Catatan Mochammad Rifai Kepala Sekolah SMAN Glenmore Banyuwangi.
Pemerintah, dalam hal ini kementerian pendidikan (Kemendikbudristek), berkenan akan menggagas kurikulum baru untuk sekolah di seluruh nusantara.
Namanya Kurikulum Proto Tipe yang dikonsep menuju Kurikulum Merdeka, sebagai pengganti Kurikulum 2013 (K-13). Konon kurikulum milenial ini telah diuji publik dan telah diujicobakan di beberapa sekolah di berbagai kota.
Hasil uji coba menunjukkan angka positif. Lha terus mengapa penerapannya, kok sepertinya menjadi barang sulit, rumit, harus sekolah dengan syarat tertentu.
Proyek yang menghabiskan dana APBN 2,8 triliun ini tidak boleh sia-sia, harus menghasilkan program yang benar-benar manfaat, bukan hanya sekadar semata-mata memenuhi target adanya sebuah perubahan (ganti menteri ganti kurikulum).
Saya yakin bahwa kementerian pendidikan sarat dengan para pakar di bidangnya. Secara teoritis mereka di sana tidaklah diragukan kemampuan, kompetensinya.
Namun pada sisi kebijakannya begitu relatif diterapkan di lapang. Dimungkinkan terjadi banyak ketimpangan, karena penerapan kebijakan ganti kurikulum itu dengan banyak syarat.
Syarat-syarat itu tampaknya mudah dipenuhi di atas kertas, tetapi akan ada banyak hal yang harus dipertimbangkan matang-matang saat diterapkan.
Mewujudkan sebagaimana didesign sedemikian rupa tentang sekolah penggerak yang harus dipimpin oleh kasek penggerak (dengan syarat umur maksimal 56 tahun, lulus ujian seleksi), ada guru penggerak, dalam rangka menerapkan kurikulum sekolah penggerak yang kemudian diberi nama kurikulum prototipe, sebenarnya pekerjaan mudah dan sederhana.
Menjadi kelihatan rumit, susah diterapkan, tidak semua sekolah mampu, itu karena syarat yang ditentukan oleh kementerian justru yang akan merepotkan diri sendiri. Asumsi bahwa tidak semua sekolah mampu menerapkan kebijakan kurikulum baru itu sebenarnya yang menjadi awal ada kesan ‘seolah-olah’ kurikulum itu teramat canggih sehingga tidak mudah dikonsumsi semua sekolah.
Terus untuk apa perlunya perubahan kurikulum kalau hanya bisa diterapkan pada sekolah tertentu?
Saya menjadi teringat dengan kebijakan Menteri Pendidikan yang dulu tentang program sekolah RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional tahun 2008) dengan berbagai persyaratan begitu idealnya. Dan ternyata tidak bisa berjalan serta merta karena kondisi lapang yang ada di daerah tidak semuanya mendukung, baik; SDM, Sarpras, software dan hardware-nya.
Berfikir ideal itu baik, tetapi melihat real kondisi lapang akan lebih bijak. Paling tidak setiap akan menerapkan program perubahan kebijakan di tingkat sekolah; Pertama, negara kita yang terbentang dari Sabang sampai Merauke terdiri atas ribuan sekolah dengan latar belakang yang ragam.
Semua berharap yang sama terhadap layanan kebijakan pendidikan yang sesuai. Kedua, pengaturan tenaga pendidik dan kependidikan adalah kewenangan Kemendagri dalam wilayah otonomi Kabupaten, Kota dan Provinsi.
Permintaan kemedikbudristek untuk mewujudkan sekolah penggerak dengan persyaratan umur, masa kerja kasek, dst bukan barang sederhana seperti main catur. Ketiga, Otonomi Sekolah.
Sejak pemerintahan reformasi, sekolah sudah diberi otonomi (sekalipun tidak sepenuhnya) untuk bisa mengatur (memanaj) sesuai dengan sumber daya yang dimiliki. Ada istilah School Based management yang memberikan keleluasaan sekolah untuk mengatur dan mengembangkan sekolah sesuai dengan daya dukungnya.
Pemerintah hanya memberikan standar minimal yang harus dipenuhi oleh masing-masing sekolah. Selebihnya dikembangkan oleh sekolah dalam wilayah adminstrasi dan kewenangan di masing-masing kabupaten, kota dan provinsi.
Keempat, tantangan di masing-masing Kabupaten, kota dan provinsi sangat beragam.
Pengalaman mengikuti perubahan kurikulum, misalnya K-13. Awalnya seperti harus ada pilot projek, memilih sekolah-sekolah tertentu, secara bertahap menerapkan kebijakan itu.
Eh ternyata tidak ada terasa berbeda antara satu sekolah dengan yang lain, bahkan sampai sudah lupa tentang penerapan kurikulum itu. Selama berjalan selama 7 tahun, juga tidak ada satu pun sekolah yang dinilai tidak mampu menerapkan kurikulum K13.
Artinya semua kebijakan itu, selama ini, (maaf) hanya seremonial saja. Kurikulum itu barang sederhana. Secara aplikatif kurikulum itu mata pelajaran (konten) dan pengaturannya, teknis pemilihan jurusan (SMA), model evaluasi dan pelaporan.
Perbubahan kurikulum tidak perlu diujicobakan, karena perubahan kurikulum itu keniscayaan. Masyarakat sudah percaya terhadap kepakaran para penyusun kurikulum itu. justru yang terus menerus ditingkatkan (di-update dan di-upgrade) adalah kualitas gurunya.
Karena secanggih seperti apa kurikulum disusun akan menjadi sia-sia tatkala sampai di tangan guru yang staqnan, tidak bermutu. Artinya kurikulum yang baik itu ada di tangan guru yang hebat.
Buktinya, lembaga Bimbel, tidak pernah ribut dengan urusan kurikulum, tetapi kehadiran mereka dicari orang karena layanan pembalajaran lebih menyenangkan, menarik dan hasil beajarnya lebih optimal.