaknya yang luas, membentuk persepsi bahwa Prabowo memiliki kemampuan untuk memimpin masyarakat.
Sementara itu, sosok Ganjar Pranowo yang berasal dari keluarga kelas menengah dan latar belakang pendidikannya turut menarik perhatian dan partisipasi Gen Z. Sosok Ganjar juga dinilai inovatif, terbuka atas kritik dan saran dari masyarakat, dan juga dinilai mampu mengatasi masalah sosial di daerahnya.
Berbeda dengan sosok Sandiaga Uno, ia populer di kancah politik karena dianggap sebagai pengusaha sukses dan berpengalaman di bidang bisnis. Ia juga dinilai memiliki visi dan gagasan yang inovatif dalam pemerintahan. Untuk persentase kepopuleran tokoh politik di kalangan Gen Z Indonesia, Kepopuleran Jokowi, Prabowo, Ganjar, Anies, dan Sandiaga Uno dalam dunia politik tidak lepas dari strategi political marketing yang mereka terapkan. Seperti Jokowi yang menggunakan pendekatan political marketing yang sangat terukur dan efektif. Ia mampu membangun citra sebagai pemimpin yang sederhana, pro-rakyat, dan tegas melalui berbagai program pembangunan yang diimplementasikan.
Sementara Anies Baswedan, menerapkan strategi personal branding untuk membangun citra sebagai sosok yang pandai berbicara dan memiliki kebijakan yang menjadi solusi berbagai permasalah di masyarakat. Ia juga memanfaatkan media sosial sebagai platform menyuarakan isu-isu nasional sehingga bisa meningkatkan angka partisipasi Gen Z. .
Kesimpulannya, kepopuleran tokoh-tokoh politik di atas tidak terlepas dari strategi political marketing yang mereka terapkan. Tokoh besar tersebut memanfaatkan pendekatan personal branding, political branding, dan memanfaatkan media sosial untuk membangun citra yang positif di mata masyarakat.
Kamu bisa pelajari lebih lanjut tentang political marketing melalui program Kuncie Mini MBA Political Marketing. Pada program ini, kamu akan mempelajari strategi kampanye politik, memahami perilaku pemilih, serta menyempurnakan keterampilan komunikasi dengan belajar langsung dari mentor praktisi yang berpengalaman. Pastinya, mengikuti program ini bisa menjadi salah satu sarana untuk meningkatkan kesempatan karier, terutama bila kamu inigin terjun di dunia politik.
*) Penulis pernah menjadi Ketua DPD Partai Kebangkitan Muslim lndonesia (Partai KAMI) Kab. Cirebon 1999-2004. Ikut Pemilu 1999.
Ketua DPD Partai Islam lndonesia (Pll) Kab. Cirebon. Tidak masuk verifikasi Partai peserta Pemilu 2004.
Sekarang Guru di SMPN 3 Sindang lndramayu.
Referensi :
– lDN Research Institute Report
– Litbang Kompas.
– Radik Kilimanjaro, Budaya Generasi Gen Z
– Dan dari berbagai sumber.