Zikir Menurut Ibnu Athaillah Alsakandari

 

Secara harfiah, zikir berarti ucapan lisan, gerakan raga maupun getaran hati sesuai dengan cara-cara yang diajarkan agama, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Berikut ini :

Seorang sufi besar, “Ibnu Athaillah al-Sakandari” (penulis Al-Hikam ) membagi zikir kepada tiga bagian, yaitu :
Pertama, zikir jali : Artinya, jelas atau nyata.
Kedua, zikir khafi : Inilah zikir yang samar-samar.
Ketiga, zikir haqiqi : atau yang sebenar-benarnya.

ZIKIR ZALI :

Adalah perbuatan mengingat Allah SWT dalam bentuk ucapan lisan, yang mengandung arti pujian, rasa syukur, dan doa kepada Allah.

Zikir ini diucapkan dengan suara yang jelas untuk menuntun gerak hati. Misalnya dengan mengucapkan tahlil ( La Ila-ha Illa Allah ), tasbih ( Subhana Allah ), takbir ( Allahu Akbar ), membaca Alquran, dan doa lainnya.

Zikir ini ada yang bergantung pada waktu, tempat atau amalan tertentu lainnya. Misalnya, ucapan dalam shalat, saat melaksanakan manasik haji, doa-doa yang diucapkan ketika akan makan, sebelum makan, akan tidur, bangun tidur, dan sebagainya.

ZIKIR KHAFI :

Zikir dilakukan secara khusuk oleh ingatan hati, baik disertai zikir lisan maupun tidak. Orang yang sudah mampu melakukan zikir seperti ini ia akan merasa selalu memiliki hubungan dengan Allah SWT. Ia selalu merasakan kehadiran Allah SWT kapan dan di mana saja.

Dalam dunia sufi ada ungkapan bahwa ketika melihat sesuatu benda apa saja, yang dilihatnya bukan benda itu, melainkan Allah Ta’ala. Ini bukan berarti benda itu “adalah” Allah SWT.

Pandangan dari sang sufi jauh melampaui pandangan mata. Ia bukan saja benda itu tapi juga menyadari akan adanya Khalik yang menciptakan benda itu.

ZIKIR HAQIQI :

Zikir yang dilakukan oleh seluruh jiwa-raga, kapan dan di mana saja, dengan memperketat upaya untuk memelihara seluruh jiwa-raga dari larangan Allah SWT dan mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya.