Putusan DKPP Tidak Lagi Final dan Mengikat, Ramdansyah: DKPP Hanya Beri Rekomendasi

 

Jakarta-Menaramadinah.com- Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tidak lagi final dan mengikat serta menjadi objek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) ini terkait permohonan uji materi yang diajukan mantan Ketua KPU Arief Budiman dan anggota KPU Evi Novida Ginting Manik tentang pasal 458 ayat (13) UU 7/2017 tentang Pemilu.

 

“Pasal 458 ayat (13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ‘Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual, dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di peradilan TUN’,” ujar Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan , Selasa (29/3/2022).

MK menyatakan norma mengenai putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat telah dipertimbangkan MK dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013. Karena itu, menurut MK, pokok permohonan para pemohon memiliki keterkaitan dengan Putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013.

Kasus ini sebenarnya, bukan hal baru, karena pada tahun 2013 lalu, mantan Ketua Panwaslu DKI Jakarta Ramdansyah Bakir juga melakukan pengujian soal putusan final dan mengikat DKPP tersebut.

Bahkan, saat itu, Ramdansyah melakukan pengujian Pasal 28 ayat (3), ayat (4), Pasal 101 ayat (1), Pasal 112 ayat (9), ayat (10), ayat (12), ayat (13), Pasal 113 ayat (2), Pasal 119 ayat (4), Pasal 120 ayat (4), dan Pasal 121 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (27/3/2013).

Perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 31/PUU-XI/2013 ini dimohonkan oleh Pemohon yang sebelumnya bekerja sebagai Ketua dan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Pemilukada DKI Jakarta.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, Ramdansyah menjelaskan permohonan yang diajukan, termasuk petitum dan legal standing-nya. Dia mengatakan bahwa pada prinsipnya permohonan tersebut diajukan ketika dirinya diberhentikan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada tanggal 31 Oktober 2012.
Kemudian, dia mengatakan  dengan berbagai pertimbangan yang menyebutkan bahwa UU  No. 15 Tahun 2011 mengatakan bahwa putusan DKPP bersifat final dan mengikat sehingga menegasikan kewenangan pembinaan dan supervisi yang dimiliki oleh Bawaslu dan KPU sebagaimana dimaksud dalam UU tersebut.
Ramdansyah menilai, DKPP bukan lembaga pelaku kekuasaan kehakiman, sehingga tidak dapat membuat putusan final mengikat melainkan hanya dapat memberikan rekomendasi. Untuk itu, menurutnya, norma dalam UU No. 15 Tahun 2011 yang menyatakan DKPP menetapkan putusan merupakan norma yang bertentangan dengan pengaturan kekuasaan kehakiman.
Selain itu, dia menjelaskan bahwa keputusan dari sebuah kode etik seperti DKPP seharusnya tidaklah bersifat final, hal itu dikarenakan perlu persetujuan lebih lanjut dari Bawaslu dan KPU untuk mengeluarkan keputusan yang bersifat final.
Keputusan DKPP yang bersifat final dan mengikat menyebakan dirinya tidak dapat mengajukan upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan DKPP.  “Saya kesulitan untuk menjadi penyelenggara Pemilu baik sebagai tim seleksi maupun bawaslu terkait dengan pemberhentian DKPP,” ujar Ramdansyah.
Menurutnya, keputusan DKPP yang melampaui kewenangan bukan dikarenakan permasalahan penerapan terhadap norma, melainkan dikarenakan norma Pasal 112 ayat (12) yang menyatakan putusan DKPP bersifat final. Sifat putusan yang bersifat final tersebut sudah menciptakan kondisi tidak adanya mekanisme saling kontrol antara DKPP dengan KPU dan Bawaslu.
Selain pasal 112 ayat 12 UU No 15 tahun 2011 yang diuji materikan, ia meminta MK membatalkan beberapa pasal terkait putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat, yakni pasal 28 ayat (3) dan (4), Pasal 100 ayat (1) dan (4), Pasal 112 ayat (9), (10), (12) dan (13), serta Pasal 113 ayat (2).
Ketika pasal-pasal ini dibiarkan Pemilu akan berjalan timpang. Sebab penyelenggara Pemilu akan bekerja dalam kekhawatiran. DKPP akan menjadi bom waktu bagi penyelenggara Pemilu.

Delapan tahun berlalu, setelah Ramdansyah melakukan uji materi, kembali muncul kasus serupa. Namun kali MK justru berbalik dan memutuskan bahwa keputusan DKPP tak lagi final dan mengikat.

Seperti dituturkan hakim konstitusi Suhartoyo, dalam amar putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013 menyatakan frasa ‘bersifat final dan mengikat’ harus dimaknai bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu, yang seharusnya dibaca sebagai satu kesatuan dengan pertimbangan hukum yang menyatakan, ‘adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual, dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan TUN

Suhartoyo menjelaskan melalui putusan a quo, Mahkamah menegaskan dan mengingatkan kepada semua pemangku kepentingan bahwa frasa ‘bersifat final dan mengikat’ dalam Pasal 458 ayat (13) UU Pemilu dimaksudkan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan TUN.

Terhadap putusan peradilan TUN yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sambung Suhartoyo, harus dipatuhi dan menjadi putusan badan peradilan yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Dengan kata lain, yang dimaksud final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu hanya menindaklanjuti Putusan DKPP yang produknya dapat menjadi objek gugatan pada peradilan TUN.

Dengan demikian, dalam konteks ini, Presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu sebagai atasan langsung yang berwenang mengangkat dan memberhentikan penyelenggara Pemilu sesuai tingkatannya, tidak mempunyai kewenangan untuk berpendapat berbeda yang bertentangan dengan putusan DKPP ataupun putusan TUN yang mengkoreksi ataupun menguatkan putusan DKPP.

Selain itu, permohonan para pemohon sepanjang berkaitan dengan dapat atau tidaknya putusan DKPP menjadi objek PTUN sepanjang sejalan dengan pertimbangan hukum putusan a quo adalah beralasan menurut hukum.
Suhartoyo menjelaskan bagi MK melalui putusan a quo menegaskan kembali dalam amar putusan perkara a quo, bahwa hakikat pertimbangan hukum putusan perkara Nomor 31/PUU-XI/2013 berkenaan dengan tafsir atas Pasal 458 ayat (13) UU Pemilu yang selanjutnya harus menjadi tafsir tunggal yang tidak bisa dimaknai lain selain sebagaimana yang ditegaskan dalam amar putusan a quo. Sehingga, dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sedangkan, terhadap dalil dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak relevan dan oleh karena itu harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

Putusan MK hari ini mengenai yang dimaksud final dan mengikat sebenanya sama dengan amar putusan tehadap Ramdansyah dimana UU 15 Tahun 2011 yang telah mendapat tafsir dalam putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013 tertanggal 3 April 2014 (selanjutnya disebut putusan MKRI Nomor 31/2013) yaitu: “Sifat final dan mengikat dari putusan DKPP haruslah dimaknai final
dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu dalam melaksanakan Putusan DKPP. Adapun Keputusan Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu, hal tersebut adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkrit, individual, dan final yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan TUN. Apakah Peradilan TUN akan memeriksa dan menilai kembali Putusan DKPP yang menjadi dasar keputusan Presiden, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu, hal tersebut adalah kewenangan Peradilan TUN.” Agus S