
Catatan Ongko Widjoyo.
Selain makam Ratu Ayu Dewi Sekardadu, jujugan ziarah #PerjalananMakna Jam’iyyah Al-Musthofa, Jombang selanjutnya adalah makam Mbah Raden Imam Soedjono dan Raden Mas Kyai Zakaria II atau Mbah Djugo atau yang lebih terkenal sebagai Pesarean Gunung Kawi, Malang.
Jujur harus kita akui, makam ini kurang dikenal sebagai makam seorang aulia sholihiin tetapi lebih kondang dikenal sebagai jujugan pencari kekayaan dengan jalan pintas atau pesugihan. Meski yang terakhir ini banyak dibantah pengelola makam.
Selain kepopuleran sebagai tempat mencari pesugihan ada beberapa hal lagi yang cukup memprihatinkan ditempat ini. Pertama, bagi yang pernah kesini pasti paham, memasuki area makam yang nampak hanyalah ornamen dan hiasan khas non-muslim. Hiasan-hiasan seperti lampion, altar sesembahan dan ornamental khas oriental juga memenuhi setiap sudut ruangan makam. Satu-satunya bangunan khas muslim yang ada adalah masjid yang tak seberapa besar yang terletak sekitar tiga ratus meter dari makam.
Hal memprihatinkan lainnya adalah diruang utama makam, tempat tahlil dan berdoa bagi peziarah muslim ditaruh dipinggir ruangan, sempit dan berjejalan dengan batas pagar besi. Sedangkan peziarah non-muslim disiapkan tempat yang sangat luas ditengah plus matras empuk berjumlah puluhan.
Hal ketiga yang menambah keprihatinan adalah jumlah peziarah non-muslim jauh lebih banyak dan lebih diistimewakan ketimbang peziarah muslim. Padahal, Pesarean Gunung Kawi adalah makam Kiai Zakaria II putra Kiai Zakaria I, ulama besar Karaton Yogyakarta Hadiningrat yang merubah nama menjadi Eyang Sadjoega atau Mbah Jugo dan Raden Mas Imam Soedjono, keturunan raja Yogjakarta yang menjadi senopati Pangeran Diponegoro pada Perang Jawa (1825-1830). Seusai Diponegoro tertangkap, kedua ulama dan bangsawan ini melarikan diri ke Blitar dan kemudian pindah ke Gunung Kawi untuk menyebarkan agama islam.
Mengenai ornamen khas oriental yang berada disetiap sudut makam dan lingkungan konon karena dua sebab. Pertama, Mbah Imam Soedjono memiliki murid non-muslim bernama Sam Pho Ho. Karena beragama non-muslim, Mbah Imam Soedjono mengizinkan muridnya mendirikan tempat peribadatan meski dikemudian hari Sam Pho Ho memilih masuk islam tetapi klenteng yang dibangun tidak dirobohkan agar bisa digunakan umat yang membutuhkan.
Cerita kedua menyatakan bahwa klenteng dan hiasan khas oriental itu ada karena dibangun oleh Ong Hok Liong, Bos Rokok Bentoel, salah satu perusahaan rokok terbesar tanah air era tahun 90-an. Ong adalah pengusaha rokok yang puluhan tahun malang melintang tanpa hasil. Berkali berganti merk pun rokoknya tak laku-laku.
Saat itu, sedang bangkrut dan terjerat hutang. Oleh guru spiritualnya ia disuruh tirakat di Pesarean Gunung Kawi. Disana ia konon ia mendapatkan wisik agar merk rokoknya diganti dengan nama Bentoel. Benar saja, tak lama usai tirakat ia berhasil bangkit dari keterpurukannya. Bahkan membawa merk Bentoel berjaya secara nasional.
Kesuksesan Ong dengan bisnis rokoknya setelah tirakat di Pesarean Gunung Kawi dikabarkan kepada saudaranya, Liem Sioe Liong yang kemudian ikut memuja ditempat ini. Liem pun meniru keberuntungan Ong, bahkan sempat menjadi orang terkaya di Indonesia dan menjadi pemilik BCA.
Kesuksesan kedua bos setelah tirakat ditempat ini mengundang warga se-etnis dan sekeyakinan untuk berburu kesuksesan secara gaib disini. Inilah yang kemudian memunculkan stigma sebagai tempat pemujaan mencari pesugihan. Tentu itu tidak benar, nyatanya pabrik rokok Bentoel yang sebesar itu kini tinggal nama. Tapi, nama Gunung Kawi sebagai tempat berburu kekayaan sudah terlanjur melegenda.
Tentu, apapun yang terjadi, tak perlu mencari siapa yang salah sehingga makam aulia itu menjadi jujugan pemujaan. Kita harus jujur mengakui keteledoran kita sebagai umat islam khususnya warga nahdliyin bahwa saat itu kurang memperhatikan dan merawat makam aulia sehingga dirawat umat lain.
Semoga kejadian serupa tak terulang lagi..
Mari kita rawat makam aulia sholihiin disekitar kita..
Mari berziarah..
Karena berziarah tak sekedar menjalankan sunnah tetapi juga turut menjaga sejarah bangsa..
Copas dari Catatan Perjalanan Ziarah Jam’iyyah Al-Musthofa, Jombang (04)