Cirebon – menaramadinah.com Halal bihalal adalah salah satu tradisi yang berkembang di kalangan masyarakat Islam Indonesia. Tradisi ini biasa dilakukan pasca Lebaran, tepatnya di bulan Syawal.
Tradisi halal bihalal menjadi kegiatan tahunan yang bertujuan untuk menjalin silaturahmi dengan saling memaafkan. Meskipun istilah tersebut berasal dari bahasa Arab, namun tradisi ini disebut lahir dari masyarakat Indonesia sendiri.
A. Arti Halal Bihalal
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), halal bihalal adalah hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan. Biasanya kegiatan diadakan sekelompok orang di auditorium atau aula. Halal bihalal juga didefinisikan sebagai silaturahmi.
Menurut M. Quraish Shihab, halal bihalal merupakan kata majemuk bahasa Arab dari kata halala yang diapit dengan satu kata penghubung ba (dibaca: bi). Kata tersebut artinya penyelesaian masalah, mencairkan yang beku, dan melepaskan ikatan membelenggu.
Dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an dia menjelaskan, kata halal dari segi hukum diartikan sebagai sesuatu yang bukan haram. Jika dalam artian ini tidak akan menyebabkan lahirnya hubungan harmonis antar sesama, maka sebaiknya halal bihalal tidak dipahami dalam bihalal pengertian hukum.
B. Makna Halal Bihalal
Halal bihalal pada intinya merupakan kegiatan silaturahmi dan saling memaafkan. Disebutkan dalam suatu riwayat, menyambung silaturahmi akan memperluas rezeki dan memperpanjang umur.
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Barang siapa ingin dilapangkan rezekinya dan ditambah umurnya, maka hendaklah menjalin silaturahmi.” (HR Bukhari).
C. Sejarah Halal Bihalal di Indonesia
Ada berbagai macam versi mengenai sejarah lahirnya tradisi halal bihalal di Indonesia. Halal bihalal ini erat kaitannya dengan tradisi (Lebaran) yang menonjol pada masyarakat Jawa.
Mengutip Ensiklopedi Islam Nusantara Edisi Budaya, Ali Mashar mengatakan bahwa istilah halal bihalal dipercaya merupakan istilah yang diciptakan oleh Kiai Abdul Wahab Chasbullah, salah seorang kiai Nahdlatul Ulama. Pendapat ini merujuk pada tulisan Masdar Farid Mas’udi, salah satu Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Menurut versi tersebut, sejarah halal bihalal bermula pada 1948 kala Indonesia baru berdiri dan dilanda gejala disintegrasi bangsa. Di mana banyak perseteruan di antara elit politik dan pemberontakan DI/TII maupun Partai Komunis Indonesia (PKI) sedang menerjang.
Pada saat itu, Kiai Abdul Wahab lalu mengusulkan untuk mengumpulkan semua tokoh politik dalam acara silaturahmi bertepatan dengan hari raya yang akan datang. Kala itu, Soekarno menganggap silaturahmi biasa tidak akan membuat para politisi tertarik dan mau datang.
Kemudian, muncullah ide dari Kiai Wahab untuk membuat acara halal bihalal. Menurutnya, “Para politisi bisa diberi pengertian bahwa sikap saling menyalahkan di antara mereka itu adalah sesuatu yang salah dan haram. Karena haram, maka harus dibuat halal dengan cara saling bertemu, duduk satu meja, dan saling memaafkan,” seperti dikutip menaramadinah.com
Acara halal bihalal pada hari raya tersebut berhasil dilaksanakan. Acara ini kemudian dilanjutkan oleh instansi-instansi pemerintah di bawah kekuasaan Bung Karno. Sementara di kalangan masyarakat, halal bihalal dipopulerkan oleh Kiai Abdul Wahab.
Dalam versi yang lain, menurut sebuah sumber yang dekat dengan Keraton Surakarta, tradisi halal bihalal berawal dari ide KGPAA Mangkunegara I atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa.
Kala itu, untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, setelah salat Idul Fitri Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan antara raja dan para punggawa serta prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit kemudian melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri dengan tertib.
Dalam budaya Jawa, sungkem merupakan lambang penghormatan dan permohonan maaf, utamanya ini dilakukan kepada orang yang lebih tua. Inilah yang kemudian menjadi salah satu cikal bakal tradisi halal bihalal yang ada di Indonesia. (hsn)